1
Dr. Nur Eva, M.Psi., Psikolog
Prof. Dr. Nur Hidayah, M.Pd
Pravisi Shanti, S.Psi., M.Psi, Psikolog
2020
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
MODEL KESEJAHTERAN
PSIKOLOGIS
MAHASISWA INDONESIA
DAN MALAYSIA
MONOGRAF
MODEL KESEJAHTERAN PSIKOLOGIS
MAHASISWA INDONESIA DAN MALAYSIA
Dr. Nur Eva, M.Psi., Psikolog
Prof. Dr. Nur Hidayah, M.Pd
Pravissi Shanti, S.Psi., M.Psi, Psikolog
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
2020
MODEL KESEJAHTERAN PSIKOLOGIS
MAHASISWA INDONESIA DAN MALAYSIA
Penulis:
Dr. Nur Eva, M. Psi., Psikolog
Prof. Dr. Nur Hidayah, M.Pd
Pravisi Shanti, S.Psi., M.Psi, Psikolog
Editor: Dr. Tutut Chusniyah, M.Si
Penyunting Naskah: Prof. Fattah Hanurawan, M.Ed., M.Si
Desain Sampul dan Tata Letak: Rakhmaditya Dewi Noorrizki, S.Psi., M.Si
Penerbit: Fakultas Pendidikan Psikologi (FPPsi)
Universitas Negeri Malang (UM)
Redaksi & Distributor Tunggal:
Fakultas Pendidikan Psikologi (FPPsi)
Universitas Negeri Malang (UM)
Jl. Semarang No 5 Malang 65145
Telp/Fax: (0341) 551-312; (0341) 579-700
Kontak Person: Nur Eva Hp 081252444471
Cetakan Pertama, April 2020
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis
dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin penulis dan penerbit
SEKAPUR SIRIH
Segala puji bagi Allah SWT yang telah berkenan memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan penulisan Monograf yang berjudul MODEL KESEJAHTERAN PSIKOLOGIS
MAHASISWA INDONESIA DAN MALAYSIA. Monograf ini merupakan hasil penelitian
kesejahteraan psikologis Mahasiswa Indonesia dan Malaysia yang didanai oleh Universitas
Negeri Malang melalui dana PNBP 2019.
Penelitian tentang kesejahteraan psikologis pada mahasiswa menjadi menarik dilakukan
karena kesejahteraan psikologis adalah variabel yang berpengaruh signifikan terhadap prestasi
akademik, kesehatan mental, fungsi sosial, relasi interpersonal, kesehatan, dan kemampuan
beradaptasi.
Fenomena menurunnya kesejahteraan psikologis pada mahasiswa merupakan fenomena
yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Hal ini disebabkan
karena mahasiswa adalah periode yang tidak stabil. Mahasiswa menghadapi berbagai
permasalahan yang komplek dalam bidang akademik, pekerjaan, romantisme, dan lain-lain
sehingga kondisi kesejahteraan psikologis mahasiswa menjadi menarik untuk diteliti dan
selanjutnya berkontribusi dalam memecahkan masalah terkait dengan kesejahteraan psikologis
mahasiswa. Kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti, sosial, ekonomi, aktivitas
fisik, religiusitas, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini peneliti memilih tiga variable yaitu
dukungan sosial, kepribadian dan religiusitas, dengan pertimbangan ketiga variable tersebut
berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis mahasiswa. Budaya Indonesia dan Malaysia
mendukung tumbuhnya religiusitas. Mahasiswa membutuhkan dukungan sosial memasuki periode
dewasa awal. Kepribadian adalah faktor yang krusial dalam kehidupan mahasiswa,
Penulisan monograf ini, jauh dari sempurna, namun penulis berharap memberikan
manfaat yang seluas-luas bagi penelitian pada bidang psikologi pendidikan khususnya, terutama
terkait dengan tema kesejahteraan psikologis pada mahasiswa strata satu (undergraduate).
Malang, 10 April 2020
Ketua Penelitian
DAFTAR ISI
Hal
Kata Pengantar …………………………………………………………………………......
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………
i
ii
Bab I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………..…………………………………………………......
1.2. Rumusan Masalah ..……………………………………………………………......
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………………………….........
1.4. Manfaat Penelitian …………………………………………………………………
1
3
3
3
Bab II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kesejahteraan Psikologis
2.1.1. Definisi …………………………….…………………………………………….......
2.1.2. Dimensi ………………………………………………………………………….......
2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi ……………………………………………………........
2.2. Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa ……………………………………………........
2.3. Hipotesis …………………………………………………………………….…………
4
5
8
9
11
Bab III METODE PENELITIAN
3.1. Tipe Penelitian ……..……………………………………………………………..........
3.2. Variabel Penelitian………………………………………………………..……….........
3.3. Subyek Penelitian …………………………………………...…………………….........
3.4. Instrumen Penelitian………………………………………………………………........
3.5. Analisis Data ……………………………………………………………………...........
Bab IV HASIL PENELITIAN
4.1. Analisis Deskriptif……………………………………………………….…….……….
4.2. Analisis Struktural Equation Model (SEM) ……………………………..……………..
12
12
13
13
15
16
18
Bab V PEMBAHASAN …………………………….…………………………………........ 28
Bab VI SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan ………………………………………………………………………….........
5.2. Saran …………………………………………………….………………………..........
33
33
REFERENSI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Aristoteles menyampaikan bahwa kesejahteraan merupakan tujuan akhir
dalam hidup manusia. Manusia berusaha meraih kesejahteraan dengan berbagai
cara. Tidak heran jika Diener (1996) menyimpulkan bahwa menjadi sejahtera
merupakan hak setiap manusia. Siapapun berhak menjadi sejahtera. Sejahtera
bukan hanya berkaitan dengan dimensi fisik namun juga terkait dengan dimensi
psikologis sehingga terdapat konsep kesejahteraan psikologis (psychological well-
being)
Psychological well-being merupakan nilai positif dari kesehatan mental yang
ada di dalam diri seseorang sehingga menyebabkan seseorang mampu
mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya (Ryff, 1995). Nilai positif dari
kesehatan mental akan memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan
seseorang. Khusus pada remaja, Akhtar (2009) yang menyatakan bahwa
psychological well being dapat membantu remaja untuk menumbuhkan emosi
positif, merasakan kepuasan hidup dan kebahagiaan, mengurangi kecendrungan
mereka untuk berprilaku negatif.
Hurlock (1991) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis akan
berkontribusi terhadap prestasi. Artinya kesejahteraan psikologis akan menjadi
energi untuk meraih prestasi. Kesejahteraan psikologis menyebabkan munculnya
emosi positif dalam menghadapi berbagai tantangan dan hambatan kehidupan.
Emosi positif ini akhirnya membuka ruang dari potensi yang dimiliki seseorang
sehingga ia dapat memberikan kinerja terbaiknya dalam belajar.
Dengan demikian, kesejahteraan psikologis dibutuhkan agar individu
dapat meningkatkan efektivitas dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk salah
satunya adalah sukses pada bidang akademik. Pada saat menempuh pendidikan
pada jenjang manapun, individu diharapkan mempunyai kesejahteraan psikologis
2
yang baik agar individu dapat mencapai kesuksesan pada bidang akademik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Hurlock (1991) bahwa prestasi berkorelasi dengan
kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan psikologis dapat dicirikan sebagai
indikator fungsi mental yang baik. Kesejahteraan psikologis sebagai suatu
dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan agar dapat
mencapai kesuksesan termasuk pada bidang akademik.
Pada mahasiswa terdapat fenomena yang menggambarkan bahwa
kesejahteraan psikologis mahasiswa cerdas istimewa belum berkembang dengan
baik. Hal ini diketahui dari hasil wawancara terhadap tiga mahasiswa Universitas
Negeri Malang (UM), meliputi: Fakultas Pendidikan Psikologi (FPPsi) UM dan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UM. Mahasiswa
kurang mampu mengontrol lingkungan, tujuan hidup yang belum terarah, dan
kurang dalam mengembangkan diri.
Ketidakmampuan mengontrol lingkungan menyebabkan mahasiswa
dengan mudah terbawa oleh lingkungan. Hal ini menyebabkan mahasiswa menjadi
fluktuatif dan tidak mampu membuat keputusan tanpa dukungan teman-teman.
Tujuan hidup mahasiswa belum mempunyai arah yang jelas. Mahasiswa
ingin meraih kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan orang tuanya,
namun usaha yang dilakukan hanya sebatas menyelesaikan perkuliahan yang saat
ini dijalani. Padahal mendapatkan kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan
datang membutuhkan berbagai kompetensi, bukan hanya kemampuan akademik.
Pada dimensi pengembangan diri, mahasiswa mengembangkan potensi
yang dimilikinya. Sebagaian fokus pada pengembangan diri yang bersifat
nonakademik, seperti organisasi dan olah raga. Padahal mahasiswa mempunyai
potensi yang beragam, namun belum dikembangkan dengan optimal.
Fenomena ini menarik untuk diteliti. Mahasiswa sebagai sumber daya
manusia yang unggul pada potensi intelektual diharapkan memberikan kontribusi
yang besar dalam kehidupan masyarakat, dalam bidang akademik dan non
akademik. Tentu hal ini tidak mudah diraih oleh mahasiswa karena prestasi
3
akademik bukan hanya ditentukan oleh faktor intelektual namun juga faktor
nonintelektual, termasuk kesejahteraan psikologis.
Kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti, status sosial
ekonomi (Pinquart & Sorenson, 2000), dukungan sosial (Robinson 1983; Lazarus
1993), jaringan sosial (Wang & Kanungo, 2004), religiusitas (Eva & Bisri, 2018;
Bastaman, 2000), dan kepribadian (Santrock,1999; Warr, 2011). Faktor-faktor
yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia dan Malaysia
belum banyak diteliti, walaupun mempunyai budaya serumpun. Padahal menjadi
hal penting untuk mengetahui faktor-faktor kesejahteraan psikologis mahasiswa
Indonesia dan Malaya agar dapat dijadikan salah satu landasan utama dalam
membantu meningkatkan prestasi akademik mahasiswa Indonesia dan Malaysia
agar dapat berkontribusi secara luas di masyarakat.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Apakah terdapat perbedaan model kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia
dan Malaysia?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan model kesejahteraan
psikologis mahasiswa Indonesia dan Malaysia.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Mengembangkan teori kesejahteraan psikologis khususnya pada mahasiswa
Indonesia dan Malaysia. Selain itu, perguruan tinggi dapat menggunakan hasil
penelitian ini untuk membantu mahasiswa dalam mengoptimalkan prestasinya dan
untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan psikologisnya agar sukses dalam
kehidupan, khususnya bidang akademik.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS
2.1.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis
Riff (1989) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis adalah pencapaian
penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat
menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup,
mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang
mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal.
Ryff (1989) menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu
konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas
dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi
atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya.
Selanjtunya menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang
memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang
yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang
aktualisasi diri (self actualization, pandangan Jung tentang individuasi, konsep
Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam
menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa.
kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan,
kepuasan hidup dan tidak adanya tanda-tanda depresi (Ryff, 1995). Bradburn
(1970) menyatakan bahwa happiness (kebahagiaan) merupakan hasil dari
kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh
setiap individu (Ryff dan Singer, 1998).
Adapun menurut Ramos (2007) kesejahteraan psikologis adalah kebaikan,
keharmonisan, menjalin hubungan baik dengan orang lain baik antar individu
maupun dalam kelompok. Raz (2004) menambahkan bahwa menjalankan kegiatan
sepenuh hati dan sukses dalam menjalin hubungan dengan dengan orang lain
5
merupakan makna dari kesejahteraan psikologis, dengan kata lain sumber dari
kesejahteraan psikologis adalah menemukan makna dalam hidupnya.
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia,
memiliki kepuasan hidup dan tidak ada tanda-tanda depresi. Kondisi tersebut
dipengaruhi oleh adanya fungsi psikologis positif dari diri individu yaitu:
penerimaan diri, hubungan sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup,
mengembangkan potensi dan mampu mengontrol lingkungan eksternal
2.1.2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis
Menurut Ryff dan Keyes (1995) pondasi kesejahteraan psikologis adalah
individu yang secara psikologis mampu berfungsi secara positif (Possitive
psychological functioning). Dimensi individu yang mempunyai fungsi psikologis
yang positif yaitu:
a. Penerimaan diri (Self-acceptance)
Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan merupakan
karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan.
penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya.
kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap
diri sendiri dan kehidupan yang dijalaninya. Menurut Ryff (1989) hal tersebut
menandakan kesejahteraan psikologis yang tinggi. Individu yang memiliki tingkat
penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap positif terhadap diri sendiri,
mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik yang positif
maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian
pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang
baik dan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa
dengan pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk menjadi pribadi
yang bukan dirinya, dengan kata lain tidak menjadi dirinya saat ini.
6
b. Hubungan Positif dengan orang lain (Positive relation with others)
Pada dimensi ini seringnya disebut dimensi yang paling penting dari konsep
kesejahteraan psikologis. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan hangat
dan saling percaya dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya
kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu
kemampuan untuk mencintai orang lain. Dalam dimensi ini, individu yang
dikatakan tinggi atau baik ditandai dengan adanya hubungan yang hangat,
memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, dan ia juga memiliki rasa afeksi
dan empati yang kuat terhadap orang lain. Sementara itu, individu yang dikatakan
rendah atau kurang bak dalam dimensi ini ditandai dengan memiliki sedikit
hubungan dengan orang lain, sulit bersikap hangat dan enggan memiliki ikatan
dengan orang lain.
c. Memiliki Kemandirian (Autonomy)
Pada dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian, kemampuan untuk
menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Individu
yang mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan bertingkah laku dengan
cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal,
hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sementara individu yang
kurang baik dalam dimensi ini akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari
orang lain, mereka akan membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain dan
cenderung bersikap konformis. Dengan kata lain individu yang tidak terpengaruh
dengan persepsi orang lain dan tidak bergantung dengan orang lain adalah individu
yang memiliki autonomy yang baik, sedangkan individu yang mudah terpengaruh
serta bergantung pada orang lain adalah individu yang memiliki autonomy yang
rendah.
d. Mampu mengontrol lingkungan eksternal (Environmental Mastery)
Hal yang dimaksud dalam dimensi ini adalah seseorang yang mampu
memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi
yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui
7
aktifitas fisik mapupun mental. Individu dengan kesejahteraan psikologis yang
baik memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, ia memiliki kemampuan
dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya (lingkungan eksternal).
Sementara itu, Individu yang kurang baik dalam dimensi akan menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki
kontrol terhadap lingkungan luar disekitarnya.
e. Tujuan Hidup (Purpose in Life )
Pada dimensi ini menjelaskan kemampuan individu untuk mencapai tujuan
atau arti hidup. Individu yang memiliki makna dan keterarahan dalam hidup, maka
akan memiliki perasaan bahwa kehidupan baik saat ini maupun masa lalu
mempunyai makna, memiliki kepercayaan untuk mencapai tujuan hidup, dan
memiliki target terhadap apa yang ingin dicapai dalam hidup, maka dapat
dikatakan bahwa ia memiliki tujuan hidup yang baik. Sementara, seseorang yang
kurang baik dalam dimensi ini, ditandai dengan memiliki perasaan tidak ada tujuan
yang ingin dicapai dalam hidup tidak melihat adanya manfaat terhadap kehidupan
masa lalunya, dan tidak mempunyai kepercayaan untuk membuat hidup berarti.
Dimensi ini juga menggambarkan kesehatan mental (psikologis) seseorang,
karena kita tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki seorang
indvidu mengenai tujuan dan makna kehidupannya ketika mendefenisikan
kesehatan mental.
f. Pengembangan Potensi dalam diri (Personal Growth)
Dimensi ini menjelaskan tentang kemampuan individu untuk mengembangkan
potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Personal growth ini
penting untuk dimiliki setiap individu dalam berfungsi secara psikologis. Salah
satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk
mengaktualisasi diri, misalnya keterbukaan terhadap pengalaman. Seseorang yang
memiliki personal growth yang baik memiliki perasaan untuk terus berkembang,
melihat diri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi dalam diri, dan
mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu.
8
Sementara itu, Individu yang kurang baik dalam personal growth ini akan
menunjukkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku
baru, memiliki perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang monoton dan
stagnan, serta tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalaninya.
2.1.3. Faktor Kesejahteraan Psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis meliputi:
a. Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan gambaran ungkapan prilaku suportif
(mendukung) yang diberikan seseorang individu kepada individu lain yang
memiliki keterikatan dan cukup bermakna dalam hidupnya. Dukungan sosial dari
orang-orang yang bermakna dalam kehidupan seseorang dapat memberikan
peramalan akan well-being seseorang (Robinson 1983; Lazarus 1993).
Dukungan sosial yang diberikan bertujuan untuk mendukung penerima dalam
mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup. Adanya interaksi yang baik dan
memperoleh dukungan dari rekan kerja akan mengurangi munculnya konflik dan
perselihan ditempat kerja (Chaiprasit, 2011).
b. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang.
Seperti besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan,
kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat. (Pinquart & Sorenson, 2000).
Kegagalan dalam pekerjaan dan terhambatnya income dapat mengakibatkan stres
kerja yang berdampak pada menurunnya kesejahteraan psikologis karyawan yang
berakhir dengan performa kerja buruk dan produktifitas rendah akan merugikan
organisasi ataupun perusahaan. (Skakon Nielsen, Borg, Guzman, 2010)
c. Jaringan sosial
Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam
pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang
dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000).
9
Jaringan sosial yang baik dan menjaga kualitas hubungan sosial dengan
lingkungan akan mengurangi munculnya konflik dan meningkatkan kesejahteraan
psikologis dalam hidup. (Wang & Kanungo, 2004).
d. Religiusitas
Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan
Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai
kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna
(Bastaman, 2000).
e. Kepribadian
Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti
penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan,
coping skill yang efektif akan cenderung terhindar dari konflik dan stres
(Santrock,1999; Warr, 2011). Seseorang yang tidak dapat menentukan pilihan
secara bijak, tidak berani mengambil resiko, kurangnya dalam hal kemampuan
mengontrol diri dan tidak memiliki penerimaan diri yang baik merupakan indikasi
keberadaan konflik dalam dirinya yang akan mengurangi tingkat kesejahteraan
secara psikologis di kehidupannya. (Warr, 2011).
2.2. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS MAHASISWA
2.2.1. Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Indonesia
Penelitian kesejahteraan psikologis mahasiswa di Indonesia telah banyak
dilakukan. Fadli (2008), telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara
dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis mahasiswa. Hasilnya
menunjukan korelasi positf yang signifikan. Mahasiswa membutuhkan dukungan
sosial untuk mencapai kesejahteraan psikologis.
Penelitian lainya mengenai kesejahteraan psikologis mahasiswa cerdas
istimewa di Indonesia menunjukan bahwa ada pengaruh religiusitas yang lebih
besar dibandingkan dengan pengaruh dukungan sosial (Eva & Bisri, 2018).
10
Religiusitas memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dukungan
sosial.
Sedangkan pada faktor kepribadian, Tamalati (2012) meneliti dengan
subjek mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi menemukan bahwa
neuroticism berkorelasi negatif dengan kesejahteraan psikologis. Mahasiswa yang
sedang mengerjakan skripsi dengan neuroticism yang rendah memiliki
kesejahteraan psikologis yang sedang. Penelitian ini menggambarkan bahwa
faktor kepribadian berpengaruh terhadap kondisi kesejahtraan psikologis
mahasiswa. Penemuan ini menguatkan penelitian sebelumnya (Walker, 2009)
yang menyebutkan bahwa mahasiswa senior lebih sejahtera secara psikologis.
Berbagai penelitian diatas menunjukan bahwa prediktor kesejahteraan
psikologis mahasiswa tidak hanya dipengaruhi satu prediktor tunggal. Dukungan
sosial, religiusitas, dan kepribadian merupakan prediktor yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia.
2.2.2. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS MAHASISWA MALAYSIA
Penelitian pada mahasiswa Malaysia dilakukan oleh Yasin & Zulkifli
(2010) menunjukkan adanya hubungan negatif antara masalah kesejahteraan
psikologis mahasiswa dan dukungan sosial. Semakin tinggi dukungan sosial yang
diterima maka semakin rendah problem psikologisnya, sehingga kesejahteraan
psikologisnya meningkat.
Selain itu penelitian sejenis yang dilakukan oleh Panahi,dkk., (2016)
menghasilkan temuan bahwa kesejahteraan psikologis mahasiswa pascasarjana
Malaysia secara signifikan dipengaruhi oleh perencanaan, bencana, dukungan
orang lain yang signifikan, penilaian ulang, menyalahkan orang lain, menyalahkan
diri sendiri, dukungan teman, menempatkan ke dalam perspektif penerimaan, dan
berjalan. Pada penelitian ini disebutkan bahwa dukungan sosial menjadi salah satu
prediktor kesejahteraan psikologis.
11
2.3. HIPOTESIS
Terdapat perbedaan model kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia dan
Malaysia.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. TIPE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Aliaga dan Gunderson
(2000) mendefinisikan penelitian kuantitatif adalah: Quantitative research is
‘Explaining phenomena by collecting numerical data that are analysed using
mathematically based methods (in particular statistics)’
Berdasarkan definisi tersebut dijelaskan bahwa penelitian kuantitatif adalah
penelitian yang mengangkakan semua data dan data dianalisis dengan metode
matematika. Pada pendekatan kuantitatif arah dan fokus penelitian dilakukan
melalui uji teoritik, membangun atau menyusun fakta dan data, deskripsi statistik,
kejelasan hubungan dan prediksi (Bogdan dan Biklen, 1982). Penelitian ini
dilakukan dengan melakukan literature review terlebih dahulu, kemudian memilih
variabel yang ingin diteliti, menyusun desain penelitian yang akan digunakan untuk
memperoleh data, selanjutnya data dianalisis dengan metode statistik inferensial,
diharapkan hasil penelitian akan menjelaskan hubungan antara variabel penelitian
dan dapat memprediksi fenomena yang terkait dengan variabel penelitian. Hasil
penelitian kuantitatif juga memungkin dilakukan generalisasi terhadap populasi
yang sesuai dengan karakteristik subyek penelitian (Rhodes, 2013).
Penelitian kuantitatif ini selaras dengan tujuan penelitian yang ditetapkan
oleh peneliti yaitu menguji faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
psikologis. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis mahasiswa
meliputi kepribadian, religiusitas,dan dukungan sosial, menjadi landasan untuk
mengkonstruksi model yang akan dikembangkan.
3.2. VARIABEL PENELITIAN
Variabel Y : Kesejahteraan Psikologis (Y)
Variabel X : Dukungan Sosial (X1), Religiusitas (X2), Kepribadaian (X3)
13
3.3. SUBYEK PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa yang berusia 18-25 tahun yang
masuk dalam kategori remaja akhir di Universitas Negeri Malang (UM) dan
University of Malaya berjumlah 1000 orang. Sample yang digunakan berjumlah
354 mahasiswa Indonesia dan 220 mahasiswa Malaysia yang diperoleh dengan
teknik purposive.
3.4. INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen yang digunakan dalam penelitian diadaptasi dari instrumen yang pernah
digunakan di berbagai belahan dunia. Ada lima instrument, yaitu skala
kesejahteraan psikologis, skala dukungan sosial dan skala religiusitas
3.4.1. Skala Kesejahteraan Psikologis
Skala Kesejahteraan Psikologis diadaptasi dari psychological well-being
scale dari Ryff dan Singer (2006) menggambarkan psychological well-being
melalui enam dimensi keberfungsian yang meliputi : penerimaan diri, pertumbuhan
pribadi, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, kemandirian dan hubungan positif
dengan orang lain.
Tabel 1
Blue Print Skala Kesejahteraan Psikologis
Dimensi Nomor Aitem Favorabel Nomor Aitem Unfavorabel
Autonomi 1,7,25,37 13,19,31
Menguasai Lingkungan 2,8,20,38 14,26,32
Pertumbuhan Personal 9,15,21,33 3,27,39
Hubungan Positif 4,22,28,40 10,16,34
Tujuan Hidup 11,29,35,41 5,17,23
Penerimaan Diri 6,12,24,42 18,30,36
14
3.4.2. Skala Dukungan Sosial
Skala Dukungan Sosial diadaptasi dari Scale of Perceived Social Support (Zimet,
Dahlem, Zimeft & Farley, 1988). Skala ini mempunyai tiga dimensi, yaitu: keluarga
(family), teman (friend), dan orang lain yang berpengaruh signifikan (significant
other). Skala ini berbentuk likert. Total aitem berjumlah 12 buah.
Tabel 2
Blue Print Skala Dukungan Sosial
Dimensi Nomor aitem
Keluarga 3,4,8,11
Teman 6,7,9,12
Orang Penting 1,2,5,10
3.4.3. Skala Religiusitas
Skala Regiliusitas diadaptasi The Religious Commitment Inventory-10 (RCI-10)
yang ditulis oleh Worthington, Wade, Hight, Ripley, McCullough, Berry, Schmitt,
Berry, Bursley, & O’Conner (2003).
Tabel 3
Blue Print Skala Religiusitas
Dimensi Nomor Aitem
Intrapersonal 1,3,4,5,7,8
Interpersonal 2,6,9,10
3.4.4. Skala Kepribadian Big Five
Skala Kepribadian diadaptasi dari Scale of Big Five dari Goldberg (1992)
mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi kepribadian, yaitu Emotional
Stability, Extraversion, Openness to Experience, Agreeableness dan
Conscientiousness
15
Tabel 4
Blue Print Skala Kepribadian
Dimensi Nomor Aitem Favorabel Nomor Aitem Unfavorabel
Emotional Stability 9 4
Extraversion 1 6
Openness to Experience 5 10
Agreeableness 7 2
Conscientiousness 3 8
3.5. ANALISIS DATA
Analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis. Hipotesis dalam penelitian
ini adalah terdapat perbedaan model kesejahteraan psikologis Mahasiswa Indonesia
dan Malaysia dengan dipengaruhi oleh dukungan sosial, dan religiusitas. Hipotesis
penelitian dilakukan dengan pendekatan Structural Equation Model (SEM).
16
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. ANALISIS DESKRIPTIF
4.1.1. Kesejahteraan Psikologis
Tabel 7
Hasil Analisa Deskriptif Kesejahteraan Psikologis
Negara Tinggi Sedang Rendah
∑ % ∑ % ∑ %
Indonesia 54 15.25 254 71.75 46 13
Malaya 35 15.9 148 67.3 36 16.4
Mahasiswa Indonesia dan Malaysia memiliki kesejahteraan psikologis yang
sedang.
4.1.2. Dukungan Sosial
Tabel 8
Hasil Analisa Deskriptif Dukungan Sosial
Negara Tinggi Sedang Rendah
∑ % ∑ % ∑ %
Indonesia 59 16.67 245 69.21 50 14.12
Malaya 35 16.9 151 68.64 34 15.45
Mahasiswa Indonesia dan Malaysia memiliki dukungan sosial yang sedang
4.1.3. Religiusitas
Tabel 9
Hasil Analisa Deskriptif Religiusitas
Negara Tinggi Sedang Rendah
∑ % ∑ % ∑ %
Indonesia 56 15.82 235 66.38 63 17.8
Malaya 6 2.72 199 90.45 15 6.82
Mahasiswa Indonesia dan Malaysia mempunyai religiusitas yang sedang
17
4.1.4. Kepribadaian Big Five
Table 10
Hasil Analisa Kepribadian Big Five
Negara Emotional
Stability
Extraversion Openness Agreeableness Conscientiousnes
∑ ∑ ∑ ∑ ∑
Indonesia 30 30 39 41 73
Malaysia 34 24 18 14 47
Mahasiswa Indonesia dan Malaysia sebagian besar berkepribadian
conscientiousness.
18
4.2. ANALISIS STRUKTURAL EQUATION MODEL (SEM)
4.2.1. ANALISIS CONFIRMATORY FACTOR ANALYSIS (CFA)
4.2.1.1. Mahasiswa Indonesia
ANALISIS CFA – INSTRUMENT INDONESIA
Religiusutas (RE) – Indonesia
Gambar 1. Analisa CFA Religiusitas Mahasiswa Indonesia
Hasil :
Indikator Valid = semua valid
Indikator Tidak Valid = -
Dukungan Sosial (DS) – Indonesia
19
Gambar 2. Analisa CFA Dukungan Sosial Mahasiswa Indonesia
Hasil :
Item tidak valid = -
Item valie = semua valid
20
Kesejahteraan Psikologis (KP) – Indonesia
PART 1 – AUTO, ML, PP
Gambar 3. Analisa CFA Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Indonesia (Part 1)
Item tidak valid = KP7, KP25, KP37, KP31, KP2, KP38, KP9, KP15, KP21,
KP33, KP3, KP39
21
PART 2 – HP, TP, PD
Gambar 4. Analisa CFA Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Indonesia (Part 2)
Item tidak valid : KP28, KP10, KP34, KP41, KP5, KP42, KP18, KP30, KP36
22
4.2.1.2. Mahasiswa Malaysia
ANALISIS CFA – INSTRUMENTS MALAYSIA
Religiusitas (RE) – Malaysia
Gambar 5. Analisa CFA Religiusitas Mahasiswa Malaysia
Hasil :
Indikator Valid = RE1, RE3, RE4, RE5, RE6, RE7, RE8, RE9
Indikator Tidak Valid = RE2, RE10
23
Dukungan Sosial (DS) – Malaysia
Gambar 6. Analisa CFA Dukungan Sosial Mahasiswa Malaysia
Hasil :
Item tidak valid = DS3 dan DS9
24
Kesejahteraan Psikologis (KP) – Malaysia
PART 1 – AUTO, ML, PP
Gambar 7. Analisa CFA Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Malaysia (Part 1)
Item tidak valid = KP1, KP7, KP13. KP2, KP8, KP14, KP32, KP9, KP15,
KP21, KP33, KP3, KP39
25
PART 2 – HP, TP, PD
Gambar 8. Analisa CFA Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Malaysia (Part 2)
Item tidak valid : KP11, KP7, KP37. KP13, KP19, KP31, KP2, KP8, KP14,
KP26, KP32,KP9, KP15, KP3
26
4.2.2. ANALISIS REGRESI
4.2.2.1. Analisis Model Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Indonesia
Gambar 9. Analisis Model Kesejahteraan Mahasiswa Indonesia
Berdasarkan analisis model kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia diketahui
bahwa dukungan sosial dan religiusitas merupakan prediktor kesejahteraan psikologis
mahasiswa Indonesia, namun kepribadian bukan sebagai prediktor kesejahteraan psikologis
mahasiswa Indonesia.
27
4.2.2.1. Analisis Model Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Malaysia
Gambar 10. Analisis Model Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Malaysia
Berdasarkan analisis model kesejahteraan psikologis mahasiswa Malaysia diketahui
bahwa dukungan sosial, religiusitas, dan kepribadian bukan sebagai prediktor kesejahteraan
psikologis mahasiswa Malaysia.
28
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini menemukan adanya perbedaan hasil antara Model
Kesejahteraan Mahasiswa Indonesia dan Malaysia. Dukungan sosial dan
religiusitas sebagai prediktor kesejahteraan psikologis bagi mahasiswa Indonesia,
tetapi tidak untuk mahasiswa Malaysia. Kepribadian bukan prediktor
kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia dan Malaysia. Jadi kesejahteraan
psikologis mahasiswa Malaysia tidak dapat diprediksi oleh dukungan sosial,
religiusitas, dan kepribadian. Terdapat faktor yang lain, yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis mahasiswa Malaysia, seperti, aktivitas yang
menyenangkan, atau kesejahteraan finansial.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dukungan sosial dan religiusitas berperan
penting dalam mempengaruhi kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia.
Dukungan sosial mahasiswa Indonesia berkorelasi dengan kesejahteraan
psikologis. Dukungan sosial adalah kehadiran orang lain yang dapat membuat
individu percaya bahwa mereka dicintai, dirawat, dan merupakan bagian dari
kelompok sosial (Taylor, 2009). Dukungan sosial menyediakan sumber daya
untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis melalui bantuan yang diberikan
oleh orang lain. Dukungan sosial membantu seseorang untuk menghadapi situasi
yang tidak menyenangkan dan untuk penyesuaian yang lebih baik. Dukungan
sosial yang diterima oleh individu akan meningkatkan kesehatan fisik dan mental,
selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan psikologis (Cohen, 2004)
Dengan demikian, ketika mahasiswa Indonesia ingin meningkatkan
kesejahteraan psikologis maka dukungan sosial menjadi faktor yang utama untuk
dihadirkan. Dukungan sosial dari teman, keluarga, dosen, dan orang yang
berpengaruh dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia.
Dukungan sosial dibutuhkan mahasiswa Indonesia untuk menyelesaikan beragam
masalah yang dihadapinya. Sebagaimana dijelaskan oleh Arnett (2015),
mahasiswa dalam masa peralihan, dari masa remaja menuju masa dewasa, yang
dikenal dengan masa emerging adulthoods, adalah masa ketidakstabilan. Hal ini
29
disebabkan mahasiswa menghadapi berbagai problem kehidupan, seperti,
akademik, percintaan, keuangan, dan hubungan pertemanan. Mahasiswa akan
mengalami perubahan kondisi lebih sering dibandingkan masa sebelum dan
sesudahnya. Kondisi yang tidak stabil ini menyebabkan mahasiswa mengalami
stress. Mahasiswa dalam kondisi stress membutuhkan dukungan sosial untuk
meningkatkan kesejahteraan psikologis (Yasin & Zulkifli, 2010; Luo, 2019).
Pada penelitian ini, tampak bahwa dukungan sosial dibutuhkan oleh
mahasiswa Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis. Hal ini
berbeda dengan mahasiswa Malaysia yang tidak membutuhkan dukungan sosial
untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis. Perbedaan pengaruh dukungan
sosial antara mahasiswa Indonesia dan Malaysia disebabkan dukungan sosial yang
diterima individu dipengaruhi oleh budaya masyarakat (Glazer, 2006). Budaya
mempengaruhi bagaimana individu menerima, memberi, dan mempersepsi jenis
dan sumber dukungan. Masyarakat Indonesia mempunyai budaya kolektivisme
akan mempengaruhi dukungan sosial yang diterima oleh individu.
Hofstede (2011) menerangkan bahwa individu yang hidup dalam budaya
kolektivisme akan mengintegrasikan diri dalam kelompok selama hidupnya, sejak
lahir sampai akhir hayat. Kelompok akan melindungi satu sama lain sebagai satu
keluarga besar. Budaya kolektivisme ini menjadi identitas bangsa Indonesia dan
menyebabkan individu lebih mementingkan kebutuhan kelompok daripada
dirinya sendiri. Mahasiswa Indonesia yang merupakan bagian dari kelompok akan
mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan sosialnya, seperti teman, keluarga,
dosen, dan orang yang berpengaruh di sekelilingnya.
Faktor yang kedua, setelah dukungan sosial, adalah faktor religiusitas.
Religiusitas mahasiswa Indonesia mempengaruhi kesejahteraan psikologis.
Religiusitas mahasiswa Indonesia dipengaruhi oleh budaya Indonesia. Tingkat
religiusitas yang tinggi dalam lingkungan budaya tertentu, akan meningkatkan
korelasi antara religiusitas dan kesejahteraan psikologis. Dalam lingkungan
budaya yang sangat religius, kesejahteraan psikologis dapat diharapkan untuk
berkorelasi positif dan bahkan lebih dengan orientasi keagamaan intrinsik (Lavric
& Klere, 2008).
30
Hasil yang sama ditemukan oleh Eva & Bisri (2018) bahwa religiusitas
menjadi prediktor kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia, khususnya
mahasiswa cerdas istimewa. Dapat disimpulkan bahwa, mahasiswa Indonesia
secara umum menjadikan faktor religiusitas sebagai pendukung terciptanya
kesejahteraan psikologis dalam dirinya. Semakin religiusitas mahasiswa
Indonesia maka akan semakin tinggi pula kesejahteraan psikologisnya.
Religiusitas menyebabkan mahasiswa menjaga tujuan hidupnya, termotivasi
menjalin hubungan sosial yang lebih baik, menerima kelebihan dan kekurangan
yang ada pada dirinya, berusaha menjadi lebih baik,
Jika dibandingkan antara pengaruh dukungan sosial dan religiusitas sebagai
prediktor kesejahteraan psikologis bagi mahasiswa Indonesia, diketahui bahwa
dukungan sosial memiliki pengaruh yang lebih besar pada kesejahteraan
psikologis dibandingkan dengan religiusitas karena pada masa transisi dari remaja
menuju masa dewasa, mahasiswa membutuhkan dukungan sosial yang lebih besar
dibandingkan faktor religiusitas.
Religiusitas tetap menjadi hal yang penting untuk meningkatkan
kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia. Religiusitas adalah prediktor
kedua setelah dukungan sosial. Ini berarti bahwa kesejahteraan psikologis pada
siswa Indonesia semakin kuat dengan kontribusi religiusitas dan dukungan sosial.
Di Malaysia, dukungan sosial dan religiusitas siswa bukanlah prediktor
kesejahteraan psikologis. Dengan demikian ada variabel lain, seperti kegiatan
rekreasi (Chetna & Sharma, 2019) dan kesejahteraan finansial (Ludban & Gitimu,
2016) sebagai prediktor kesejahteraan psikologis bagi siswa Malaysia.
Sebagaimana diketahui terdapat perbedaan kondisi ekonomi di Indonesia dan
Malaysia. Kondisi ekonomi Malaysia menjadi faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan mahasiswa Malaysia.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa mereka yang sangat puas
dengan keuangan mereka menunjukkan penguasaan emosi yang lebih tinggi
dalam kesejahteraan psikologis mereka daripada mereka yang peduli dengan
keuangan mereka. Individu-individu yang lebih stabil secara ekonomi lebih
mampu mengelola lingkungan mereka dan mengendalikan beberapa kegiatan
31
eksternal yang pada akhirnya menciptakan titik kesejahteraan psikologis yang
lebih tinggi (Ludban & Gitimu, 2016).
Kepribadian bukanlah prediktor dari kesejahteraan psikologis bagi
mahasiswa Indonesia dan Malaysia. Dengan demikian kepribadian tidak
berkontribusi terhadap kesejahteraan psikologis. Sebagian besar mahasiswa
Indonesia dan Malaysia berkepribadian conscientiousness.
Kepribadian conscientiousness menunjukan ketekunan dan motivasi dalam
mencapai tujuan sebagai perilaku langsungnya. Sebagai lawannya menilai apakah
individu tersebut tergantung, malas dan tidak rapi. Dimensi ini merujuk pada
jumlah tujuan yang menjadi pusat perhatian seseorang. Orang yang mempunyai
skor tinggi cenderung mendengarkan kata hati dan mengejar sedikit tujuan dalam
satu cara yang terarah dan cenderung bertanggungjawab, kuat bertahan, mandiri,
dan berorientasi pada prestasi. Sementara yang skornya rendah ia akan cenderung
menjadi lebih kacau pikirannya, mengejar banyak tujuan, dan lebih hedonistik
(Robbins, 2001).
Pada kajian yang sebelumnya dijelaskan bahwa kepribadian berpengaruh
terhadap kesejahteraan psikologis (Warr, 2011). Namun, generasi melineal yang
merupakan subyek penelitian ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Terdapat
faktor teknologi yang saat ini menjadi prediktor bagi kesejahteraan psikologis
generasi melineal. Generasi melineal lebih sering berkomunikasi dengan sosial
media dibandingkan dengan interaksi sosial yang nyata. Generasi melineal
memenuhi kebutuhan yang bersifat personal melalui penggunaan aplikasi pada
gawai yang bekerja berbasis internet. Berdasarkan fenomena ini, kontribusi
kepribadian terhadap kesejahteraan psikologis mengalami perubahan yang sangat
mendasar disebabkan penggunaan teknologi yang massif dalam kehidupan
mahasiswa di Indonesia dan Malaysia.
32
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
Terdapat perbedaan model kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia
dan Malaysia. Kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesa dipengaruhi oleh
dukungan sosial dan religiusitas, sedangkan kepribadian tidak berpengaruh
terhadap kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia. Kesejahteraan psikologis
mahasiswa Malaysia tidak dipengaruhi oleh dukungan sosial, religiusitas, dan
maupun kepribadian.
Perbedaan model kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia dan
Malaysia bukan hanya dipengaruhi faktor psikologis, namun juga dipengaruhi
oleh faktor ekonomi. Sebagaimana diketahui kondisi ekonomi Malaysia lebih baik
dibandingkan dengan Indonesia. Teori kesejahteraan psikologis telah menjelaskan
beragam faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis, baik terkait dengan
psikologis, sosial, ekonomi, religiusitas, dan sebagainya.
6.2. SARAN
6.2.1. Kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia dapat ditingkat dengan
memberikan dukungan sosial. Mahasiswa Indonesia dapat memperoleh dukungan
sosial dari teman, dosen, keluarga, dan orang-orang yang berpengaruh. Untuk
mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan sosial hendaknya mahasiswa lebih
terbuka dalam mengkomunikasikan problem yang dihadapinya pada teman,
dosen, keluarga, dan orang-orang yang berpengaruh di lingkungan. Mahasiswa
Indonesia dapat juga menggunakan lembaga konseling yang terdapat di Perguruan
Tinggi dimana mahasiswa belajar. Selain itu, mahasiswa Indonesia hendaknya
juga mengembangkan hubungan interpersonal sehingga mempunyai lingkungan
sosial yang lebih luas dan memungkin mendapatkan dukungan sosial yang lebih
tinggi pula.
6.2.2. Kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia juga dipengaruhi oleh
religiusitas. Religiusitas merupakan faktor kedua, setelah faktor dukungan sosial,
33
yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis mahasiswa Indonesia.
Meningkatkan religiusitas dapat dilakukan dengan mempelajari agama secara
berkesinambungan, mengikuti kegiatan keagamaan, dan mempraktikan
pemahaman agama area pribadi dan sosial.
6.2.2. Kesejahteraan psikologis mahasiswa Malaysia dipengaruhi oleh faktor
selain dukungan sosial, religiusitas, dan kepribadian, seperti, aktivitas fisik dan
kegiatan yang menyenangkan, serta kesejahteraan finansial. Aktivitas fisik seperti
olah raga dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental sehingga menjadi salah
satu alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis mahasiswa Malaysia.
Kegiatan yang menyenangkan akan mengembangkan emosi positif, yang dapat
digunakan untuk menjalin hubungan sosial dan meningkatkan penerimaan diri,
sehingga kesejahteraan psikologis pada mahasiswa Malaysia dapat ditingkatkan.
Kesejahteraan finansial membantu mahasiswa Malaysia untuk memenuhi
berbagai kebutuhan dan mengendalikan berbagai problem yang dihadapi.
Kesejahteraan finansial dapat ditingkatkan dengan memberi kesempatan
mahasiswa Malaysia membuka wirausaha untuk meningkatkan income sehingga
kesejahteraan psikologisnya dapat ditingkatkan.
34
DAFTAR PUSTAKA
Argyle, M. (2001). The Psychology of Happiness. 2nd Edition. Sussex :Routledge.
Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from late teens
through the twenties. American Psychologist, vol. 55, pp. 469-480. Doi:
10.1037/0003-066X.55.5.469
Arnett, J.J. (2006). G. Stanley Hall’s adolescence: Brilliance and non-sense.
History of Psychology, 9, 186-197. Doi: 10.1037/1093-4510.9.3.186
Arnett, J. J. (2015). Does emerging adulthood theory apply across social classes?
National data on a persistent question. Emerging Adulthood, 4, 227–235.
Doi: 10.1177/2167696815613000
Arnett, J. J. (2015). Emerging adulthood: The winding road from the late teens
through the twenties (2nd ed.). New York, NY, US: Oxford University
Press. doi:10.1093/oxfordhb/9780199795574.013.9
Bastaman, H.D. (2000). Logoterapi dan Islam: Sejalankah?. Metodologi Psikologi
Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bohus, S., Woods Jr, R. H., & Chan, K. C. (2005). Psychological sense of
community among students on religious collegiate campuses in the
Christian evangelical tradition. Christian Higher Education, 4(1), 19-40.
Doi : 10.1080/153637590507423
Bowman, N.A. (2010). Development of psychological well-being among first -
years college students. Journal of College Student Development, 51(2),
180-200. Doi: 10.1353/csd.0.0118
Bradley, Don E. (1995). Religious involvement and social resources: evidence from
the data set ‘americans’ changing lives. Journal for the Scientific Study of
Religion 34:259 -267.
Burris, J., Brechting, E., Salsman, J., & Carlson, C. (2009). Factors associated with
the psychological well-being and distress of university students. Journal of
American College of Health, 57(5), 536-543. DOI:
10.3200/JACH.57.5.536-544
35
Cohen, S. (2004). Social relationships and health. American Psychologist, 59(8),
676–684. https://doi.org/10.1037/0003-066X.59.8.676
Compton, W. C. (2001). Toward a tripartite factor structure of mental health:
Subjective well-being, personal growth, and religiosity. The Journal of
Psychology, 135(5), 486-500. Doi: 10.1080/00223980109603714
Eva, N. & Bisri, M. (2018). Dukungan sosial, religiusitas, dan kesejahteraan
psikologis mahasiswa cerdas istimewa. Prosiding Seminar Nasional
Psikologi Klinis 2018. Malang: 26 Agustus 2018. Hal.101 - 112
Eisenberg, D., Gollust, S. E., Golberstein, E., & Hefner, J. L. (2007). Prevalence
and correlates of depression, anxiety, and suicidality among university
students. American Journal of Orthopsychiatry, vol. 77, pp. 534–542. Doi:
10.1037/0002-9432.77.4.534
Ellison, C.G, George,L.K. (1994). Religious involvement, social ties, and social
support in southeastern community. Journal for The Scientific Study of
Religion. 33, 46–61. Doi: 10.2307/1386636
Fadli, F. L (2008). Hubungan antara dukungan sosial dan Psychological bell-being
Pada Mahasiswa. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Malang
Frankel, B. G., & Hewitt, W. E. (1994). Religion and well-being among Canadian
university students: The role of faith groups on campus. Journal for the
Scientific Study of Religion, 62-73. Doi: 10.2307/1386637
Garcia, D. (2011). Adolescents' happiness: the role of the affective temperament
model on memory and apprehension of events, subjective well-being, and
psychological well-being. Department of Psychology; Psykologiska
institutionen.
Glazer, S. (2006). Social support across cultures. International Journal of
Intercultural Relations, vol. 30, 605–622.
doi:10.1016/j.ijintrel.2005.01.013
Goodwin, R & Giles, S. (2003). Social Support Provision And Cultural Values In
Indonesia And Britain. Journal of Cross-Cultural Psychology. vol. 32, no.
2, pp. 240–245. Doi: 10.1177/0022022102250227
36
Haskell, W. L., Lee, I. M., Pate, R. R., Powell, K. E., Blair, S. N., Franklin, B. A.,
Macera, C. A., Heath, G. W., Thompson, P. D., & Bauman, A. (2007)
Physical activity and public health: updated recommendation for adults
from the American College of Sports Medicine and the American Heart
Association. Circulation, 116, 1081-1093.
Doi:10.1249/mss.0b013e3180616b27
Hill, D. L. (2009). Relationship between sense of belonging as connectedness
andsuicide in American Indians. Archives of Psychiatric Nursing,23(1),
65–74. Doi:10.1016/j.apnu.2008.03.003
Hofstede, G. (2011). Dimensionalizing cultures: The hofstede model in context.
Journal of Psychology And Culture, 2 (1), 1–26.
Ibrahim, A. K., Kelly, S. J., Adams, C. E., & Glazebrook, C. (2013). A systematic
review of studies of depression prevalence in university students. Journal
of psychiatric research, 47(3), 391-400. doi:
10.1016/j.jpsychires.2012.11.015
Jiménez, M. G., Martínez, P., Miró, E., & Sánchez, A. I. (2008) Bienestar
psicológico y hábitos saludables: ¿están asociados a la práctica de ejercicio
físico?, International Journal of Clinical and Health Psychology, 8, 185-
202
Johnson, D.W. & Jhonson, F.P. (1991). Joining Together: Group Theory and Group
Skills. Fourth Edition. London: Prentice Hall International.
Khairani, A.Z., Idris, I., Shamsuddin, H. (2019). Improving psychological well-
being among undergraduates: how creativity can contribute?. International
Journal of Innovative Technology and Exploring Engineering, 8, 48 – 52.
http://ejournal.ukm.my/mjc/issue/view/1200
Khan, R. S., Marlow, C., & Head, A. (2008) Physiological and psychological
responses to a 12-week BodyBalance training programme. Journal of
Science and Medicine in Sport, 11, 299-307. Doi:
10.1016/j.jsams.2007.04.005
Knox, D., Langehough, S. O., Walters, C., & Rowley, M. (1998). Religiosity and
spirituality among college students. College Student Journal.
37
Koenig, H., Parkerson, G. R., Jr, & Meador, K. G. (1997). Religion index
forpsychiatric research. The American Journal of Psychiatry,154(6), 885–
886. Doi : 10.1176/ajp.154.6.885b
Krishnaswamy, S., Subramaniam, K., Jemain, A. Z., Low, W. Y., Ramachandran,
P., Indran, T., & Patel, V. (2011). Common mental disorders in Malaysia:
Malaysian mental health survey 2003-2005. Asia-Pacific Psychiatry, 4,
201-209. doi:10.1111/j.1758-5872.2012.00180.x
Lavric, M. & Klere, S. (2008). The Role of Culture in the Relationship Between
Religiosity and Psychological Well-being. The RJ Relig Health, 47, 164–
175 doi: 10.1007/s10943-008-9168-z.
Lazarus, R. S. (1993). From psychological stress to the emotions: A history of
changing outlooks. Annual review of psychology, 44(1), 1-22. Doi:
10.1146/annurev.ps.44.020193.000245
Ludban, M. & Gitimu, P.N. (2015). Psychological well-being of college students.
Undergraduate Research Journal for the Human Sciences, 14
http://www.kon.org/urc/v14/ludban.html
Luo, Z., Wu, S., Fang, X., & Brunsting, N.C. (2019). International students’
perceived language competence, domestic student support, and
psychological well-being at a U.S. university. Journal of International
Students, 9 (4), 954-971. doi: 10.32674/jis.v0i0.605
Mackenzie, S., Wiegel, J.R., Mundt, M., Brown, D., Saewyc, E., Heiligenstein, E.,
Harahan, B., & Fleming, M. (2011). Depression and suicide ideation
among students accessing campus health care. Am. J. Orthopsychiatry,
81(1), 101–107. doi : 10.1111/j.1939-0025.2010.01077.x
Mankowski, E. S., & Thomas, E. (2000). The relationship between personal and
collective identity: A narrative analysis of a campus ministry
community. Journal of Community Psychology, 28(5), 517-528. Doi:
10.1002/1520-6629(200009)28:5<517::AID-JCOP5>3.0.CO;2-A
Maulida, S.R. (2016). Hubungan tingkat gejala depresi dan indeks prestasi (ip) pada
mahasiswa program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran
universitas tanjungpura angkatan 2014. Naskah Publikasi. Universitas
38
Tanjungpura: Fakultas Kedokteran.
https://media.neliti.com/media/publications/194150-ID-hubungan
tingkat-gejala-depresi-dan-inde.pdf
Menagi, F. S., Harrell, Z. A., & June, L. N. (2008). Religiousness and college
student alcohol use: Examining the role of social support. Journal of
Religion and Health, 47(2), 217-226. Doi: 10.1007/s10943-008-9164-3
Ministry of Health Malaysia. (2009). National suicide registry Malaysia annual
report. Kuala Lumpur. Retrieved October 12, 2014, from
http://www.crc.gov.my/wpcontent/uploads/documents/report/NSRM_rep
ort_2009.pdf
Molina-García, J., Castillo, I., & Queralt, A. (2011). Leisure-time physical activity
and psychological well-being in university students. Psychological
reports, 109(2), 453-460. doi:10.2466/06.10.13.PR0.109.5.453-460
Najati, U. (2005). Al’Quran dan Ilmu Jiwa. Jakarta: Aras Pustaka.
Nooney J, Woodrum E. (2002). Religious coping and church-based social support
as predictors of mental health outcomes: Testing a conceptual model.
Journal for the Scientific Study of Religion, vol. 41, pp 359–368. Doi:
10.1111/1468-5906.00122
Pinquart, M., & Sörensen, S. (2000). Influences of socioeconomic status, social
network, and competence on subjective well-being in later life: a meta-
analysis. Psychology and Aging, 15(2), 187. Doi: 10.1037//0882-
7974.15.2.187
Puskar, K. R., & Bernardo, L.M. (2007). Mental health and academic achievement:
Role of school nurses. Journal for Specialists in Pediatric nursing, 12(4),
215-223.
Putri, F.O. (2012). Correlation between gratitudeand psychological well-being
among college students. Thesis. Universitas Indonesia: Fakultas Psikologi
Robinson, B. C. (1983). Validation of a caregiver strain index. Journal of
gerontology, 38(3), 344-348. Doi: 10.1093/geronj/38.3.344
39
Rüppel, F., Liersch, S., & Walter, U. (2015). The influence of psychological well-
being on academic success. Journal of Public Health, 23(1), 15-24. DOI:
10.1007/s10389-015-0654-y
Ryff, C.D. (1989) Beyond ponce de leon and life satisfaction :new directions in
quest of successful aging. International Journal of Behavioral
Development, vol. 12, pp 35-55. Doi: 10.1177/016502548901200102
Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning
of psychological well-being. Journal of Personality and Social
Psychology, 57 (6), 1069–1081. Doi: 10.1037/0022-3514.57.6.1069
Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being
revisited. Journal of personality and social psychology, 69(4), 719.
Doi:10.1037/0022-3514.69.4.719
Ryff, C.D., Keyes, C.L.M., & Schmotkin, D. (2002). Optimizing well-being: The
empirical encounter of two traditions. Journal of Personality and Social
Psychology, 82, 1007-1022.
Ryff, C. D., & Singer, B. H. (2006). Best news yet on the six-factor model of well-
being. Social Science Research, 35(4), 1103-1119.
Sarokhani, D., Delpisheh, A., Veisani, Y., Sarokhani, M. T., Manesh, R. E., &
Sayehmiri, K. (2013). Prevalence of depression among university students:
a systematic review and meta-analysis study. Depression Research and
Treatment, 1-7, doi: 10.1155/2013/373857.
Schwartz, S. H. (1999). A theory of cultural values and some implications for
work. Applied psychology, 48(1), 23-47. DOI: 10.1111/j.1464-
0597.1999.tb00047.x
St Jan-Trudel.E., Guay, S., Marchnd, A. (2009). The relationship between social
support, psychological stress and the risk of developing anxiety disorders
in men and women: results of a national study. Can J Public Health.
100(2): 148-52.
Taylor, Y. (2009). Lesbian and gay parenting: Securing social and educational
capital. Springer: Germany
40
Triaswari, P. and Utami, M.S. (2014). Kesejahteraan psikologis mahasiswa ditinjau
dari stres. Skripsi. Universitas Gajah Mada : Yogyakarta
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=Pe
nelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=77206&obyek_id=4
Vidiawati, D.,Iskandar,S., and Agustian, D. (2017). Masalah kesehatan jiwa pada
mahasiswa baru di sebuah universitas di Jakarta. Masalah Kesehatan Jiwa
pada Mahasiswa Baru, 5(1), 27-33. Doi : 10.23886/ejki.5.7399.27-33
Warr, P. (2011). Work, happiness, and unhappiness. Lawrence Erlbaum Associate.
Inc : London-New York
Wigtil, C. J. & Henriques, G. R. 2015). The relationship between intelligence and
psychological well-being in incoming college students. Psychology Well-
Being, 5(4). Doi: 10.1186/s13612-015-0029-8
Worthington Jr, E. L., Wade, N. G., Hight, T. L., Ripley, J. S., McCullough, M. E.,
Berry, J. W., & O'Connor, L. (2003). The Religious Commitment
Inventory--10: Development, refinement, and validation of a brief scale for
research and counseling. Journal of counseling psychology, 50(1), 84. Doi:
10.1037/0022-0167.50.1.84
Yang, Y. T. T. (2010). Stress, coping, and psychological well-being: Comparison
among American and Asian international graduate students from Taiwan,
China, and South Korea. Dissertation. Lawrence, KS: University of
Kansas. http://hdl.handle.net/1808/6747
Yasin, M. S., & Zulkifli, M. A. (2010). The relationship between social support
and psychological problems among students. International Journal of
Business and Social Science, 1, 110-116.
http://journal.unika.ac.id/index.php/psi/article/viewFile/937/666
Zaid, Z., Chan, S., & Ho, J. (2007). Emotional disorders among medical students
in a Malaysian private medical school. Singapore Medical Journal, 48(10),
895.
Zimet, G. D., Dahlem, N. W., Zimet, S. G., & Farley, G. K. (1988). The
multidimensional scale of perceived social support. Journal of Personality
Assessment, 52(1), 30-41. Doi: 10.1207/s15327752jpa5201_2
41
Zulkefly, S. N., & Baharudin, R. (2010). Using the 12-item General Health
Questionnaire (GHQ-12) to Assess the Psychological Health of Malaysian
College Students. Global Journal of Health Science, 2(1), P73.