+ All Categories
Home > Documents > Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

Date post: 12-Nov-2021
Category:
Upload: others
View: 8 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
12
1 Pemodelan Tomografi Seismik Waktu Tempuh Dengan Model Konseptual Area Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik) Kris H P David a , Cahli Suhendi a , R M Rachmat Sule b , Riskiray Ryannugroho c a Teknik Geofisika, Institut Teknologi Sumatera b Kelompok Penelitian Seismologi Eksplorasi dan Rekayasa, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung c Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung *Corresponding E-mail: [email protected] / [email protected] ABSTRAK Dalam eksplorasi geothermal seringkali digunakan metode mikroseismik untuk mengetahui karakteristik saturasi fluida di dalam reservoar. Pencitraan tomografi seismik waktu tempuh merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi reservoar tersebut. Parameterisasi model yang baik sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil data seismik yang optimal. Untuk itu, diperlukan suatu pemodelan sintetik untuk melihat hubungan parameterisasi model terhadap jalur rambat gelombang, waktu tiba gelombang, dan tomogram hasil inversi waktu tempuh. Pada penelitian ini dilakukan forward modeling dan inverse modeling menggunakan perangkat lunak first arrival seismic tomography (FAST). Data yang digunakan adalah data sintetik hasil forward modeling. Metode yang digunakan adalah persamaan eikonal dengan metode beda hingga (finite difference) untuk menentukan waktu tiba yang selanjutnya dilakukan inversi waktu tempuh dengan menggunakan regularized inversion. Hasil yang didapat menunjukan bahwa parameterisasi model sangat berpengaruh terhadap jalur rambat gelombang, waktu tempuh, dan tomogram hasil inversi. Kata kunci: Geothermal, Tomografi seismik waktu tempuh, Data sintetik.
Transcript
Page 1: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

1

Pemodelan Tomografi Seismik Waktu Tempuh Dengan Model Konseptual Area

Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

Kris H P David a, Cahli Suhendi

a, R M Rachmat Sule

b, Riskiray Ryannugroho

c

a Teknik Geofisika, Institut Teknologi Sumatera

b Kelompok Penelitian Seismologi Eksplorasi dan Rekayasa, Fakultas Teknik

Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung

c Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut

Teknologi Bandung

*Corresponding E-mail: [email protected] / [email protected]

ABSTRAK

Dalam eksplorasi geothermal seringkali digunakan metode mikroseismik untuk

mengetahui karakteristik saturasi fluida di dalam reservoar. Pencitraan tomografi

seismik waktu tempuh merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk

mengetahui kondisi reservoar tersebut. Parameterisasi model yang baik sangat

diperlukan untuk mendapatkan hasil data seismik yang optimal. Untuk itu, diperlukan

suatu pemodelan sintetik untuk melihat hubungan parameterisasi model terhadap jalur

rambat gelombang, waktu tiba gelombang, dan tomogram hasil inversi waktu tempuh.

Pada penelitian ini dilakukan forward modeling dan inverse modeling menggunakan

perangkat lunak first arrival seismic tomography (FAST). Data yang digunakan adalah

data sintetik hasil forward modeling. Metode yang digunakan adalah persamaan eikonal

dengan metode beda hingga (finite difference) untuk menentukan waktu tiba yang

selanjutnya dilakukan inversi waktu tempuh dengan menggunakan regularized

inversion. Hasil yang didapat menunjukan bahwa parameterisasi model sangat

berpengaruh terhadap jalur rambat gelombang, waktu tempuh, dan tomogram hasil

inversi.

Kata kunci: Geothermal, Tomografi seismik waktu tempuh, Data sintetik.

Page 2: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

2

Travel time Seismic Tomography Modeling with Geothermal Area Conceptual

Modeling (Case Study: Synthetic Data)

Kris H P David a, Cahli Suhendi

a, R M Rachmat Sule

b, Riskiray Ryannugroho

c

a Geophysical Engineering, Institut Teknologi Sumatera

b Exploration and Engineering Seismology Research Group, Faculty Of Mining and

Petroleoum Engineering, Institut Teknologi Bandung

c Geophysical Engineering, Faculty Of Mining and Petroleoum Engineering, Institut

Teknologi Bandung

*Corresponding E-mail: [email protected] / [email protected]

ABSTRACT

In geothermal exploration, microseismic methods are often used to determine the fluid

saturation characteristics in the reservoir. Travel time seismic tomography imaging is a

method that can be used to determine the reservoir condition. A good model

parameterization is necessary to obtain optimal seismic data results. For this reason, a

synthetic modeling is needed to see the relationship between model parameterization to

the wave propagation path, the arrival time of the wave, and the travel time inversion

result. In this study, forward modeling and inverse modeling were carried out using first

arrival seismic tomography (FAST) software. The data used is synthetic data from

forward modeling. The method used is the eiconal equation with the finite difference

method to determine the arrival time which is then carried out by inversion of the travel

time using a regularized inversion. The results obtained indicate that the model

parameterization is very influential on the wave path, travel time, and the inversion

tomogram.

Keywords: Geothermal, Travel time seismic tomography, Synthetic data.

Page 3: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

3

Pendahuluan

Tomografi seismik waktu tempuh

merupakan salah satu teknik inferensi

data yang memanfaatkan informasi yang

terkandung pada gelombang seismik

yang baik digunakan untuk mencitrakan

interior bumi secara lokal, regional, dan

global. Tomografi seismik global dan

regional telah berhasil diaplikasikan

untuk mencitrakan zona subduksi pada

interior bumi [1], [2]. Studi tomografi

seismik lokal berhasil mengidentifikasi

struktur internal bawah gunung Merapi

dan gunung api Anak Krakatau [3], [4].

Tomografi seismik lokal juga dapat

diaplikasikan pada lapangan panas bumi

(geothermal) untuk mengetahui

karakteristik saturasi fluida di dalam

reservoar yang juga telah berhasil

diaplikasikan di sejumlah area di dunia.

Sistem panas bumi yang telah berhasil

dijelaskan karakteristiknya dengan studi

tomografi seismik diantaranya: sistem

dominasi uap, sistem dominasi air, dan

zona sesar [5]-[7].

Keunggulan dari tomografi seismik

waktu tempuh, yaitu data masukkan

yang digunakan hanya waktu tempuh

gelombang pertama yang di terima oleh

penerima (first break). Hal tersebut

menjelaskan bahwa gelombang lainnya

seperti gelombang refleksi, refraksi,

ataupun noise tidak perlu

dipertimbangkan lebih lanjut. Sehingga

kesalahan dalam penentuan data

masukkan dapat diminimalisir.

Gambaran geologi dan properti fisis dari

batuan di bawah permukaan bumi dapat

dipelajari apabila dilakukan

menggunakan data yang baik dan teknik

yang tepat, salah satunya tomografi

seismik waktu tempuh. Kualitas data

yang baik didapatkan dari instrumen

yang digunakan dan teknik akuisisi yang

tepat. Beberapa parameter yang dapat

mempengaruhi kualitas dari hasil

tomografi adalah geometri sumber dan

penerima, dan ukuran grid pada proses

pengolahan data. Oleh karena itu,

diperlukan suatu pemodelan sintetik

untuk melihat pengaruh parameterisasi

model terhadap jalur rambat gelombang

yang dapat berpengaruh pada tomogram

hasil inversi. Pemilihan parameter model

yang baik diharapkan menghasilkan

tomogram yang baik, sehingga

pencitraam model kecepatan bawah

permukaan dengan tomografi seismik

waktu tempuh semakin optimal.

Sistem Panas Bumi

Sistem panas bumi (geothermal) adalah

salah satu bentuk energi panas alami

yang dihasilkan dari dalam bumi dengan

fluida yang terkandung di dalamnya.

Sumber daya energi panas bumi pada

umumnya berkaitan dengan mekanisme

pembentukan magma dan kegiatan

vulkanisme, mekanisme tersebut

diakibatkan karena adanya pergerakan

lempeng yang terjadi di batas lempeng

[8]. Energi panas yang di transfer secara

konduktif pada lingkungan tektonik

lempeng diperbesar oleh gerakan magma

dan sirkulasi hidrotermal yang

membentuk zona reservoar hidrotermal.

Page 4: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

4

Suhu bumi akan mengalami peningkatan

yang konstan seiring dengan

bertambahnya kedalaman, dimana

perubahan suhu bumi ini biasa disebut

gradient panas bumi [8]. Rata-rata

peningkatan temperatur pada kerak bumi

memiliki ukuran sekitar 25°C/km hingga

30°C/km, namun hal tersebut mencakup

secara global dan masih terdapat

kemungkinan untuk adanya perbedaan

antara satu tempat dengan tempat

lainnya, seperti contoh pada daerah

vulkanik mempunyai gradient panas

bumi yang lebih tinggi di kedalaman

dangkal dibandingkan daerah lainnya

pada kedalaman yang sama. Terdapat

lima komponen idael yang harus dimiliki

dalam sistem panas bumi yaitu [9]:

1. Sumber Panas (Heat source)

2. Impermeable rock (Clay cap)

3. Struktur Geologi (Patahan, Sesar)

4. Zona Reservoar

5. Recharge Area

Gambar 1. Sistem Panas Bumi [9].

Metode Mikroseismik

Metode mikroseismik adalah salah satu

metode yang digunakan untuk

mengidentifikasi gempa kecil dengan

magnitudo ≤ 3 [10]. Kejadian sumber

gempa mikro berhubungan dengan

pergerakan rekahan yang terjadi secara

alami, ataupun terinduksi secara artifisial

yang menghasilkan deformasi rekahan.

Emisi akustik sumber seismik pasif

dapat diamati dengan cara melakukan

pengamatan mikroseismik menggunakan

instrumen seismometer.

Pada lapangan panas bumi, informasi

hiposenter mikroseismik dapat

digunakan untuk melihat kecenderungan

arah aliran air injeksi dan

menggambarkan struktur geologi berupa

rekahan dan/atau sesar yang merupakan

zona dengan permeabilitas relatif tinggi

untuk penentuan sumur produksi baru

[11]. Mikroseismik juga merupakan

suatu teknik yang dapat memberikan

gambaran informasi akibat proses

hydraulic fracturing, antara lain:

1. Orientasi rekahan, beserta panjang

dari setiap arah.

2. Bentuk rekahan yang terstimulasi.

3. Area dan volume rekahan yang

distimulasi.

4. Peningkatan permeabilitas dari

reservoar.

Tomografi Seismik

Tomografi seismik adalah suatu proses

rekonstruksi suatu objek atau model dari

observasi besaran fisis interior bumi

berdasarkan efek penjalaran suatu radiasi

gelombang melalui benda yang diamati.

Hasil penjalaran radiasi gelombang

tersebut dapat merepresentasikan

keadaan suatu objek tersebut. Konsep

dasar pada inversi tomografi seismik

waktu tempuh adalah melakukan

pemodelan ke depan (forward modeling)

dan pemodelan ke belakang (inverse

modeling).

Page 5: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

5

Penelitian ini menggunakan program

first arrival seismic tomography (FAST)

yang dikembangkan oleh Zelt dan

Barton (1998) [12]. Perangkat lunak ini

menggunakan penyelesaian persamaan

eikonal dengan metode beda hingga

(finite difference) untuk proses

pemodelan kedepan yang menghasilkan

waktu tempuh [13]. Penyelesaian

pemodelan ke belakang dilakukan

dengan menggunakan regularized

inversion. Persamaan eikonal

ditunjukkan pada persamaan 1, dan

penyelesaian pemodelan ke belakang

dengan regularized inversion

ditunjukkan pada persamaan 2. Analisa

akhir yang digunaan dalam pengambilan

keputusan adalah nilai travel time

residual (T-rms) yang ditunjukkan pada

persamaan 3, serta nilai normalisasi chi-

square digunakan sebagai pendukung

analisa akhir yang ditunjukkan pada

persamaan 4, dengan nilai yang baik

adalah nilai yang mendekati satu [12].

( )

(1)

( )

[

] (2)

√∑ (

)

(3)

∑ (

)

(4)

Keterangan persamaan 1:

= fungsi waktu

C = kecepatan

Keterangan Persamaan 2:

m = vektor model

= matriks data kovarian

= parameter trade-off.

( ) = vektor data residual

dan = Kekerasan matriks arah

horzontal dan vertikal.

Keterangan Persamaan 3 dan 4:

= travel time pengamatan

lintasan ke-j

= travel time perhitungan

lintasan ke-j

N = Jumlah lintasan gelombang

= standar deviasi pada lintasan ke-j

Metodologi Penelitian

Data yang digunakan adalah data

sintetik 2D, dibuat melalui perangkat

lunak first arrival seismic

tomography (FAST). Ukuran model

sintetik adalah 5 km x 3 km, dengan

jumlah sumber mikroseismik adalah

99 event dan receiver sebanyak 20

yang diasumsikan lokasi tersebut

mutlak/valid. Model kecepatan awal

gelombang P (Vp) dan gelombang S

(Vs) 1 dimensi menggunakan model

kecepatan hasil penelitian Armi, R.,

dan Santosa B. J. (2014) yang juga

merupakan penelitian di wilayah

panas bumi, dapat dilihat pada tabel

1.

Table 1. Model Kecepatan Latar Belakang

[6].

KEDALAMAN

(KM)

VP

(KM/S)

VS

(KM/S) VP/VS

0 2,694 1,633 1,73

5 6,063 3,700 1,73

Model kecepatan latar belakang

gelombang P (Vp) dan gelombang S

(Vs) masing-masing bergradasi secara

Page 6: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

6

linear dari 2,694 km/s sampai 6,063

km/s dan 1,633 km/s sampai 3,700

km/s, dari permukaan hingga

kedalaman 5 Km. Namun model latar

belakang yang digunakan pada studi

ini adalah hingga kedalaman 3 km

saja yang dapat dilihat pada gambar

2.

Gambar 2. Model Kecepatan Latar Belakang,

Gelombang P (Vp) (kiri) dan Gelombang S

(Vs) (kanan).

Pada percobaan ini dilakukan

pembuatan model sintetik kecepatan

gelombang P (Vp) dan gelombang S

(Vs) dengan memperlihatkan geologi

konseptual area geothermal. Model

sintetik diasusmsikan terdiri dari clay

cap, sesar (fault), igneous rock low

permeability, zona tersaturasi uap,

dan zona tersturasi air, dimana

masing-masing nilai kecepatannya

dapat dilihat pada tabel 2.

Table 2. Model data Sintetik

MODEL VP

(KM/S)

VS

(KM/S) VP/VS

CLAY CAP 3,0 1,7 1,8

SESAR

(FAULT) 2,4 1,8 1,65

IGNEOUS

ROCK LOW

PERMEABILITY

3,1 1,8 1,8

ZONA

TERSATURASI

UAP

3,1 1,8 1,65

ZONA

TERSATURASI

AIR

2,3 1,6 1,8

Model kecepatan gelombang P (Vp),

gelombang S (Vs), dan Vp/Vs dalam

tabel 2 dapat dilihat pada gambar 4.

Konseptual model yang digunakan

adalah konseptual model dari wilayah

panas bumi Iceland yang memiliki

strukur geologi berupa graben

(gambar 3) [14]. Lokasi hiposenter

mikroseismik diletakan secara acak

dengan mempertimbangkan daerah

yang rentan dengan adanya

pergerakan (dekat area sesar) dan area

reservoar dengan asumsi kejadian

(event) mikroseismik terjadi akibat

proses produksi uap. Sedangkan

lokasi stasiun pengamat diletakkan

pada permukaan dengan

mempertimbangkan daerah tersebut

adalah daerah yang melingkupi area

geothermal.

Gambar 3. Model Konseptual Area Panas

Bumi Iceland [13]

B

.

Page 7: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

7

Gambar 4. Model anomali sintetik, A. Model

anomali dan konfigurasi sumber dan penerima,

B. Model anomali Vp true, C. Model anomali Vs

true, dan D. Model anomali Vp/Vs true.

Parameterisasi Model Sintetik

Pada penelitian ini dilakukan

parametersisasi model sintetik ukuran

grid 2D. Penentuan jumlah dan besarnya

ukuran grid dibuat menjadi 2 model grid,

yaitu:

1. Jumlah grid 125 x 75, ukuran tiap

grid 40 m x 40 m.

2. Jumlah grid 50 x 30, ukuran tiap grid

100 m x 100 m.

Hasil dan Pembahasan

Pemodelan ke depan (forward

modeling)

Berdasarkan hasil penjejakan sinar dari

pemodelan ke depan, diperoleh raypath

dan waktu tempuh kalkulasi (tcal)

perambatan gelombang di sepanjang

segmen lintasan gelombang P dan

gelombang S. Hasil ray tracing

gelombang P dan gelombang S pada

model percobaan ditunjukan pada

gambar 5.

Gambar 5. Raypath gelombang P (A. Ukuran

grid 40 m x 40 m, B. Ukuran grid 100 m x 100

m) dan Raypath gelombang S (C. Ukuran grid

40 m x 40 m, D. Ukuran grid 100 m x 100 m.

Uji Resolusi

Pada penelitian ini, uji resolusi atau

Checkerboard resolution test (CRT)

dilakukan pada konfigurasi data sumber

mikroseismik dan penerima yang sama.

Model checkerboard didapat dengan

mengalikan anomali ±10% terhadap

model kecepatan awal. Uji ini dilakukan

setiap grid 40 m x 40 m dan 100 m x 100

m. Model checkerboard ini berukuran

100 m x 100 m.

Gambar 6. Model Latar Belakang (kiri) (A, C)

dan hasil perturbasi Checkerboard resolution test

(kanan) (B, D).

Keterangan

Gambar A

A B

D C

A B

D C

A B

D C

Page 8: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

8

Hasil uji resolusi menggunakan metode

regularized inversion ditunjukan pada

gambar 7. Daerah yang memiliki

resolusi baik adalah daerah yang

memiliki gambaran anomali positif dan

anomali negatif dengan jelas yang dapat

menyerupai bentuk perturbasi anomali

pada gambar 6. Proses inversi dilakukan

dengan iterasi sebanyak 15 kali pada

gelombang P dan gelombang S. Pada uji

resolusi grid 40 m x 40 m, iterasi

berhenti dengan T-rms sebesar 2,004 ms

dan 2,007 ms. Pada uji resolusi grid 100

m x 100 m, iterasi berhenti dengan T-

rms sebesar 1,999 ms dan 2,356 ms.

Gambar 7. Tomogram hasil dari uji resolusi

checkerboard (regularized inversion). (A, B)

Perturbasi Gelombang P dan gelombang S grid

40 m x 40 m, dan (C, D) Perturbasi Gelombang P

dan gelombang S grid 100 m x 100 m.

Tomogram Hasil Inversi

Gambaran tomogram hasil inversi

perturbasi kecepatan gelombang P (Vp),

gelombang S (Vs), dan nilai absolute

Vp/Vs pada grid 40 m x 40 m dan 100 m

x 100 m, serta kurva nilai travel time

residual (T-rms) dan kurva normalisasi

chi-square diperlihatkan pada gambar 8

sampai gambar 11.

Gambar 8. Tomogram hasil inversi grid 40 m x

40 m (kiri: model true, kanan: hasil inversi), A.

Model gelombang P (Vp), B. Model gelombang

S (Vs), dan C. Model Vp/Vs.

Gambar 9. Kurva T-rms dan chi-square hasil

inversi grid 40 m x 40 m. (A, B) Kurva T-rms

gelombang P dan gelombang S, (C, D) Kurva

chi-square gelombang P dan gelombang S pada

setiap iterasi.

Pada gambar 8 inversi tomografi sintetik

memberikan hasil adanya perturbasi

anomali positif dan anomali negatif.

Perturbasi anomali negatif dan anomali

positif yang berkisar -1% sampai -6%

dan 1% sampai 6%, dan nilai absolut

Vp/Vs berkisar dari 1,6 sampai 1,85.

Kurva travel time residual (T-rms) dan

A B

D C

A

B

C

A B

D C

Page 9: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

9

normalisasi chi-square pada gelombang

P memiliki kestabilan perubahan nilai

pada iterasi ke-10, dimana nilai yang

berubah sudah tidak terlalu signifikan,

sedangkan pada gelombang S memiliki

kestabilan perubahan nilai pada iterasi

ke-7.

Hasil nilai statistik pada grid 40 m x 40

m, didapatkan nilai travel time residual

(T-rms) gelombang P dan gelombang S

sebesar 0,993 ms dan 1,000 ms, serta

nilai normalisasi chi-square sebesar

0,9781 dan 1,0024. Hasil nilai

normalisasi chi-square yang didapatkan

menunjukkan nilai yang baik.

Gambar 10. Tomogram hasil inversi grid 100 m

x 100 m (kiri: model true, kanan: hasil inversi),

A. Model gelombang P (Vp), B. Model

gelombang S (Vs), dan C. Model Vp/Vs.

Gambar 11. Kurva T-rms dan chi-square hasil

inversi grid 100 m x 100 m. (A, B) Kurva T-rms

gelombang P dan gelombang S, (C, D) Kurva

chi-square gelombang P dan gelombang S pada

setiap iterasi.

Pada gambar 10 inversi tomografi

sintetik memberikan hasil adanya

perturbasi anomali positif dan anomali

negatif. Perturbasi anomali negatif dan

anomali positif yang berkisar -1%

sampai -8% dan 1% sampai 8%, dan

nilai absolut Vp/Vs berkisar dari 1,6

sampai 1,85. Kurva travel time residual

dan normalisasi chi-square pada

gelombang P memiliki kestabilan

perubahan nilai pada iterasi ke-8, dimana

nilai yang berubah sudah tidak terlalu

signifikan, sedangkan pada gelombang S

memiliki kestabilan perubahan nilai pada

iterasi ke-9.

Hasil nilai statistik pada grid 100 m x

100 m, didapatkan nilai travel time

residual gelombang P dan gelombang S

sebesar 1,408 ms dan 2,223 ms, serta

nilai normalisasi chi-square sebesar

1,9860 dan 4,9477. Hasil nilai

normalisasi chi-square yang didapatkan

menunjukkan nilai yang tidak terlalu

baik.

A

B

C

A B

D C

Page 10: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

10

Analisis Kedua Hasil

Kurva hasil nilai travel time residual dan

kurva normalisasi chi-square gelombang

P dan gelombang S pada grid 40 m x 40

m dan 100 m x 100 m dengan iterasi

sebanyak 15 kali menunjukkan

terjadinya penurunan nilai yang semakin

kecil dan konvergen. Berdasarkan hasil

nilai statistik pada grid 40 m x 40 m,

didapatkan nilai travel time residual

gelombang P dan gelombang S yang

lebih kecil jika dibandingkan dengan

grid 100 m x 100 m. Nilai normalisasi

chi-square yang baik adalah nilai yang

mendekati 1 (satu), maka grid 40 m x 40

m memiliki hasil nilai normalisasi chi-

square yang lebih baik daripada grid 100

m x 100 m.

Tomogram hasil inversi menunjukan

adanya anomali negatif dan anomali

positif pada zona yang diasumsikan

sebagai clay cap, sesar (fault), igneous

rock low permeability, zona tersaturasi

uap, dan zona tersaturasi air. Pada zona

sesar, geometri pencitraan pada grid 40

m x 40 m dapat terlihat dengan jelas

adanya anomali negatif pada gelombang

P dengan gambaran batas bidang zona

anomali positif. Pada ukuran grid 100 m

x 100 m zona sesar juga dapat terlihat,

namun pembesaran pada ukuran grid

menyebabkan zona terlihat lebih blocky

dan tidak smooth sehingga dapat

mempersulit proses interpretasi. Pada

zona tersaturasi uap dan zona tersaturasi

air, geometri anomali yang tercitrakan

dapat telihat dengan baik.

Perbedaan pada tomogram hasil inversi

di setiap grid juga disebabkan oleh

jumlah ray density pada masing-masing

grid berbeda. Pada grid berukuran lebih

besar (100 m x 100 m) menunjukkan

perturbasi anomali positif dan anomali

negatif yang lebih tinggi, dimana hal

tersebut disebabkan oleh banyaknya

jumlah ray density pada suatu grid,

sedangkan pada grid berukuran lebih

kecil (40 m x 40 m) menunjukkan

anomali positif dan anomali negatif

rendah yang disebabkan jumlah ray

density pada suatu grid sedikit. Hasil

penelitian pemodelan tomografi waktu

tempuh data sintetik pada konseptual

model area geothermal menunjukan

hasil yang baik. Penelitian ini dapat

berguna sebagai studi awal sebelum

melakukan akuisisi data dilapangan.

Kesimpulan

Penelitian ini menggunakan model

sintetik untuk mengetahui pengaruh

parameter model berupa besaran grid

terhadap jalur rambat gelombang

seismik, waktu tempuh, dan tomogram

hasil inversi. Berdasarkan hasil

pengolahan data sintetik, diperoleh hasil

sebagai berikut:

1. Tomogram hasil inversi grid 40 m x

40 m dan 100 m x 100 m dapat

mencitrakan anomali sintetik

berukuran besar dengan baik, namun

pada grid 100 m x 100 m anomali

berukuran kecil seperti sesar (fault)

tidak dapat tercitrakan dengan baik.

2. Hasil tomogram dengan parameter

model grid berukuran lebih besar

dapat membuat model menjadi

terlihat blocky dan tidak smooth

sehingga dapat mempersulit proses

interpretasi.

Page 11: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

11

3. Rendah atau tinggi anomali pada

tomogram hasil inversi dipengaruhi

oleh jumlah ray density yang

diterima oleh suatu grid.

4. Parameterisasi model berupa ukuran

grid dapat mempengaruhi jalur

rambat gelombang seismik, waktu

tempuh, dan tomogram hasil inversi

pada suatu grid terhadap jumlah

sumber dan jumlah penerima yang

digunakan untuk mencitrakan

anomali.

5. Konfigurasi antara sumber (source)

dan penerima (receiver) yang

digunakan pada penelitian ini

berhasil mencitrakan zona anomali

yang diasumsikan.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Bapak Rachmat Sule, Bapak

Cahli Suhendi, dan Mas Riskiray yang

telah membantu penelitian ini sehingga

penelitian ini dapat diselesaikan dengan

baik, serta Mr. Zelt dan Mr. Barton

sebagai pembuat perangkat lunak.

Daftar Pustaka

[1] S. Widiyantoro and R. Van Der

Hilst, “Structure and evolution of

lithospheric slab beneath the Sunda arc,

Indonesia,” Science, vol. 271, no. 5255,

pp. 1566–1570, 1996.

[2] S. Widiyantoro, “Subduction zone

shear structure in the Western Pacific,”

Meteorol. Geophys. Fluid Dyn. a B. to

Commem. Centen. birth Hans Ertel, p.

321, 2004.

[3] A. W. Sari and G. B. Suparta,

“Imaging Of 3-D Seismic Tomography

For Internal Structure Under The

Mountain Merapi Using The Lotos-10

Software,” J. Fis. dan Apl., pp. 105–116,

2018.

[4] I. S., “Identifikasi Tubuh Magma

Gunung Api Anak Krakatau

Berdasarkan Struktur Kecepatan Seismik

3D Menggunakan Tomografi Gempa

Lokal,” Institut Teknologi Sumatera,

2020.

[5] D. S. Mahartha, A. D. Nugraha,

and R. M. R. Sule, “3D Vp, Vs, and

Vp/Vs microseismic tomography

imaging on „mA‟ geothermal field: Fluid

saturation condition analysis,” J. Phys.

Conf. Ser., vol. 1204, no. 1, 2019.

[6] R. Armi and B. J. Santosa,

“Reservoir Lapangan Panasbumi

Wayang Windu Dengan Metode Inversi

Tomografi Dari Data Microearthquake

(MEQ),” J. Tek. Pomits, vol. 1, no. 1,

pp. 1–8, 2014.

[7] U. Muksin, K. Bauer, and C.

Haberland, “Seismic Vp and Vp/Vs

structure of the geothermal area around

tarutung (north sumatra, indonesia)

derived from local earthquake

tomography,” J. Volcanol. Geotherm.

Res., vol. 260, pp. 27–42, 2013.

[8] E. Barbier, “Nature and technology

of geothermal energy: A review,”

Renew. Sustain. Energy Rev., vol. 1, no.

1–2, pp. 1–69, 1997.

[9] B. Berkovski, “Energy

Engineering Learning Package,” in

Unesco Energy Engineering Series,

Page 12: Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)

12

Unesco Ene., M. H. Dickson and M.

Fanelli, Eds. 1995.

[10] J. R. Kayal, Microearthquake

Seismology and Seismotectonics of

South Asia. New Delhi: Springer, 2008.

[11] A. Anissofira, “Penentuan Struktur

Patahan Di Lapangan Panas Bumi „X‟

Dengan Menggunakan Metode Relokasi

Relatif Kasus Gempa Mikro,”

Universitas Pendidikan Indonesia, 2013.

[12] C. A. Zelt and P. J. Barton,

“Three-dimensional seismic refraction

tomography: A comparison of two

methods applied to data from the Faeroe

Basin,” J. Geophys. Res., vol. 103, no. 4,

pp. 7187–7210, 1998.

[13] J. Vidale, “Finite-difference

calculation of travel times,” Bull. -

Seismol. Soc. Am., vol. 78, no. 6, pp.

2062–2076, 1988.

[14] W. A. Elders and G. Ó.

Friðleifsson, “The Science Program of

the Iceland Deep Drilling Project

(IDDP): a Study of Supercritical

Geothermal Resources,” Proc. World

Geotherm. Congr. 2010, no. April, pp.

25–29, 2010.


Recommended