AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
2
Kata Pengantar
“Berpikir berarti menciptakan” (Gilles Deleuze)
Salam pembebasan!
Akhirnya Aufklarung edisi April 2016 terbit! Lewat tulisan-tulisan yang dimuat
Aufklarung edisi kali ini, kami berharap kami bisa menawarkan pemahaman baru
mengenai realitas sosial-politik (dan filosofis) kepada kawan-kawan mahasiswa
(khususnya) dan mampu mengajak kawan-kawan untuk berpikir dan bertindak
lebih kritis di hadapan kenyataan yang serba kompleks dewasa ini.
Selamat menikmati sajian sederhana kami!
Tim Aufklarung LPPMD Unpad
April 2016
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
3
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR ISI
ARTIKEL
Hegemoni Kapitalisme Dalam Media Serta Pengaruhnya Terhadap Eksistensi Kebudayaan Oleh: Ucu Feni (Sekretaris Umum LPPMD Unpad 2015-2016) ......................................... 4 Filsafat Dan Keseharian
Oleh: Aldo Fernando ( Ketua Umum LPPMD Unpad 2015-2016) ....................................... 8
APRESIASI KARYA
Sebuah Dialog: Spionase Oleh Negara Adidaya Oleh: Annadi Muhammad A. (Kepala Divisi Pendidikan LPPMD Unpad 2015-2016) ....... 14
Saya Rusa Berbulu Merah (Ulasan Mengenai Monolog Tan Malaka Di IFI Bandung)
Oleh: Rachmadi Rasyad (Kader LPPMD Unpad) .................................................................. 19
Press Release Diskusi Buku Melawan Liberalisme Pendidikan
(Oleh: Annadi M.A. & Aldo F.) ........................................................................................... 23
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
4
Hegemoni Kapitalisme dalam Media serta
Pengaruhnya terhadap Eksistensi Kebudayaan
Oleh: Ucu Feni (Sekretaris Umum LPPMD Unpad 2015-2016)
Kajian Budaya dan Media
ajian budaya dan media (cultural studies and media) merupakan sebuah
bangunan teori yang dihasilkan para pemikir yang menganggap produksi
pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik politis. Pada konstelasi ini
pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai sebuah fenomena yang bersifat netral
atau objektif. Setiap fenomena senantiasa dilihat sebagai persoalan posisional, yaitu
persoalan dari mana, kepada siapa dan dengan tujuan apa seseorang bicara.1 Ciri kajian
budaya dan media yang dianggap menonjol, di antaranya persoalan diskursif yang selalu
mengedepan di lingkungan masyarakat kontemporer. Apa yang dimaksud dengan kajian
budaya dan media adalah sebuah medan nyata di mana praktik dan representasi
”media” selalu dilihat dari sudut pandang perspektif budaya populer. Budaya itu sendiri
merupakan bentuk-bentuk kontradiktif akal sehat yang sudah mengakar pada dan ikut
membentuk kehidupan sehari-hari (Hall, 1996: 439).
Imperialisme Media
Memasuki era globalisasi, media memegang peranan yang sangat besar terhadap
kelangsungan komunikasi. Perhatian terhadap media dan imperialisme kultural telah
dirangsang oleh beberapa gelintir studi tentang perdagangan televisi global yang
membuat kesimpulan bahwa arus pemrograman didominasi oleh Amerika Serikat (Varis,
1974, 1984 dalam Barker: 2000). Imperialisme kultural merupakan fenomena sebagai
akibat dominasi kapitalisme dalam era globalisasi, yang memiliki korelasi dengan
1 Lihat http://abubakarmangun.blogspot.co.id/2013/04/kontruksi-teori-teori-dalam-perspektif.html
(diakses 19 Desember 2015)
K
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
5
kehadiran media dalam keberlangsungan komunikasi di era modern. Media memiliki
banyak pengaruh dalam pembentukan representasi akan realitas, dan pengaruh ini
dapat dikendalikan oleh kaum kapitalis yang memiliki modal untuk merekayasa hal ini
sehingga menggiring masyarakat ke dalam kesadaran palsu.
Mengapa dikatakan sebagai imperialisme kultural, karena media berhasil
memasukkan unsur penyeragaman dalam kehidupan masyarakat, dimulai dari bentuk
konsumsi, pola pikir, kebiasaan, dan lain-lain—yang bila secara kontinuitas dilakukan
maka menjadi sebuah kebudayaan baru, yang menggeser kebudayaan dalam suatu
masyarakat. Budaya ini dinamakan budaya populer, budaya yang bertentangan dengan
budaya massa (adiluhung). Media berperan besar dalam menjadi arena pertarungan
antara budaya massa dengan budaya populer. Keberhasilan media dalam
menyeragamkan pola konsumsi—bukan hanya soal makanan—telah menunjukkan
adanya upaya kaum kapitalisme dalam menghapus kebudayaan lain dan menggiring
masyarakat ke desa global yang memiliki kebudayaan populer. Program tayangan
televisi telah menjadi perpanjangan tangan kaum kapitalisme untuk imperialisasi
kultural.
Pertarungan Budaya Massa dan Budaya Populer
Kebudayaan pop terutama adalah kebudayaan yang diproduksi secara komersial
dan tidak ada alasan untuk berpikir bahwa tampaknya ia akan berubah di masa yang
akan datang. Namun, dinyatakan bahwa audien pop menciptakan makna mereka sendiri
melalui teks kebudayaan pop dan melahirkan kompetensi kultural dan sumber daya
diskursif mereka sendiri. Kebudayaan pop dipandang sebagai makna dan praktik yang
dihasilkan oleh audien pop pada saat konsumsi dan studi tentang kebudayaan pop
terpusat pada bagaimana dia digunakan. Argumen-argumen ini menunjukkan adanya
pengulangan pertanyaan tradisional tentang bagaimana industri kebudayaan
memalingkan orang kepada komoditas yang mengabdi kepada kepentingannya dan
lebih suka mengeksplorasi bagaimana orang mengalihkan produk industri menjadi
kebudayaan pop yang mengabdi kepada kepentingannya (Barker, 2000: 50).
Berdasarkan uraian di atas, eksistensi kebudayaan pop lahir dari makna yang
diciptakan oleh audien pop itu sendiri. Meskipun secara implisit kebudayaan pop
mengalihkan perhatian masyarakat kepada komoditas, namun audien pop mampu
menciptakan makna tersendiri atas kebudayaan pop—yang dalam kajian budaya
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
6
dinamakan konsumsi kreatif. Tidak semua pihak memandang kebudayaan pop sebagai
bentuk pemakzulan atas kebudayaan massa, termasuk mengenai wacana konsumsi
kreatif. Beberapa tokoh melihat, penayangan program dalam televisi dapat memicu
kreativitas baru alih-alih membatasi daya kreativitas di titik yang sama.
Wacana konsumsi kreatif menjadi pertentangan di antara para ahli kajian budaya,
terlebih bila ,melihat hakikat kebudayaan populer yang bagaimanapun diciptakan
sebagai wujud kepentingan kapitalisme dalam imperialisasi kebudayaan massa.
Pertentangan antara budaya populer dengan budaya massa difasilitasi oleh representasi
yang dibentuk oleh media. Dan dalam praktik representasi yang penuh unsur
pemasukan kesadaran palsu tersebut, media disokong oleh kaum kapitalisme dalam
upaya menjadikan media alat untuk memproduksi kebudayaan sebagai sebuah
komoditas. Peranan kapitalisme dalam mengendalikan media sesuai kebutuhannya ini
didukung oleh kapasitas modal yang dimiliki sehingga mampu bekerja sama dengan
pemerintah yang mengeluarkan regulasi di setiap negara di belahan dunia.
Pertarungan antara budaya populer dengan budaya massa dapat dilihat dari
sederet program televisi pencarian ajang bakat yang dipahami sebagai metode
pencarian eksistensi diri. Kenyataannya, ajang semacam itu tak lebih dari bagian
komersialisasi yang menguntungkan pihak kapitalisme. Semakin banyaknya tontonan
Opera Sabun di setiap lapisan masyarakat, semakin terasa unsur imperialisme kultural.
Yakni, ketika masyarakat digiring pada kesadaran palsu dan dinina-bobokan dari realitas
yang sesungguhnya. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran, karena derasnya arus
globalisasi dan kerja media dalam mengalihkan perhatian membuat masyarakat hanya
jadi objek komersialisasi produk-produk yang dirancang oleh kaum kapitalisme.
Hegemoni Kapitalisme dalam Media
Sejak munculnya penelitian yang menyatakan arus pemograman televisi global dikuasai
dan dikendalikan oleh Amerika, dugaan imperialisme media oleh kaum kapitalisme ikut
muncul pula. Kapitalisme terbukti telah mendominasi dalam dunia media, suatu teritori
yang strategis dalam kelangsungan praktik kebudayaan, yaitu komunikasi. Melalui
media-media besar, kaum kapitalisme berhasil melahirkan kebudayaan populer yang
berorientasi pada komersialisasi semata, yang memberikan keuntungan bagi mereka.
Imperialisme media yang terjadi menunjukkan adanya hegemoni kapitalisme dalam
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
7
dunia media. Kapitalisme dibantu oleh birokrat yang mengeluarkan regulasi, sehingga
praktik imperialisme media ini dapat berjalan dengan lancar.
Ketika media berhasil melahirkan representasi yang “diterima secara bersama-
sama”—dan bukanlah realitas sebenarnya—maka penggerusan terhadap budaya di luar
kebudayaan populer pun terjadi. Konsep penyeragaman yang dilakukan membuat
budaya di luar yang sudah disepakati oleh kapitalis dan birokrat, termasuk budaya yang
tak relevan lagi di zamannya. Konsep ini pulalah yang pada tataran lebih kompleksnya
melahirkan dikotomi lokal-global. Bagaimana konsep modern diterima sebagai bentuk
kemajuan zaman yang bertentangan dengan kearifan lokal suatu daerah. Lokalitas kian
jauh ditinggalkan karena dirasa ketinggalan zaman, dan semua hal yang berbau Barat
dianggap menjadi kiblat sehingga layak untuk dikonsumsi secara keseluruhan. Hal ini
merupakan salah satu dampak dari hegemoni kapitalisme dalam dunia media, arah
kebudayaan masyarakat digiring ke budaya populer yang berorientasi pada
komersialisasi belaka, bukan lagi kebudayaan yang memelihara nilai-nilai luhur sebagai
pedoman kehidupan sebagaimana yang ada di dalam budaya massa.
Adorno dan Horkheimer memadukan frase ‘Industri Kebudayaan’ untuk
menunjukkan bahwa kebudayaan kini sepenuhnya saling berpautan dengan ekonomi
politik dan produksi kebudayaan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis (Barker, 2000:
47).[]
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
8
Filsafat dan Keseharian
Oleh: Aldo Fernando ( Ketua Umum LPPMD Unpad 2015-2016)
“There are no dangerous thoughts; thinking itself is dangerous.”
(Hannah Arendt)
eringkali kita lupa waktu karena merasa asik bermain game online
(daring), bermain sepakbola, jalan dengan pacar, bermain media sosial,
bekerja, pergi jalan-jalan ke suatu tempat yang kita idam-idamkan,
menonton konser musik, memandangi foto mantan dengan diiringi tangis, dan segala
hal yang mewarnai—dan sering dianggap remeh-temeh—dalam kehidupan sehari-hari
kita. Bahkan, sampai batas tertentu, kita menjadi terpaku sama sekali dengan hal atau
kegiatan tersebut, menjadi budak apa-apa yang ada di luar diri kita. Itulah bentuk
kejatuhan kita dalam keseharian—meminjam Heidegger (Hardiman, 2008).
Tentu saja, kita menjalani hidup kita ini dalam keseharian (everyday life). Kita
tidak pernah bisa melepaskan diri sama sekali dari kubangan keseharian. Namun,
keseharian tidaklah selalu menyediakan hal-hal mendasar bagi kita secara langsung.
Malahan, seringkali hal-hal tersebut ditutupi kabut kepenatan, kekaburan pemahaman
dan commonsenses masyarakat yang seringkali sesat dan perlu dipertanyakan lebih
lanjut, sehingga kita memerlukan usaha yang lebih besar untuk dapat menggapainya.
Apa sih hal-hal yang mendasar itu? Sebut saja: kebaikan, keadilan, kebenaran,
keutamaan, keindahan, ketenangan—singkatnya, apa-apa yang membuat kita mampu
mengutuhkan diri kita dan yang mampu menopang kehidupan-manusia dengan baik.
Hal-hal mendasar inilah yang menyokong sekaligus menjadi tujuan gerak-hidup kita.
Salah satu jalan untuk memurnikan keseharian kita, untuk menyentuh diri kita,
untuk memaknai secara mendalam makna keseharian kita, adalah dengan berfilsafat.
Berfilsafat dalam kerangka keseharian berarti sebentuk aktivitas mempertanyakan
segala hal yang dianggap diterima begitu saja oleh kebanyakan orang secara kritis,
radikal, ketat dan sistematis. Hal ini akan membawa kita menuju pemahaman baru yang
lebih jernih sehingga akan berimplikasi ke tindakan kita. Tindakan (actus) kita didasarkan
S
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
9
pada pemahaman kita akan realitas. Pemahaman yang parsial dan keliru akan realitas
akan membuat tindakan kita keliru pula. Dan, pada akhirnya, hal ini akan berdampak
pada upaya pengutuhan diri kita sebagai manusia. Di bawah ini kita akan mencoba
memasuki sekelumit penjelasan perihal apa yang dimaksud dengan filsafat terlebih
dahulu sebelum kita selami keseharian.
Sketsa Kecil Soal Filsafat
Filsafat secara harafiah berarti cinta kebijaksanaan (Yunani—philos: cinta, sophia:
kebijaksanaan). Istilah ini dapat kita rujuk jauh ke alam pikiran Yunani Antik: Pythagoras.
Menurut para sejarawan filsafat, Pythagoras adalah yang pertama menggunakan istilah
filsuf (lover of wisdom), ketika ia disebut sebagai orang bijak. Menurut Pythagoras, apa
yang orang pahami mengenai kebijaksaaan yang disematkan kepadanya bukanlah
kebijaksanaan yang sesungguhnya. Kebijaksanaan dalam pemikiran Pythagoras berarti
selalu mengetahui bahwa ia tak tahu apa-apa (mirip Sokrates), atau mengetahui
keterbatasan pemahamannya. Karenanya, ia sendiri, demikian Pythagoras menyebut
dirinya, tidaklah disebut “yang bijak”, melainkan “pecinta kebijaksanaaan” (Ewing,
1951: 9; Solomon & Higgis, 2002: 55).—Kemudian kehadiran Sokrates, Platon,
Aristoteles, Epikuros, Seneca, St. Augustinus, Aquinas, Descartes, F. Bacon, Hegel,
Nietzsche, Foucault, Habermas, dlsb. membuat sejarah filsafat menjadi semakin menarik
dan, tentu saja, tetap pelik—sekaligus mencerahkan.
Filsafat merupakan perwujudan dari sikap ingin-tahu manusia yang tak pernah
berujung—terutama mengenai kehadiran dirinya sendiri di dunia ini, hakikat alam raya,
hakikat kehidupan. Dengan filsafat manusia memaksimalkan pemikiran rasionalnya
untuk membedah realita suntuk menemukan hakikat realitas akhir, atau setidaknya
membangun suatu bangunan pemikiran utuh untuk menyajikan sejenis pandangan
sistematik mengenai realitas. Manusia adalah titik berangkat filsafat (Bagus, 2005: 242-
243).
Filsafat memang mengandalkan rasio (reason) manusia. Namun ini bukan berarti
bahwa filsafat melulu soal rasionalisme karena rasio merupakan bagian dari kehidupan
manusia yang holistik dan saling kait-mengait antarelemen, antarfakultas aku (ego) yang
ikut menyusun kompleksitas realitas itu sendiri (Bagus, 2005: 244).
Filsafat mengajak kita memikirkan kehidupan ini secara mendalam, radikal dan
kritis. Filsafat dalam hal ini bersifat kritis-diri. Ia juga selalu bisa mempertanyakan dirinya
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
10
sendiri. Untuk itu, penting untuk dipahami bahwa filsafat mengajarkan kemandirian
berpikir. Setiap individu yang ingin berfilsafat harus mampu menuliskan gagasannya,
mempertahankan gagasannya, dan juga seraya mengkritik gagasan orang lain—dalam
kerangka filsafat.
Filsafat seseorang (filsuf) dipengaruhi oleh kondisi kehidupan sosial-politik-
budayanya. Selain itu, seorang filsuf seringkali merefleksikan saripati pengalaman
hidupnya ke dalam sebentuk bangunan filsafat (Nietzsche, Kierkegaard). Dalam hal ini,
pengaruh-pengaruh, baik dari pengalaman hidup pribadi, pengaruh tokoh pemikir lain,
dan pengaruh masyarakat dapat menyertai gagasan-gagasan filsafat sang filsuf.
Filsafat sejak zaman Yunani Antik telah diwarnai perdebatan gagasan: mulai dari
Thales, Anaximander, Demokritos, Herakleitos, Parmenides, kaum sofis, Platon,
Aristoteles, sampai ke Epikuros. Ini menunjukkan bahwa setiap pemikir memiliki titik
berangkat, perspektif dan metode yang berbeda dalam kerangka filsafat. Kemandirian
berpikir merupakan fondasi-utama dari apa yang kita sebut filsafat ini.
Filsafat Mengajak Kita Berpikir Kritis dalam Keseharian
Kita cenderung mudah tenggelam dalam kebanalan keseharian, seperti kata Heidegger
(Hardiman, 2008: 1). Pernyataan tersebut mungkin terdengar paradoksal. Apa pasal?
Karena kita menjalani hidup sekaligus lupa akan diri kita sendiri dalam penatnya
keseharian. Lalu, apa sih keseharian itu? Sederhananya, ketika kita bersibuk dengan
sejumlah alat-alat, mendengarkan dosen menerangkan bahasan kuliah di dalam kelas,
bermain media sosial, menunggu mantan datang ke rumah, memasak telor dadar,
bermain sepakbola, dan sebagainya (Hardiman, 2008: 105).
Tidak ada yang salah memang dengan keseharian sejauh kita menjalaninya
dengan aktif. Maksudnya, ketika kita menyadari kelarutan kita dalam keseharian
sekaligus kritis terhadapnya, ketika kita berpelukan sekaligus berjarak dengan kenyataan
sehari-hari. Yang menjadi masalah adalah ketika kita tenggelam sedalam-dalamnya
dalam kebanalan keseharian, ketika kita menerima apa yang ada sebagai yang begitu
saja diberikan (given). Mengapa demikian? Dengan kita bersikap taken for granted
(menerima begitu saja) terhadap kenyataan yang melingkungi kita, kita akan mudah
terseret arus, kita tidak memiliki pendirian yang kuat, kita tidak dapat menemukan diri
kita yang dalam—singkatnya, kita tidak akan mencapai keutamaan-hidup.
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
11
Di hadapan keseharian filsafat mengajak kita untuk bersikap sebagai pemula
dalam segala hali (Hardiman, 2008: 22). Maksudnya, kita bersikap seolah-olah di
hadapan kenyataan. Hal ini bertujuan untuk dapat melihat fenomen apa adanya (as it
is). Ketika kita melihat matahari, misalnya, kita perlu bersikap seolah-olah baru pertama
kali melihatnya, sehingga kita dapat mempertanyakan dan memikirkan kembali asumsi-
asumsi yang sudah ajeg mewarnai pemahaman kita selama ini bahwa matahari adalah
benda yang ada di atas sana, di luar kesadaran kita. Contoh lain, kita harus bersikap
seolah-olah pertama kali mengetahui bahwa dalam masyarakat tempat kita hidup
seorang kidal (left-handed) akan dianggap berperilaku tidak sopan hanya karena ia
menulis dan makan dengan menggunakan tangan kiri. Kita akan heran dengan fenomen
tersebut. Lantas kita akan berusaha untuk mempertanyakan sistem sopan-santun
(moralitas) macam apa yang menyokong pandangan itu dan mengapa hal tersebut hadir
dalam lingkungan-masyarakat kita. Satu contoh lagi, ketika kita melihat fenomen jual-
beli barang, pasar saham, transaksi bank, buruh-buruh yang bekerja di pabrik seorang
pemilik modal, kita perlu bersikap seolah-olah baru pertama kali melihat hal-hal
tersebut. Lalu, kita akan memahami bahwa itulah yang disebut kapitalisme. Kita akan
mempertanyakan mengapa sistem itu ada dan mengatur kehidupan kita saat ini; kita
akan mempertanyakan apakah kapitalisme merupakah sesuatu yang alami dan ahistoris
atau malah historis dan konstruksi manusia belaka yang dapat hancur dan diganti
dengan tatanan yang lain (Hardiman, 2008: 22-24).
Semua sikap seolah-olah itu berdasar pada rasa heran dan rasa ragu kita. Manusia
heran dan ragu di hadapan sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya (Snijders,
2006: 14-17). “By nature, all men long to know,” demikian kata Aristoteles dalam buku
Metafisika (1998: 980a, Buku Alpha).—Mengapa ada dunia ini? Mengapa aku hadir di
sini? Kemana aku akan pergi setelah mati? Apakah ada kehidupan setelah kematian?
Benarkan segala keyakinan yang diwarisi orang tuaku sejak aku kecil?
Dengan bersikap sebagai pemula dalam hal sesuatu, kita akan meraih kemurnian
fenomen keseharian yang melingkungi kita. Kita akan mampu memetakan keseharian
kita, melibatkan diri di dalamnya, sekaligus kritis dan berjarak terhadapnya. Semua hal
ini semata-mata agar kita dapat mendapatkan makna diri dan kehidupan kita yang
singkat ini. Selain itu, agar kita mampu merawat kehidupan-bersama-manusia di dalam
dunia ini.
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
12
Kita terlempar, meminjam Heidegger, ke dalam dunia ini bersama manusia lain.
Kita tidak sendirian. Kita tidak mengisolasi diri kita dari manusia lain. Juga, dalam
hubungannya dengan alam, kita tidaklah berhadapan diametris dengan alam. Tidak ada
pemisahan antara subjek (manusia) dan objek (alam): kita sudah selalu menyatu dengan
alam dan merawatnya—sehingga, dengan demikian, kita tidak akan merusak alam
(inilah kenyataan pahit dewasa ini: tatanan kapitalisme membuat kita semakin merusak
alam).
Penutup
Terakhir—dan ini juga tak kalah penting—sebagai mahasiswa Unpad, kita juga perlu
menerapkan sikap seolah-olah, yang saya pinjam dari pemaparan apik Budi Hardiman
atas pemikiran Heidegger, di lingkungan kampus. Kekuatan inti filsafat adalah bertanya
secara radikal. Untuk itu, di dalam bagian akhir tulisan ini penulis hanya akan mengajak
kita bertanya perihal resminya Unpad menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Badan
Hukum). Ini berkaitan dengan upaya kita untuk memahami dan meredefinisi hakikat
pendidikan yang sudah dipelintir oleh para pengusung logika pasar—dan pada titik akhir,
sebagai upaya memperjuangkan hak-hak mendasar rakyat Indonesia untuk memperoleh
dan terlibat dalam pendidikan.
Pertanyaannya: Apa sih hakikat dan tujuan Unpad sebagai PTN-BH? Apakah
Unpad dengan PTN-BH masih mengusung ideal-ideal adiluhung pendidikan? Apakah
PTN-BH merupakan semacam korporatisasi, liberalisasi, privatisasi pendidikan tinggi
yang akan menghantam ideal-ideal adilhung pendidikan itu sendiri? Dlaam hal ini, untuk
menjawab dan mengkritisi pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu menjadi pemula
juga.
Referensi:
Bagus, Lorens. 2005 [1996]. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. Hlm. 244-246.
Ewing, A.C. 1980 [1951]. The Fundamental Questions Of Philosophy. London:
Routledge & Kegan Paul. Hardiman. 2008 [2003]. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein
und Zeit. Jakarta: KPG.
Snijders, Adelbert. 2006. Manusia & Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius.
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
13
Solomon, Robert. C dan Kathleen M. Higgis. 2002 [1996]. Sejarah Filsafat
(penerjemah: Saut Pasaribu). Yogyakarta: Bentang.
i Sebenarnya, saya dalam tulisan ini hanya mencoba memungut sejumlah
ide-ide penting dari pemaparan Budi Hardiman perihal metode fenomenologi khas
Heidegger (berikut Ponty dan Husserl) dengan maksud—walaupun tentu saja
akan terkesan parsial—untuk tidak memasuki problem ynag diajukan Hardiman
dalam bukunya tersebut. Lih. F. Budi Hardiman. 2008 [2003]. Heidegger dan
Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit. Jakarta: KPG.
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
14
APRESIASI KARYA
____________________________________
Sebuah Dialog: Spionase oleh Negara Adidaya
Oleh: Annadi Muhammad Alkaf (Kepala Divisi Pendidikan LPPMD Unpad 2015-
2016)
"Kata Edward Snowden (Mantan anggota agen rahasia yang terkenal karena
membocorkan program spionase dan penyadapan oleh Negara Adidaya), negara
adidaya itu bisa mengaktifkan webcam pada laptop atau komputer seseorang
tanpa disadari pemiliknya dengan tujuan spionase, bahkan hal itu bisa dilakukan
meskipun laptop atau komputer itu tidak terhubung dengan internet. Begitu
katanya."
"Wah, kalau begitu siapapun bisa jadi objek pengintaian."
"Memang begitu, tapi kecenderungannya hanya para petinggi negara atau petinggi
partai berpengaruh yang menjadi objek pengintaian semacam itu. Itupun kalau apa
yang dikatakan Snowden memang benar adanya," tambah Zeda.
"Mungkin benar seperti yang kau katakan, tapi bukankah kita yang masih muda-
muda ini juga akan menjadi orang besar dan berpengaruh di negeri ini. Di negeri
yang selalu disisipi kepentingan negara adidaya itu," Kata Moro dengan penuh
percaya diri.
"Kau benar, Moro. Tapi, bukankah itu masih sangat lama. Kita harus
menyelesaikan kuliah S-1 dulu pertama-tama lantas kemudian melanjutkan ke
jenjang pasca sarjana, meniti karir dan sebagainya. Kurasa anak muda seperti kita
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
15
tidak masuk hitungan, kecuali kita anak petinggi partai atau semacamnya,
mungkin kita bisa masuk hitungan orang-orang yang akan diawasi. tentu saja
(sekali lagi) jika yang dikatakan Snowden memang benar."
"Justru itu, aku berpikir lebih dari itu. Mungkin ini hanya imajinasiku tapi bisa
juga dugaanku ini benar."
Zeda hanya diam, menunggu lawan bicaranya ini melanjutkan. Setelah menunggu
lumayan lama, tak ada sepatah kata pun terucap dari bibir Moro yang kurang
simetris sehingga dia memutuskan untuk memancing Moro berbicara lebih lanjut.
"Seperti apa yang kau pikirkan, kawan?"
"Dengar baik-baik" kata Moro, itu adalah ciri khasnya ketika mulai berbicara
serius kepada seseorang. "Mungkin aku terlalu banyak berimajinasi tapi apa yang
ada dipikiranku ini cukup masuk akal, setidaknya begitu menurut logika
pribadiku."
"Aku percaya padamu, kawan. Katakan saja, tidak perlu ragu-ragu." sambar Zeda
tak sabar menunggu Moro menuturkan apa yang ada dipikirannya.
"Sungguh aku tidak ragu, kawan. baiklah, sekali lagi ini hanya dugaaanku tapi
kurasa bisa saja negara adidaya itu melakukan hal yang lebih 'ekstrem' daripada
yang dikatakan Snowden." Suasana menjadi hening selama beberapa saat, hanya
terdengar sesekali bunyi teriakan anak-anak SMA yang riuh saat sedang bermain
basket di lapangan tidak jauh dari tempat Moro dan Zeda berdiskusi.
Moro melanjutkan penuturannya. "Mungkin saja kan, negara adidaya itu
menyadap semua unit laptop ataupun komputer setiap orang di dunia ini. Tidak
terbatas hanya pada golongan petinggi negara atau partai tertentu saja."
"Hmm, sulit juga. tapi kalau memang benar seperti apa yang kau pikirkan, kenapa
mesti seperti itu? kenapa mesti harus semua orang? Itu akan memerlukan biaya
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
16
dan tenaga yang tentu saja tidak sedikit. Lagipula tidak semua orang akan menjadi
petinggi negara atau menjadi orang penting."
"Itulah maksudku, kawan. Di era globalisasi modern seperti sekarang ini, siapa
saja bisa menjadi orang terpandang, orang terkenal atau katakanlah orang
berpengaruh kepada negaranya yang tentu saja artinya juga berpengaruh kepada
dunia. Tidak peduli dari mana asal atau latar belakang orang tersebut pada
awalnya, yang jelas, negara adidaya itu akan selalu punya kepentingan dengan
orang-orang semacam itu. Negara adidaya itu harus merangkul orang-orang
penting pada setiap belahan dunia."
Kemudian Moro melanjutkan penuturannya setelah menarik napas beberapa saat.
"Hal semacam itu kukira perlu dilakukan, jika negara adidaya itu ingin tetap
menguasai dunia. Maka sekali lagi, merangkul orang-orang berpengaruh agar
masuk dalam lingkaran mereka adalah satu keharusan. Kalaupun ada pihak yang
dengan tegas menolak menjadi bagian dari persekongkolan mereka, setidaknya
negara adidaya itu harus bisa membuat pihak tersebut bungkam dengan alasan
tertentu."
Moro berhenti menjelaskan pemikirannya beberapa saat, lalu dia mengambil botol
air mineral yang ada di atas meja yang berada tepat di depannya, kemudian
meminum beberapa teguk air yang ada dalam botol tersebut. Lalu, dia kembali
menjelaskan pemikirannya.
"Yang kumaksud dengan alasan tertentu adalah jika seandainya ada pihak yang
benar-benar berseberangan dengan negara adidaya itu, maka hasil penyadapan
selama berpuluh-puluh tahun terhadap semua orang akan dibuka. Lantas di carilah
hasil penyadapan terhadap segala aktivitas tokoh-tokoh dari pihak yang
berseberangan itu, kemudian, kalau ada cacat dalam rekam jejak tokoh-tokoh
tersebut yang tidak diketahui khalayak umum, maka hal itu bisa dijadikan alat
pembungkam yang efektif oleh negara adidaya."
"Berat juga masalah ini jika benar-benar nyata adanya," gumam Zeda.
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
17
Moro melanjutkan penjelasannya. "Bahkan dengan menyadap semua aktivitas
yang dilakukan seseorang pada laptop atau komputernya, berarti negara adidaya
itu bisa dengan leluasa memprediksikan seberapa berpengaruhnya setiap orang
pada satu saat."
Zeda menambahkan. "Bisa begitu dengan cara menganalisis data hasil
penyadapan selama bertahun-tahun, sehingga bisa dilihat berbagai kecenderungan
psikologis beserta kelebihan yang harus di waspadai, juga kekurangan yang
menjadi titik kelemahannya. Nah, dengan begitu akan lebih mudah dalam menilai
siapa kawan, siapa lawan. Bahkan sebelum orang itu memposisikan diri sebagai
kawan ataupun lawan. Bukan begitu?"
"Tepat! kau cepat dalam berpikir, kawan. Oleh karena itu kita harus berhati- hati
dalam setiap aktvitas yang kita lakukan terhadap alat elektronik pribadi, terutama
laptop atau komputer pribadi, tidak terbatas pada webcam-nya saja tapi semua
aktivitas di dalamnya." kata Moro dengan mulai menurunkan tensi suaranya
seiring pembicaraan yang mulai menuju babak akhir.
"Yap, tidak peduli walaupun komputer atau laptop yang kita gunakan tidak
terkoneksi dengan internet. Apalagi kalau jelas terkoneksi dengan internet, itu
jelas lebih berbahaya. Yang artinya jika laptop atau komputer kita terkoneksi
dengan internet maka harus lebih berhati-hati," Zeda melengkapi.
"Benar! Kita harus lebih berhati-hati agar kelak saat nanti kita menjadi orang
penting dan secara kebetulan berseberangan pendapat dalam beberapa hal dengan
negara adidaya itu, kita tidak perlu repot-repot karena tersandera olehnya, karena
hasil penyadapan sialan itu. Tapi, walau bagaimanapun, kurasa ada yang lebih
penting dibanding hanya sekadar berhati-hati terhadap penyadapan oleh negara
adidaya."
"Apa itu, kawan?" tanya Zeda sambil mengerutkan dahi dan memicingkan mata
bulatnya.
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
18
"Memperbaiki sikap, berusaha menjadi lebih baik, menjadi manusia dengan
akhlak yang baik, menjadi manusia yang lebih terbuka tanpa ada yang harus
ditutup-tutupi. Dengan begitu akan terasa lebih ringan dalam menghadapi
kenyataan tentang penyadapan ini." Moro menyungging senyum di akhir kalimat,
seolah-olah seperti seorang kakek tua yang sedang memberi nasehat pada cucu
kesayangannya.
"Tidak salah yang kau katakan, kawan. Tapi, walau bagaimanapun, sikap mawas
diri terhadap makar ini tetap harus kita jaga. Katakanlah rekam jejak kita bersih
dan tidak harus takut tersandera karenanya. Tapi, kita harus tetap melindungi
kelemahan kita dari Negara Adidaya sialan itu karena pada dasarnya setiap orang
punya kelemahan. Maka jangan sampai kelemahan itu tercium oleh negara
adidaya dan dimanfaatkan oleh pihak mereka."
"Benar! kalau begitu, dua-duanya memang harus kita lakukan. Berhati-hati dan
terus memperbaiki diri," tutup Moro.[]
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
19
Saya Rusa Berbulu Merah (Ulasan Mengenai Monolog Tan
Malaka di IFI Bandung)
Oleh: Rachmadi Rasyad (Kader LPPMD Unpad)
Sejak memasuki ruangan yang tidak terlalu besar. Mungkin hanya dapat
menampung 100 orang saja. Penonton langsung disuguhi panggung tempat pementasan
yang serba berwarna merah. Mulai dari kursi dan meja yang berbentuk persegi serupa
dus besar, tas yang tergolek di atas sebuah kursi, lampu yang berasal dari infocus, hingga
untaian umbul-umbul yang menjalar dari atas ke bawah seluruhnya berwarna merah.
Keseluruhan warna atribut pementasan itu seolah menyiratkan perangai dari tokoh
sejarah yang akan dijadikan bahan pementasan atau organisasi terbesar di Indonesia
yang juga menjadi tempat bernaung dari tokoh sejarah tersebut. Tokoh sejarah tersebut
bernama Tan Malaka. Tan Malaka adalah tokoh yang dihilangkan dari catatan-catatan
sejarah saat era orde baru. Baru tahun-tahun belakangan ini ia muncul lagi, seolah
memberi peringatan orang-orang yang kini bercokol di pemerintahan atau generasi
muda untuk mempelajari kembali gagasan-gagasannya yang dituliskan ke dalam
beberapa buku, misalnya Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) atau Garpolek.
Joind Bayuwinanda adalah aktor yang akan mementaskan tokoh Tan Malaka. Ia
merupakan sutradara grup Sindikat Aktor Jakarta. Beberapa lakon yang sempat
dimainkannya, antara lain Ken Arok (Saini KM), Sandhiakala Ning Majapahit (Saini KM),
Jerit Tangis di Malam Buta (Rolf Lauckner), Allah Jang Palsoe (Kwee Tek Hoay), dll.
Penulis naskah pementasan Tan Malaka adalah Ahda Imran yang merupakan seorang
penyair dan essais Indonesia kelahiran Payakumbuh. Sementara sutradaranya adalah
Wawan Sofwan yang sempat mengikuti pertemuan “International Theaterworker” di
Berlin pada tahun 2000.
Pementasan Tan Malaka yang berjudul “Saya Rusa berbulu Merah” diadakan di
IFI (Institute Francais d’Indonesie) Bandung. Pementasan dimulai dengan pengenalan
tokoh Tan Malaka, mulai dari keadaan atau situasi saat kelahirannya serta banyaknya
nama yang digunakan olehnya di berbagai negara, seperti Amsterdam, Berlin, Moskwa,
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
20
Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, dan Hongkong. Lalu, pementasan
berkisah tentang perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh Tan Malaka sebelum
kemerdekaan, yaitu pada kongres keempat komunis internasional di Moskow ketika ia
sempat berselisih paham dengan comintern tentang cara pemberontakan yang mesti
dilakukan di Hindia-Belanda. Tan Malaka berkeyakinan bahwa pemberontakan di Hindia-
Belanda akan menemui kegagalan bila dilakukan ketika keadaan ekonomi masih baik
dan tanpa bergabung dengan Pan-Islamisme. Keyakinannya itu dilandasi karena musuh
utama dari Pan-Islamisme pun adalah kapitalis. Sementara, comintern berbeda
keyakinan dengannya dan ngotot akan melakukan pemberontakan di Hindia-Belanda
tanpa mesti bergabung dengan Pan-Islamisme. Maka, benar saja pemberontakan yang
dilakukan pada 1926/1927 itu menemui kegagalan. Ratusan orang ditangkap dan
dijebloskan ke penjara oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Kegagalan pemberontakan itu berimbas juga pada Tan Malaka. Dirinya dianggap
oleh comintern sebagai sosok yang tidak sejalan dengan para pendukung Marxis. Hal itu
akhirnya berujung pada pencabutan Tan Malaka sebagai ketua Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Setelah melepas jabatannya sebagai ketua PKI, Tan Malaka mengelana ke
berbagai negara. Ketika ia sedang berada di suatu negara, ia mendengar bahwa
Indonesia telah merdeka. Betapa bahagia Tan Malaka mendengar itu, tetapi sekaligus
juga merasa menyesal, karena dirinya merasa terasing dari negaranya sendiri yang
sedang dilanda kebahagiaan. Tan Malaka pun sempat merasa tidak dihargai oleh para
pesohor – orang-orang yang mencetuskan kemerdekaan, misalnya Soekarno, Hatta,
Syahrir, dll. – walaupun nantinya ia bisa menerima hal itu sebagai sesuatu yang tidak
patut untuk disesali.
Setelah kemerdekaan dilangsungkan, Tan Malaka kembali ke Indonesia dan
menjadi buruh di suatu pabrik. Namun, hanya sebentar saja, karena Tan Malaka
dicurigai oleh orang-orang di pabrik tersebut sebagai Kempeitai atau polisi militer mata-
mata milik Jepang. Lalu, pada sekitar tahun 1946 Tan Malaka berkesempatan untuk
bertemu dengan para pesohor. Tapi saat bertemu ia merasa benar-benar terasing. Para
pesohor seolah melihat dirinya sebagai penghambat dari kemerdekaan. Saat bertemu, ia
menegaskan pada para pesohor bahwa ia menginginkan kemerdekaan 100%, yaitu
kemerdekaan yang benar-benar memiliki kedaulatan dalam bidang ekonomi dan politik.
Menurutnya, kedaulatan dalam bidang ekonomi hanya bisa diperoleh dengan cara
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
21
menyingkirkan kapitalis-kapitalis yang masih bermukim di Indonesia, tidak peduli
kapitalis itu pribumi ataupun bukan. Penyingkiran itu bisa dilakukan dengan cara
berperang. Namun, salah seorang dari para pesohor berbeda pendapat dengannya,
bahkan menganggapnya tidak realistis dan keras kepala. Pesohor itu ingin kemerdekaan
diraih tidak dengan cara berperang, tapi perundingan.
Pertemuan itulah yang menjadi permulaan dari perselisihan Tan Malaka dengan
para pesohor. Tan Malaka tetap dengan keyakinannya, begitupula para pesohor.
Perundingan-perundingan terus dilakukan, keputusan-keputusan yang dihasilkan begitu
merugikan pihak Indonesia bagi Tan Malaka. Apalagi ketika Yogyakarta mesti jatuh dan
Soekarno-Hatta ditangkap oleh Belanda. Tan Malaka terus memegang teguh
keyakinannya dan melakukan perjuangan di beberapa tempat. Ia pun membentuk
organisasi bernama Persatuan Perjuangan pada 1946 yang menghimpun 141
partai/ormas. Dikarenakan keterlibatannya dalam organisasi itulah ia dijebloskan ke
penjara juga pada tahun 1946 karena dianggap terlibat dalam penculikan Syahrir.
Namun, ternyata penculikan Syahrir bukanlah alasannya, tetapi karena Belanda
menginginkan perundingan dilanjutkan apabila Tan Malaka telah dijebloskan ke dalam
penjara. Jadi, Tan Malaka dijadikan syarat dari perundingan. Saat itu, ia benar-benar
merasa kecewa pada para pesohor yang harga dirinya telah diinjak-injak benar oleh
Belanda, karena menyetujui saja syarat tersebut.
Lalu, ia dibebaskan dua tahun kemudian. Setelah itu, ia membentuk lagi
organisasi pada tahun 1948 dinamakan Murba dan Gerilya Pembela Proklamasi yang
anggotanya merupakan sisa-sisa dari PKI/FDR yang ditumpas pada peristiwa di Madiun.
Namun, lagi-lagi ia ditangkap. Pementasan berakhir pada latar waktu sekitar tahun 1949
yang ditulis dalam beberapa buku, misalnya Harry A. Poeze sebagai tahun terakhir Tan
Malaka hidup.
Joind Bayuwinanda mengakhiri pementasan berjudul “Saya Rusa Berbulu
Merah” dengan pengenalan kembali tokoh Tan Malaka disertai nada suara dan gestur
tubuh yang membuat gemetar penonton. Riuh suara tepuk tangan dan pelukan hangat
dari seorang panitia pada Joind Bayuwinanda pun menandai berakhirnya pementasan.
Memang suasana di akhir pementasan yang begitu mengharukan. Mengingat banyaknya
kritik dari berbagai pihak pada pementasan yang dianggap berbau unsur “komunis”.
Namun, perjuangan untuk memperoleh keadilan dengan keringat, bahkan air mata tidak
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
22
menyusutkan semangat para penyelenggara pementasan. Hanya keberanian yang
tampak dan dijadikan landasan oleh mereka. Salut untuk Main Teater!
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
23
Press Release Diskusi Buku
Melawan Liberalisme Pendidikan
Oleh: Annadi M.A dan Aldo F.N.
Judul: Melawan Liberalisme Pendidikan
Penulis: Darmaningtyas, Edi Subkhan dan Fahmi Panimbang
Penerbit: Madani (Malang)
Tahun Terbit: 2014
Tebal: xxvi + 342 halaman
Dimensi
Senin, 4 April 2016 yang lalu LPPMD Unpad melaksanakan kegiatan diskusi buku
“Melawan Liberalisme Pendidikan”. Dalam diskusi buku karangan Darmaningtyas, Fahmi
Panimbang, dan Edi Subkhan tersebut, hadir sejumlah mahasiswa dari kader LPPMD
maupun non-LPPMD. Adapun materi yang dibahas dalam diskusi tersebut tentu saja
perihal pendidikan tinggi yang pada era dewasa ini cenderung digunakan atau dijadikan
oleh sebagian pihak sebagai ladang bisnis, seperti yang dinyatakan oleh Putri—salah
AUFKLARUNG EDISI APRIL 2016 | LPPMD UNPAD
24
satu peserta diskusi—yang mengatakan bahwa pendidikan kali ini selalu menekankan
pada aspek investasi dan memperoleh keuntungan dari sesuatu yang diinvestasikan.
Pendidikan Tinggi di Indonesia sendiri sebetulnya telah mengalami liberalisasi
sejak dimulainya reformasi sesuai dengan PP No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan
Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum, yang kemudian diperkokoh dengan UU
No. 20 Tahun 2003 Pasal 53 yang mengatur soal pembentukan badan hukum pendidikan
dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Hal ini jualah yang kemudian
menginisiasi UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU tentang
BHP sendiri sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Menurut aspek
hukum, UU BHP jelas inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31
tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab
menyelengggarakan dan membiayai pendidikan anak bangsa, namun kemudian malah
membebankan wewenang kepada institusi pendidikan (Febriantanto, 2010). Singkatnya,
semua peraturan-peraturan tersebut dianggap sebagai segenap usaha dalam
meliberalisasi pendidikan dengan dalih otonomi kampus, dan lain-lain.
Pada dasarnya, liberalisme pendidikan tinggi mempunyai dampak negatif
berupa hilangnya ‘roh’ dari pendidikan itu akibat terjadinya pergeseran orientasi yang
mana hal ini disebabkan oleh suatu usaha untuk menjadikan institusi pendidikan sebagai
sarana bisnis. Di sisi lain, menurut salah satu peserta diskusi, pendidikan dewasa ini
dirasa lebih mengutamakan daya saing ketimbang daya guna. Sehingga, tidak heran jika
banyak pelajar atau mahasiswa menjadi stress karena harus selalu mampu memenuhi
tuntutan-tuntutan dalam persaingan.
Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan dari berbagai pihak terkait dengan
jalannya proses pendidikan di tanah air terutama pengawasan oleh kalangan mahasiswa
itu sendiri agar kritis dan berani bersuara terhadap kebijakan-kebijakan yang akan
dilaksanakan. Hal ini tentu saja bertujuan agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
dapat menguntungkan semua pihak. Mari lawan liberalisasi pendidikan (tinggi)!
Salam pembebasan!!!