+ All Categories
Home > Documents > Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar...

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar...

Date post: 02-Dec-2020
Category:
Upload: others
View: 3 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
130
i FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR KAYU OLAHAN DI INDONESIA TAHUN 1985 - 2005 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Ekonomi Oleh Cornelius Fury NIM 041324019 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008
Transcript

i

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR KAYU

OLAHAN DI INDONESIA TAHUN 1985 - 2005

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Ekonomi

Oleh Cornelius Fury NIM 041324019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2008

ii

iii

iv

HALAMAN MOTTO

Roda kehidupan selalu berputar, ada kalanya kita berada di atas

dan ada kalanya kita berada di bawah. Saat kita di atas raihlah

kesuksesan, tapi jika kita berada di bawah tabah dan tetap

berusaha.

Kita mengerti bahwa kita memang tidak sempurna, tapi jangan

takut tentang hal itu, karena kita harus berjuang untuk hari esok

kita yang lebih cerah.

Jangan takut dengan pengalaman-pengalaman sulit dalam hidup

kita, karena pengalaman merupakan guru bagi kita. Tanpa

pengalaman hidup tidak ada artinya dan hidup adalah suatu

perjuangan yang tiada hentinya.

Dikecewakan merupakan suatu hal yang menyakitkan dalam hati

dan hidup kita. Apalagi yang mengecewakan adalah orang

terdekat atau yang paling kita sayangi. Maka jangan pernah

mengecewakan kalau tidak ingin dikecewakan.

Jangan mengandalkan emosi dalam menghadapi suatu masalah,

tapi gunakan akal sehat (Rasionalitas) untuk menyelesaikan

masalah.

Hidup butuh teman, persahabatan dan orang di sekeliling kita.

Karena tanpa itu semua hidup tiada artinya.

v

HALAMAN PERSEMBAHAN Kupersembahkan SKRIPSI ini untuk :

Tuhan Jesus Kristus yang selalu membimbing dan memberikan rahmatnya hingga terselesaikannya skripsi ini.

Kedua orang tuaku ST. Widaya Dewa.Y dan Cicilia Diyasmi, terima kasih atas motivasi dan bantuanya baik spiritual dan material. Tanpa kalian berdua semua ini tidak akan terjadi. Kalian berDUA Anugrah terindah dalam hidup aku dan Orang tua yang baik n sempurna buat aku untuk selamaNYA n tidak pernah akan ada yang bisa gantiin Kalian berDUA di Hati aku.

Buat Kakak aku Yustina Ernawati Dewi dan Bos Aris yang selalu memberikan motivasi, dukungan dan bantuannya selama ini, terima kasih banget ya. Tanpa kalian semua ini tidak akan pernah terjadi.

Buat sibah kakung dan simbah putri ( KASDI ) terima kasih atas doanya dan motivasinya selama ini dan semoga tetap sehat selalu.

Buat DEDEK”KU ”AAW ” terima kasih atas dukungan dan motivasinya buat aku selama ini. Berkat dirimu hidup aku lebih berati lagi N akirnya kita bisa wisuda bareng. Hobi marah n ngambeknya dikurangi ya, kalau bisa dihilangkan sampe keakar-akarnya. Tapi karena marah n ngambek kamu, aku bisa jadi orang yang sabar terutama dalam menghadapi kamu...he..he..he. Kamu memang ” tercipta untuk KU ” dan anugrah terindah dari Tuhan buat aku.

Buat Mbak JekQlin, Mas Icuk n Jelot(BEJO), makasih atas semua saran, dukungan n bantuanNYA selama ini, baik dalam kuliah maupun dalam hal yang lain n buat BEJO cepet nyusul ya, kuliah”nya jangan lama-lama.

Buat teman aku Yogi Murwanto, terima kasih buanget atas bantuan, motivasi, dukungan kamu selama ini, tanpa campur tangan dari kamu semua ini tidak mungkin selesai secepat ini. Aku doakan kamu dapat menggapai CINTA kamu selama ini ”Semangat”.

Buat Sigit JKP, cepet nyusul ya n Buat Tutik, Ratna, Serr, Rosa terima kasih atas dukungan n bantuannya slama ini.

Buat adek-adek angkatan 2005-2007 terima kasih atas kerja samanya selama ini n buat Dek MoniQ CS (2006) terima kasih atas bantuan n kerja sama nya.

Dan buat temen-temen yang belum dapat saya sebutkan terima kasih atas bantuan n kerja samanya selama ini buat aku. AMIN.

vi

vii

viii

ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR KAYU OLAHAN DI INDONESIA TAHUN 1985 - 2005

Cornelius Fury

041324019 Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Tujuan penelitian ini untuk: (1) melihat perkembangan ekspor kayu olahan di

Indonesia, (2) melihat pengaruh nilai harga kayu olahan tingkat nasional terhadap ekspor kayu olahan di Indonesia, (3) melihat pengaruh nilai luas hutan terhadap ekspor kayu olahan di Indonesia, (4) melihat pengaruh nilai kebijakan pelarangan ekspor kayu gelondongan terhadap ekspor kayu olahan di Indonesia dan (5) melihat pengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terhadap ekspor kayu olahan di Indonesia.

Pengolahan data dalam penelitiaan ini adalah penelitiaan kuantitatif. Sumber data merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber antara lain dari Departemen Kehutanan, Bank Indonesia, serta literatur lain yang mendukung. Penelitiaan ini mempergunakan teknik analisis data regresi linier berganda, dan variabel dummy.

Nilai koefisien (R2) diperoleh hasil sebesar 0.707, yang menunjukan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen adalah sebesar 70,7% , sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil analisis regresi linear berganda menyatakan bahwa variabel independen yaitu, (1) nilai harga kayu olahan tingkat nasional mempengaruhi perkembangan nilai ekspor kayu olahan, (2) nilai luas hutan mempengaruhi perkembangan nilai ekspor kayu olahan dan (3) nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mempengaruhi perkembangan nilai ekspor kayu olahan. Sedangkan untuk variabel independen kebijakan pelarangan ekspor kayu gelondongan mempergunakan teknik variabel dummy, kesimpulan yang dapat diambil kebijakan pelarangan ekspor kayu gelondongan mempengaruhi perkembangan nilai ekspor kayu olahan.

Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan: (1) Pemerintah hendaknya dapat menjaga kestabilan harga kayu olahan di dalam negeri, (2) Pemerintah hendaknya dapat menggalakkan program reboisasi dan (3) Pemerintah hendaknya dapat mempertahankan pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor kayu gelondongan.

ix

ABSTRACT

FACTORS INFLUENCING EXPORT OF TIMBER IN INDONESIA IN 1985-2005

Cornelius Fury

041324019 Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

The aims of this research are to find out: (1) the development of exported timber in

Indonesia, (2) the influence of timber’s price at national level towards exported timbers in Indonesia, (3) the influence of the width of forest towards exported timber in Indonesia, (4) the influence of prohibition policy about exported wood toward exported timber in Indonesia and (5) the influence of rupiah exchange woods to US dollar in exporting the timber in Indonesia.

This research is a quantitative research. The data are secondary data collected from various sources, such as from Forestry Department, Bank Indonesia, and other supporting literature. This research uses double linear Regression and Dummy variable in analysing the data.

The result of this research shows that the coefficient value is 0.707, it means that the influence of the independent variable towards dependent variable is 70.7%, while the rest is influenced by other factors. The conclusion which can be drawn from the analysis by using double linear Regression is that the independent variable shows that (1) the price of national timber influences the price of exported timber, (2) the width of forest influences the development of the price of exported timber, and (3) rupiah exchange rate woods to US dollar influences the development of exported timber’s is price. Whereas the independent variable namely the policy of prohibition of expoited wood which uses dummy variable technique, influences the development of the price of exported timber.

From the result of this research, it is advised that (1) the government should keep the stability of the price of timber in Indonesia, (2) the government should encourage the Reforestation program, and (3) the government should keep the implementation of the policy exported prohibition for timber.

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

rahmat, karunia, serta penyertaan-Nya, penyusunan skripsi dengan judul ”FAKTOR-

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR KAYU OLAHAN DI INDONESIA

TAHUN 1985 – 2005” ini dapat terlaksana dengan lancar. Penyusunan skripsi merupakan

salah satu syarat yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada

Program Studi Pendidikan Ekonomi.

Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan pihak–pihak lain, penyusunan

skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati

maka penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. T. Sarkim, M. Ed., Ph. D, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Yohanes Harsoyo, S.Pd., M. Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Ekonomi dan juga sebagai dosen pembimbing I, atas semua bimbingan dan

pengarahan yang diberikan dari awal sampai akhir dalam proses penyusunan skripsi

ini.

3. Bapak Yohanes Maria Vianney Mudayen S.Pd, selaku dosen pembimbing II,

atas semua bimbingan serta pengarahan yang diberikan dari awal sampai

terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

xi

4. Bapak Drs. P. A Rubiyanto, selaku Dosen Pembimbing Akademik angkatan 2004

Program Studi Pendidikan Ekonomi yang telah banyak membantu proses

penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Indra Darmawan S.E., selaku Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi

yang telah banyak membantu proses penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Wigati Retno Astuti, M.Si selaku Dosen Program Studi Pendidikan

Ekonomi atas semua kritik dan saran yang diberikan yang sangat berguna dalam

penyusunan skripsi ini.

7. Mbak Titin, Mbak Aris, dan Pak Wawik yang selama ini telah membantu

penulis di dalam mengatur urusan administrasi selama penulis menempuh

pendidikan di Program Studi Pendidikan Ekonomi, Universitas Sanata Dharma ini.

8. Segenap karyawan di UPT Perpustakaan Mrican Sanata Dharma, atas segala

fasilitas yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini dengan lancar.

9. ST.Widaya Dewa.Y dan Cicilia Diyasmy , selaku orang tua penulis yang telah

banyak memberikan dukungan baik spiritual maupun material, motivasi sehingga

berhasil mengantarkan penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Universitas

Sanata Dharma ini.

10. Yustina Ernawati Dewi dan Yustinus Aris (Bos Aris ) selaku kakak penulis

terima kasih atas semua motivasi dan bantuan baik spiritual maupun material yang

xii

telah diberikan kepada penulis sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini.

11. The Best All crew in Pendidikan Ekonomi 2004.....Erisius Erimayanto ***Teresia

Susanti**** Asteria Tri Hatminingsih **** Yogi Murwanto ”Yova cakep”****

Yanuarius Esti **** Christina Suryanti **** Rosalia Candra **** Maria Dwi

Retno Sari**** Elvrida. N **** Caesilia Puji Astuti **** Dyah Nareswari****

Krismal Aswandi **** Enrico Bayu **** Sigit Jaka ”Katrok **** Neni Listanti

**** Adisti Ari Wardhani **** Ratna Yulita **** Petrus Satrio Prakoso**** Yanti

Adriana Saketu **** Meldawati Silalahi **** Asih Suryaning Hastuti ****

Yuliana Bertha **** Is Rahayu **** Maria Aquina Jumung **** Hadrianus ****

Yohanes Manggotu **** Sri Rahayu **** Kristin Nugraheni **** Leni

Widiyati****, terima kasih teman atas perjuanngan yang kita lalui semua dan kita

tetap menjadi orang yang dapat diandalkan bagi semua.

12. Teman – teman pendidikan ekonomi 2000 – 2003 n adik adik ku angkatan 2005-

2007 thanks atas pangalamanya n dukungannya dalam penyusunan skripsi ini, n

“carilah ilmu sebanyak mungkin selagi kau bisa”.

13. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah

memberikan segala bentuk bantuan, serta dukungan sehingga proses penyusunan

skripsi ini dapat terlaksana dengan lancar.

xiii

Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan sedangkan kekurangan adalah milik

manusia. Penulis sangat menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam skripsi

ini. Oleh karena itu penulis sangat terbuka dalam menerima segala bentuk kritikan

maupun saran yang diberikan demi kebaikan, kemajuan serta perkembangan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan selamat membaca.

Yogyakarta, 01Juni 2008

Penulis

Cornelius Fury

xiv

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii

MOTTO........................................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………. v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.................................. vi HALAMAN HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.......................... vii

ABSTRAK....................................................................................................... viii

ABSTRACT...................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR .................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................... xiv

DAFTAR TABEL........................................................................................ xviii

DAFTAR KURVA.......................................................................................... xx

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xxi

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................... 8

C. Batasan Masalah ......................................................................... 8

xv

D. Tujuan Penelitian ........................................................................ 9

E. Manfaat Penelitian ...................................................................... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA........................................................................ 11

A. Sumber Daya Hutan di Indonesia ........................................... 11

1. Manajemen Pengelolaan Hutan ........................................... 11

2. Potensi Sumber Daya Hutan di Indonesia............................ 23

B. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kayu Olahan

di Indonesia .............................................................................. 24

1. Produksi Kayu Olahan di Indonesia ...................................... 24

2. Konsumsi Kayu Olahan di Indonesia ................................... 26

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Kayu Olahan

di Indonesia .............................................................................. 26

1. Harga Kayu Olahan Nasional ................................................ 28

2. Luas Hutan di Indonesia ........................................................ 32

3. Kebijakan Pelarangan Ekspor Kayu Gelondongan................. 36

4. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat ............. 39

D. Penelitian terdahulu ................................................................. 46

E. Kerangka Pemikiran ............................................................... 47

F. Hipotesis..................................................................................... 49

xvi

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 50

A. Jenis Penelitian .......................................................................... 50

B. Jenis Dan Sumber Data.............................................................. 50

C. Waktu Penelitian........................................................................ 51

D. Variabel Penelitian..................................................................... 52

E. Teknik Analisis Data ................................................................. 53

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN.................................... 62

A. Analisis Data............................................................................. 62

1. Pengujiaan Prasyarat Regresi ............................................... 62

2. Pengujian Linearitas ............................................................ 64

3. Pengujiaan Asumsi Klasik................................................... 67

4. Pengujiaan Statistik…………………………. ..................... 72

B. Pembahasan............................................................................ 78

1. Perkembangan Ekspor Kayu Olahan di Indonesia .............. 78

2. Pengaruh Harga Kayu Nasional Terhadap Ekspor Kayu

Olahan di Indonesia tahun 1985 - 2005 ............................. 81

3. Pengaruh Luas Hutan Terhadap Ekspor Kayu Olahan

di Indonesia Tahun 1985 - 2005......................................... 83

4. Pengaruh Kebijakan Pelarangan Eksor Kayu

xvii

Gelondongan di Indonesia…………………………. 86

5. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Dólar Amerika Serikat

Terhadap Ekspor Kayu Olahan …………………….. 89

BAB V PENUTUP .................................................................................... 92

1. Kesimpulan………………………………………….. 92

2. Saran ............................................................................ 95

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

xviii

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel I.1 PDB Kehutanan………………………………………………… 6

Tabel II.2 Volume Ekspor Produk Kayu Olahan…………………………. 7

Tabel II.1 Komposisi Tata Guna Hutan ..................................................... 23

Tabel II.2 Potensi Kehutanan di Indonesia ................................................. 24

Tabel II.3 Produksi Kayu Olahan di Indonesia ........................................... 25

Tabel II.4 Konsumsi Kayu Olahan di Indonesia .......................................... 26

Tabel II.5 Perkembangan Ekspor Kayu Olahan di Indonesia ...................... 27

Tabel II.6 Harga Kayu Olahan Nasional dan Internasional ......................... 30

Tabel II.7 Data Luas Hutan di Indonesia ..................................................... 32

Tabel II.8 Data Luas Hutan di Dunia ........................................................... 33

Tabel II.9 Skema Sertifikasi Kehutanan ...................................................... 36

Tabel II.10 Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam Produksi ....................... 37

Tabel II.11 Tujuan Kebijakan Pelarangan Ekspor Kayu Gelondongan ........ 39

Tabel II.12 Nilai Ekspor Kayu Olahan Terhadap Nilai Tukar US Dolar...... 45

Tabel IV.1 Pengujiaan Normalitas................................................................. 62

Tabel IV.2 Descreptive Statistic .................................................................... 63

Tabel IV.3 Pengujiaan Linearitas .................................................................. 65

xix

Tabel IV.4 Hasil Pengujiaan Multikolinearitas ............................................. 67

Tabel IV.5 Hasil Pengujian Heteroskedastisitas .......................................... 69

Tabel IV.6 Hasil Pengujiaan Autokorelasi ...................................................... 71

Tabel IV.7 Hasil Koefisien Regresi Ganda.................................................... 73

Tabel IV.8 Hasil Uji F hitung........................................................................ 76

Tabel IV.9 Hasil R2 ....................................................................................... 77

Tabel IV.10 Perkembangan Ekspor Kayu ..................................................... 80

Tabel IV.11 Harga Kayu Olahan Tingkat Nasional…………………………… 82

Tabel IV.12 Data Luas Hutan di Indonesia .... ............................................... 84

Tabel IV.13 Volume Ekspor Kayu Gelondongan ......................................... 87

Tabel IV.14 Nilai Ekspor Kayu Olahan Terhadap Nilai Tukar US$............... 90

xx

DAFTAR KURVA

Grafik II.1 Kurva Perdagangan Kayu Olahan.............................................. 31 Grafik II.2 Kurva Permintaan Valuta Asing................................................. 43

Grafik II.3 Kurva Penawaran Valuta Asing.................................................. 44

xxi

DAFTAR GAMBAR

Gambar II. 1 Piramida Piramida dari “Good Forest Governance”…………………… 12

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai wilayah hutan

yang cukup luas dan merupakan negara terpenting sebagai penghasil berbagai

kayu bulat tropis dan kayu gergajian, kayu lapis dan hasil kayu lainnya, serta pulp

untuk pembuatan kertas. Hasil produksi hutan Indonesia mempunyai comparative

advantage (keunggulan komparatif) terhadap negara-negara lain dan sebagian

dari hasil produksi produk hutan diekspor ke negara lain dan produk kayu

merupakan penghasil devisa utama dari sektor non migas.

Lebih dari setengah hutan di Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu.

Oleh karena itu, kayu tropis merupakan salah satu komoditi hasil hutan yang

strategis sebagai bahan baku industri di dalam negeri dan penghasil devisa dari

sektor non migas. Sebagian besar produksi kayu Indonesia digunakan untuk

kepentingan domestik dan harganya umumnya jauh lebih rendah dibandingkan

harga di pasar internasional. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak terjadi

penyelundupan kayu atau perdagangan kayu illegal (illegal trade).

Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat tinggi

dibanding ketersediaan kayu dari hutan. Untuk memenuhi kebutuhan industri

tersebut, pengusaha kayu telah melakukan penebangan hutan dengan tak

terkendali dan akibatnya hutan di Indonesia lama kelamaan menjadi rusak.

2

Kerusakan hutan diperparah lagi dengan semakin maraknya pembalakan

tidak resmi (illegal logging), pembukaan perkebunan kelapa sawit yang sangat

luas yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan, serta pengusaha pertambangan

membuka kawasan-kawasan hutan.

Pada tahun 1997, sektor kehutanan dan pengolahan kayu menyumbang 3,9

persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan ekspor kayu lapis, pulp dan kertas

nilainya mencapai 5,5 miliar dolar. Jumlah ini nilainya hampir setengah dari nilai

ekspor minyak dan gas, dan setara dengan hampir 10 persen pendapatan ekspor

total. Pada waktu itu sektor kehutanan mengalami pertumbuhan yang hebat dan

menggerakkan ekspor bagi perekonomian, tetapi ekspansi ini dicapai dengan

mengorbankan hutan karena praktek kegiatan kehutanan yang sama sekali tidak

lestari. Industri pengolahan kayu di Indonesia saat ini membutuhkan sekitar 80

juta meter kubik kayu tiap tahun untuk memasok kebutuhan industri

penggergajian, kayu lapis, pulp dan kertas. Jumlah kayu yang dibutuhkan ini jauh

lebih besar daripada yang dapat diproduksi secara legal dari hutan alam dan HTI.

Akibatnya, lebih dari setengah pasokan kayu di Indonesia diperoleh dari

pembalakan ilegal (Kompas, 2006).

Pada tahun 2004, sektor kehutanan dan pengolahan kayu menyumbang 3,5

persen terhadap PDB (Product Domestik Bruto), dan ekspor kayu lapis, pulp dan

kertas nilainya mencapai 4,5 miliar dolar. Sektor kehutanan mengalami

penurunan khususnya di dalam ekspor kayu olahan karena dengan maraknya

3

permasalahan di sektor kehutanan misalnya pemerintah melalui Departemen

Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Surat

Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Nomor 1132/KPTS-II/2001 dan Nomor 292/MPP/Kep/10/2001

tentang Penghentian Ekspor Kayu Bulat/Bahan Baku Serpih pada 8 Oktober 2001

(Dephut, 2004).

Dalam pasal 2 SKB tersebut dinyatakan kayu bulat adalah bagian dari

pohon yang dipotong menjadi batangan atau batang-batang bebas cabang dan

ranting, mempunyai ukuran diameter minimal 30 cm dan panjang tidak dibatasi

dari semua jenis kayu yang termasuk dalam nomor Tarif Pos HS 4403. Bahan

baku serpih adalah kayu yang mempunyai ukuran diameter 29 cm ke bawah dan

panjang tidak dibatasi dari semua jenis kayu termasuk dalam nomor Tarif Pos HS

4403 sampai dengan HS 4404. Larangan ekspor log tersebut kemudian diperkuat

dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan”. Dengan tegas sejak 8 Oktober 2001

ekspor kayu bulat dan bahan baku serpih resmi dilarang. Dengan semakin

berkurangnya tutupan hutan Indonesia, sebagai akibat dari penebangan hutan

yang tak terkendali, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi

kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun

tanah longsor.

4

Akibat lainnya, Indonesia juga kehilangan aneka macam hewan dan

tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sementara itu,

hutan Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat

Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan

serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan

rusaknya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan

dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia,

mengakibatkan semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia, karena

sebagian masyarakat miskin di Indonesia hidup berdampingan dengan hutan

(Siagian, 2006).

Perusahaan-perusahaan bidang kehutanan tumbuh pesat termasuk pemilik

Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dengan alasan memacu pertumbuhan ekonomi

nasional hutan dibabat tanpa henti. Sedangkan upaya rehabilitasi berlangsung

sangat lambat. Secara tak sadar akibat kegiatan penebangan hutan mencapai

tahap yang sangat memprihatinkan. Berbagai bencana alam di dalam negeri tidak

kurang penyebabnya dari kerusakan hutan. Kekeringan, banjir, longsor hampir

seluruhnya akibat kondisi hutan yang semakin terganggu.

Upaya yang dilakukan pemerintah dengan berbagai kebijakan untuk

mengendalikan kerusakan hutan tidak sedikit termasuk pelarangan ekspor kayu

bulat (log). Pasalnya, keseimbangan antara suplai bahan baku dan kebutuhan

industri sudah sangat timpang. Selain itu, penyelundupan kayu bulat berlangsung

5

sangat marak, baik lewat darat maupun laut hingga saat ini. Apalagi permintaan di

luar negeri sangat tinggi, akibatnya pembalakan liar (illegal logging) yang

sekaligus satu paket dengan penyelundupan. Atas dasar itu, pemerintah melalui

Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan

mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan dan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Nomor 1132/KPTS-II/2001 dan Nomor

292/MPP/Kep/10/2001 tentang Penghentian Ekspor Kayu Bulat/Bahan Baku

Serpih pada 8 Oktober 2001.

Luas kawasan hutan yang dikuasai negara saat ini mencapai areal seluas

120,35 juta hektar. Di dalamnya terdapat hutan produksi seluas 43,95 juta hektar,

yang terdiri dari 16,21 juta hektar hutan produksi terbatas dan 27,74 juta hektar

hutan produksi. Adapun hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta

hektar. Selain itu, masih ada bermacam kawasan hutan, seperti hutan lindung (3,3

juta hektar), hutan konservasi (23,2 juta hektar), dan hutan suaka alam serta hutan

wisata (keduanya seluas 1,5 juta hektar). Sumbangan kehutanan kepada

pembentukan Product Domestic Bruto (PDB) nasional relatif kecil, rata-rata

1,61% per tahun dalam periode 1995-2003. Sebagai bagian dari sektor pertanian,

dalam periode tersebut, kehutanan menyumbang sekitar 10,01% per tahun kepada

pembentukan PDB pertanian. Sektor pertanian sendiri menyumbang rata-rata

16,15% pertahun kepada pembentukan PDB Nasional. Perkembangan kontribusi

sektor kehutanan terhadap Product Domestic Bruto (Dephut, 2000).

6

Tabel I.1

PDB Kehutanan 1995-2003

Tahun PDB (miliar Rp) Kontribusi (%) Kehutanan Pertanian Nasional (2)/(4) (2)/(3) (3)/(4)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1995 6303,6 61766,8 383767,6 1,6 10,21 16,09 1996 6444,1 63827,8 413798,0 1,6 10,10 15,42 1997 7189,8 64468,0 433245,9 1,7 11,15 14,88 1998 6580,7 63609,5 376375,0 1,7 10,35 16,90 1999 6288,1 64985,2 379352,3 1,7 9,68 17,13 2000 6388,9 6620809 398017,3 1,6 9,65 16,63 2001 6556,2 67318,5 411753,6 1,6 9,74 16,35 2002 6682,2 68669,7 426942,9 1,6 9,73 16,08 2003 6658,9 70374,4 444453,8 1,5 9,46 15,83 2004 6657,8 70373,2 432521,7 1,4 9,45 15,80 2005 6655,9 70372,1 422520,6 1,4 9,38 15,75 2006 6565,7 69421,2 410320,2 1,3 8,50 15,65 2007 6565,6 68395,5 400210,0 1,3 8,49 15,52

Sumber: - Pendapatan Nasional Indonesia, 1998-2001, BPS - Statistik Indonesia, 1999, dan 2001, BPS - Tahun 2000-2003 dari sumber : Statistik Indonesia 2003, BPS

Keterangan : 1) Atas dasar harga konstan 1983

Kayu merupakan penghasil devisa terbesar setelah minyak dan gas bumi.

Perkembangan total perdagangan ekspor hasil industri kehutanan pada periode

tahun 1985-2004, penerimaan dari ekspor industri kehutanan berkembang dengan

pertumbuhan rata-rata 6,61% per tahun. Secara perlahan namun pasti kontribusi

devisa yang cukup besar dari produk kayu lapis (wood panel) beralih ke produk

pulp & paper. Namun demikian, pendapatan ekspor dari pulp & paper tidak

banyak berubah pada tiga tahun terakhir.

Nilai ekspor kayu olahan pada tahun Produk ekspor kayu olahan dari

Indonesia diekspor ke berbagai negara terutama negara Asia seperti Jepang,

Singapura, Hongkong, China dan Korea. Sebagian lagi ke negara-negara Eropa

dan Amerika Serikat. Pada tahun 2001, kayu gergajian terbesar diekspor ke

7

negara Singapura dengan volume mencapai 10.929 m3, atau 88% dari total

volume ekspor kayu gergajian. Produk kayu lapis (plywood), terbesar diekspor ke

negara Jepang sebesar 354.455 m3, setara dengan 38% dari total volume ekspor

kayu lapis (Dephut, 2004).

Tabel I.2

Volume Ekspor Produk Kayu Olahan Tahun 2004

Produk Kayu Olahan

Yang diekspor

Volume (m3)

Nilai (Juta US $)

Negara Tujuan Utama

Plywood 930.354 315,21 Jepang (38%) Kayu gergajian 12.314 5,19 Negara Asia (88%) Woodworking 153.900 66,52 Jepang (42%) Blockboard 407.945 34,05 Afrika (61%) Pulp 660.945 105,67 Singapura (53%) Kertas 208.774 162,51 Asia (60%) Chipwood 42.348 1,65 Taiwan (100%)

Sumber: Dephut, 2004

Devisa yang diperoleh dari ekspor produk kayu lapis tampak mengalami

penurunan sejak tahun 1990. Beberapa produk yang semula mengalami

peningkatan nilai ekspornya, seperti produk wood working dan wooden furniture

tampak mengalami penurunan pada kurun waktu yang berbeda. Pendapatan dari

ekspor produk wood working mengalami penurunan setelah tahun 1994,

sedangkan produk wooden furniture mengalami rebound pada tahun 1999.

Berdasarkan pada latar belakang yang peneliti sampaikan maka ekspor kayu

merupakan salah satu sumber pendapatan negara baik dari devisa maupun dari

sektor perpajakan sehingga peneliti mengambil judul penelitian ”Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Ekspor Kayu Olahan Tahun 1985 – 2005”.

8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan nilai ekspor kayu olahan di Indonesia

tahun 1985 – 2005 ?

2. Apakah nilai harga kayu olahan tingkat nasional mempengaruhi

ekspor kayu olahan tahun 1985 – 2005 ?

3. Apakah nilai luas hutan berpengaruh terhadap ekspor kayu olahan

tahun 1985 – 2005 ?

4. Apakah nilai kebijakan ekspor kayu gelondongan berpengaruh

terhadap ekspor kayu olahan tahun 1985 – 2005 ?

5. Apakah nilai tukar rupiah terhadap dolar mempengaruhi ekspor kayu

olahan tahun 1985 – 2005 ?

C. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, dibatasai dalam perkembangan ekspor kayu

olahan, harga kayu olahan tingkat nasional mempengaruhi ekspor kayu

olahan, luas hutan berpengaruh terhadap ekspor kayu olahan, kebijakan

ekspor kayu gelondongan berpengaruh terhadap ekspor kayu olahan, nilai

tukar rupiah terhadap dolar mempengaruhi ekspor kayu olahan tahun 1985

– 2005.

9

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan ekspor kayu olahan di Indonesia

tahun 1985 – 2005.

2. Untuk mengetahui pengaruh harga kayu olahan tingkat nasional

terhadap ekspor kayu olahan tahun 1985 – 2005.

3. Untuk mengetahui pengaruh luas hutan terhadap ekspor kayu olahan

tahun 1985 – 2005.

4. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan ekspor kayu gelondongan

terhadap ekspor kayu olahan tahun 1985 – 2005.

5. Untuk mengetahui pengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar terhadap

ekspor kayu olahan tahun 1985 – 2005.

E. Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini nantinya dapat memberikan manfaat yang

cukup berarti bagi pihak – pihak antara lain:

1. Bagi Pemerintah

Dapat memberikan pertimbangan kepada pemerintah untuk dapat

mengambil kebijakan yang tepat ketika akan melakukan kebijakan yang

menyangkut ekspor kayu dalam peningkatan kesejahteraan masayarakat

serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

2. Bagi Peneliti

Dapat sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuaan

yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor

kayu olahan.

10

4. Bagi Universitas Sanata Dharma

Hasil Penelitian ini dapat menambah referensi koleksi

perpustakaan Sanata Dharma Yogyakarta, yang berguna bagi para

Mahasiswa/i Sanata Dharma serta pihak-pihak yang membutuhkan

dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya

pengetahuan yang berhubungan dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi ekspor kayu olahan di Indonesia.

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sumber Daya Hutan di Indonesia

1. Manajemen Pengelolaaan Hutan di Indonesia

Selama kurang lebih 50 tahun, hutan alam di Indonesia mengalami

penyusutan secara drastis. Diperkirakan telah terjadi pengurangan

penutupan hutan dari 162,3 juta ha di tahun 1950 menjadi sekitar 105

juta ha di tahun 2000. Laju deforestasi diperkirakan sebesar 2 juta ha per

tahun. Kontribusi illegal logging terhadap deforestasi belum diketahui

secara pasti namun dapat diperkirakan sekitar 2.5 juta ha hutan menjadi

areal tebangan secara ilegal (Nugraha, 2004).

Perubahan hutan menjadi perkebunan merupakan komponen terbesar

sekitar 2,4 juta ha selama periode 1985-1997, yang berkontribusi dalam

berkurangnya tutupan hutan di Pulau Sumatera, Kalimantan dan

Sulawesi (Dephut, 2000). Deforestasi adalah salah satu bentuk nyata dari

sebuah kesalahan manajemen hutan di Indonesia, di samping faktor

alami lainnya yang tidak terhindarkan. Seperti disebutkan oleh Mubariq

Ahmad bahwa permasalahan kehutanan seringkali ditimbulkan oleh

faktor yang datangnya justru jauh dari hutan itu sendiri.

11

12

Tata Kepengurusan hutan (Forest Governance) yang lemah membawa

implikasi serius terhadap kondisi hutan. Kebijakan serta prakondisi

pengelolaan hutan lestari perlu diciptakan oleh semua pihak termasuk

institusi yang terlibat di dalamnya. (Menurut Maynard, B. 2003)

Pengelolaan yang sesuai dengan kelestarian lingkungan, dalam piramida

berikut;

Gambar 1. Piramida dari “Good Forest Governance”. Sumber : Mayer et al,

2003

[Pondasi]. Dijaminnya hak kepemilikan (property tenure right). Kondisi pasar dan investasi. Mekanisme kerjasama denga sektor lain yang

berpengaruh. Pengakuan terhadap Institusi penting (Pemerintah,Social kemayarakatan dan sektor

(1) Peran/Role]. Adanya peran di antara stakeholder dan institusi dalam kerangka negosiasi pengunaan lahan dan hutan

(5)Verifikasi PHL]. Tersedia alat verifikasi Pengelolaan Hutan Lestari

(PHL)

[(2) Kebijakan/policy PHL]. Tersedianya Kebijakan/peraturan yang mendukung PHL

(4)Promosi/Extentions]. Adanya Promosi PHL kepada Konsumen

(3) Instrumen]. Adanya instrumen untuk insentif dan disinsentif (“carrot and stick”)

13

a. Pondasi

Pondasi ini merupakan prasyarat yang mempengaruhi Good

Forest Goverance tetapi tidak berada dalam kontrol sektor

kehutanan. Pondasi tersebut meliputi dasar-dasar demokrasi, hak

asasi manusia serta peraturan perundangan yang diterima dan

dilaksanakan oleh masyarakat. Kebutuhan akan sektor kehutanan

yang dijalankan oleh beberapa institusi kehutanan diakui oleh

masyarakat. Pengakuan ini sangatlah penting menyangkut masalah

peran dan kewenangan. Kondisi ini tidak berada dalam kontrol sektor

kehutanan saja namun peran politik pemerintah, baik pusat maupun

daerah, terutama pada era desentralisasi sangat dominan. Penting

tidaknya peran sektor Kehutanan sangat tergantung dari skala

“proritas” yang ditetapkan oleh pemerintah setempat. Seperti terjadi

pada masa transisi desentralisasi, dimana terjadi kesimpangsiuran

koordinasi diantara agen-agen pemerintah, seperti pada kasus

terjadinya tarik menarik distribusi kewenangan terhadap hutan.

Hal tersebut telah menyebabkan tekanan yang kuat kepada hutan

untuk menjadi sumber pendapatan daerah, dimana kebijakan yang

dibuat tidak berpihak kepada kelestarian ekonomi, sosial dan

lingkungan. Kebijakan ekonomi makro dari pemerintah perlu

diselaraskan dengan rencana nasional dan regional, seperti:

penyesuaian struktural, alokasi anggaran, perpajakan, penetapan

harga dan nilai tukar.

14

Penyesuaian struktural ini penting terutama dalam konteks

desentralisasi dimana perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan

dan kemampuan daerah dalam menangani berbagai isu lintas sektoral

(contoh: kebijakan tata ruang) akan sangat menentukan arah

kebijakan khususnya di bidang kehutanan. Hutang dan kredit macet

sektor kehutanan diperkirakan berjumlah 20 Milyar US $ dalam 10

tahun terakhir.

Penetapan harga kayu yang cenderung mengikuti harga pasar,

banyak berpengaruh terhadap nilai ekonomi hutan. Hal ini sangat

berpengaruh terhadap motivasi perbaikan mutu pengelolaan hutan

oleh HPH melalui sertifikasi hutan dimana faktor pembiayaan dalam

Pengelolaan Hutan Lestari terdiri yang dari perbaikan Internal dan

biaya sertifikasi sangat tergantung dari harga kayu dan pasar yang

menerimanya (Fajari, 1997).

Kondisi ekonomi dan finansial hutan dalam wilayah operasi

sektor kehutanan perlu dipahami oleh stakeholder. Pemahaman ini

seringkali tidak muncul, dimana banyak kebijakan yang hanya

beroientasi jangka pendek, dan seringkali distribusi manfaat ekonomi

hanya dikalkulasi sebagai hasil kayu semata, sehingga semua pihak

hanya berkonsentrasi pada bidang ini dan melupakan manfaat hutan

lainnya.

15

Dasar atau pondasi pemahaman manfaat hutan oleh stakeholder

seringkali diluar kendali sektor kehutanan itu sendiri. Selain itu

permasalahan hak kepemilikan sebagaimana dijelaskan dalam bagian

sebelumnya, dimana perlu kejelasan, terdokumentasi dan tidak

diskrimantif, menjadi permasalahan yang hingga kini belum

terselesaikan.

Konteks internasional juga merupakan bagian penting yang

berpengaruh terhadap sektor kehutanan dan tidak sebaliknya.

Beberapa konvensi dan kewajiban internasional yang berdampak

positif atau negatif seringkali belum tersosialisasikan pada

stakeholder yang relevan. Sebagai contoh, dengan spesifik kasus

untuk Indonesia adalah terjadinya penebangan hutan di areal

kehutanan yang tidak terkontrol sehingga kondisi pasar investasi dan

perdagangan sektor kehutanan merupakan faktor dasar lainnya yang

berpengaruh terhadap pengelolaan sektor kehutanan, namun di luar

kontrol sektor kehutanan masih ada faktor lain seperti masalah

penebangan liar dan perdagangan kayu secara liar merupakan salah

satu bentuk dari tidak imbangnya permintaan pasar dengan produksi

kayu.

Kebijakan rendahnya nilai jual kayu dalam negeri juga telah

menyebabkan adanya penyelundupan kayu ke luar Indonesia. Selain

itu kebijakan berbasis pasar untuk mencapai efisiensi, yang didorong

oleh IMF dan World Bank, misalnya penghapusan pengaturan

16

perdagangan kayu lapis telah berhasil menghilangkan hambatan

pasar dan kartel. Namun demikian mekanisme pasar yang diterapkan

dalam alokasi pemanfaatan hutan sulit untuk mencapai tujuan

redistribusi manfaat hutan (Kartodiharjo, 1999). Permasalahan lain

yang terjadi adalah kebebasan investasi asing dalam kemudahan

perijinan perkebunan besar yang cenderung merusak hutan karena

hanya mengejar Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) saja dengan pola

tebang habis ( Kartodiharjo, 1999).

b. Elemen-1 (Peran/Role)

Keberadaaan peran dari stakeholder dan institusi terbentuk dan

bernegosiasi sangat diperlukan dalam mengembangkan peran yang

seimbang dalam pengelolaan hutan. Di samping peran-perannya

diakui, kapabilitas sektor kehutanan juga perlu dikembangkan dalam

rangka memberi ruang yang seimbang dalam bernegosiasi dengan

para stakeholder. Peran-peran ini dalam konteks pengelolaan hutan

di Indonesia masih belum berkembang dengan baik. Berbagai

konflik diantara stakeholder masih sering terjadi, pihak swasta

dengan pemerintah, sebagai contoh kasus ketidakjelasan status

kawasan pengusahaan hutan yang dikelola oleh pemerintah

(Nugraha, 1996).

Kasus yang sama juga terjadi antara pihak swasta dengan swasta,

dimana tumpang tindih perijinan yang mengakibatkan ketidakpastian

dalam pengelolaan suatu kawasan sebagai contoh ijin Hak

17

Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Permasalahan yang juga sering

timbul di lapangan adalah antara pihak swasta dan masyarakat

disekitar hutan terutama berkaitan dengan kurangnya komunikasi

diantara keduanya dalam menegosiasikan bentuk pengelolaan hutan

yang mereka sepakati. Akses terhadap informasi merupakan masalah

kritis yang perlu di pertimbangkan dalam meningkatkan kapasitas

negosiasi dari pihak-pihak tersebut. Pada kondisi komunikasi yang

cukup visi dan misi serta kemajuan pengelolaan hutan yang lestari

dapat disampaikan kepada pihak lain secara kontinyu.

Dasar struktur institusi yang terkait dengan pengelolaan hutan

dan hak-hak pengambilan keputusan dan kewenangannya dihormati

dan disetujui oleh semua pihak. Hal ini penting mengingat dalam

sebuah konflik yang tidak kunjung selesai, diperlukan sebuah

kewibawaan institusi untuk menyelesaikannya, agar dampak konflik

pengelolaan hutan tersebut tidak merugikan (merusak) kondisi hutan

itu sendiri. Peran-peran yang seimbang ini dapat diformulasikan

dalam bentuk kerjasama dan kemitraan (Collaborative and

Partnership) yang adaptif.

c. Elemen-2 (Kebijakan/Policies)

Pada kondisi Ideal, elemen ini terdiri dari komponen penting

meliputi visi peran dan struktur dari institusi dalam sektor kehutanan

yang diakui dalam kebijakan dan undang-undang. Termasuk juga

permasalahan skala prioritas dari sektor kehutanan di dalam konteks

18

kebijakan pemerintahan. Proses-proses yang terkait dengan

penetapan kawasan hutan. Penetapan yang jelas terkait dengan hak

pengelolaan hutan yang didasarkan pada persetujuan dengan

pihak/hak lain (informed consent).

Kebijakan yang mengatur optimalisasi manfaat dari hutan

dimana secara ekonomi menguntungkan, dengan pertimbangan

ekologi dan sosial. Pada operasional pemanfaatan hutan, manfaat

ganda dari hutan dapat terjaga termasuk mata pencaharian bagi

penduduk sekitar hutan. Pemerintahan Orde Baru mencari legitimasi

melalui konstitusi dan proses legal. Wacana Hutan Negara diambil

dari klausul di dalam undang-undang dasar yang peruntukan dan

kontrolnya ada di tangan Negara (McCarthy, 2000).

Selanjutnya pemerintah Orde Baru melakukan interpretasi bahwa

pemerintah memiliki hak eksklusif pada seluruh aspek termasuk

aktifitas manusia di dalam areal yang ditetapkan sebagai kawasan

hutan (Barber et al, 1994). UU no 5 tahun 1967 digunakan sebagai

dasar pengelolaan hutan di Indonesia selama 30 tahun, dimana

pemerintah membagi kawasan hutan menjadi berbagai fungsi melalui

Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).

Menurut Pelusso, 1995, TGHK sebagai bagian dari perencanaan

dan pemetaan merupakan akumulasi strategi besar yang tidak

menguntungkan bagi penduduk di sekitar dan didalam hutan. Kasus

yang sama juga terjadi pada Pihak Departemen Kehutanan yang

19

melakukan penentuan batas fungsi hutan di dalam kawasan hutan

tanpa memperhatikan keberadaan penduduk lokal.

Kini pemerintah Indonesia, setelah melalui proses yang panjang,

menerima keberadaan masyarakat adat (Indegenous people) dalam

wacana internasional, dimana sebelumnya pengakuan ini sulit

diperoleh di masa orde baru. Masyarakat adat ini jumlah cukup

signifikan diperkirakan sekitar 30-65 juta jiwa yang hidup di

kawasan hutan. Hal ini membawa permasalahan yang besar dan

beragam. Pada area dalam kawasan hutan pengakuan legal hak-hak

pemilik (proprietary right) tidak memungkinkan, sedangkan hak-hak

adat diperlakukan kurang seperti halnya hak-hak untuk penggunaan

lahan (usufruct) (McCarthy, 2000).

d. Elemen ke-3 (Instrument) Pada tingkat ini lebih terfokus dari prakondisi yang mendorong

motivasi stakeholder untuk melaksanakan PHL. Sebagaimana

disebutkan oleh Woodhouse (1997) bahwa Governance (Tata

kepengurusan) adalah kompleks yang melibatkan mulai global ke

lokal, keterkaitan multi sektor dengan perbedaan nilai-nilai.

Governance dipandu oleh kebijakan, ditegakkan oleh hukum serta

diimplementasikan oleh kelembagaan/institusi, hal tersebut hasilnya

bervariasi tergantung pada kualitas ketiga faktor tersebut. Instrumen

Knowledge/Pengetahuan, perlu diciptakan diantara para stakeholder.

20

Hal ini meliputi ketersediaan, tujuan, derajad dari pilihan-pilihan

serta implikasinya dan kapasitas yang cukup untuk menggunakan

instrument tersebut dalam mencapai PHL. Pada kondisi di Indonesia,

umumnya instrumen pendukung sudah ada dan pengetahuan yang

terkait dengan PHL telah tersedia dengan tingkat kapasitas rimbawan

yang merupakan salah satu stakeholder dirasa cukup untuk

mengimpementasikannya.

Sebagian besar kendala pencapaian PHL di HPH adalah banyak

terkait pada persoalan prakondisi kebijakan pemerinah atau

perusahaan dan bukan disebabkan oleh aspek teknik kehutanan

semata. Instrumen promosi dan Instrumen pasar, diperlukan guna

meningkatkan motivasi baik produsen maupun konsumen. Tercatat

telah banyak pihak yang mencoba memfasilitasi proses ini sebagai

contoh WWF Indonesia dengan PFTN nusa hijau dan GFTN-WWF

yang kini bekerja di 18 region dan 30 negara. Tropical Forest Trust

(TFT).

Instrumen regulasi, yang praktis, terjangkau, proporsional

diperlukan untuk mengatur insentif dan disinsentif (sangsi yang

tegas). Regulasi-regulasi tersebut meliputi sistem alokasi hak

kepemilikan termasuk tenure, sistem perlindungan kepentingan

publik terhadap hutan, instrumen regulasi iklim investasi kehutanan,

akses pasar, anti korupsi, sistem pajak dan pendapatan yang

seimbang antara produk ekspor dan domestik.

21

e. Elemen ke-4 (Promosi) Menjelaskan apabila Verifikasi PHL sudah tersedia, apakah

proses tersebut juga dilanjutkan dengan proses sosialisasi kepada

sasaran yang lebih luas. Pada elemen ini sejumlah capaian

(milestone) tercatat antara lain pada tingkat global dimana LEI

berupaya melakukan Join Certification Program (JCP) yang

bertujuan untuk berkiprah di pasar International dengan bermitra

sejajar dengan lembaga akreditasi dunia seperti Forest Stewardship

Council (FSC).

Tidak kurang sejumlah lembaga international berkontribusi untuk

mengkapanyekan PHL di tingkat national dan global, seperti WWF

dengan mekanisme stepwise approach menuju sertifikasi dimana di

tingkat national lebih berperan pada penguatan pembangunan

kapasitas (capasity building) disisi penghasil (produsen). Sedangkan

Proyek seperti Promotion of Sustainable Forest Managemen (SFMP-

GTZ) dan Berau Forest Management Project (BFMP-EU), SFMCP-

GTZ lebih berfokus pada aspek peningkatan kapasitas teknis dan

policy di lingkup Pemerintahan serta sektor swasta. Selain lembaga

lain international lain yang terkait seperti TNC , WWF International

serta CIFOR yang juga berkontribusi pada isu-isu yang global dalam

mengkapanyekan pentingnya kesadaran dalam menuju Pengelolaan

Hutan Lestari.

22

Hal ini sungguh beralasan dikarenakan masih sedikitnya

kesadaran dalam menggunakan produk yang berasal dari hutan

lestari, dimana daya serap kayu sertifikat kebanyakan didorong

bukan oleh pengguna akhir (endconsumer) melainkan berasal dari

kesadaran penjual atau retailer (McCarthy, 2000). Kendala yang

dihadapi dalam hal ini adalah masih tersedianya produk kayu ilegal

yang cenderung lebih murah dan terjangkau oleh konsumen lokal.

Hal lain yang masih perlu diperhatikan adalah permasalahan

ketersedian dan akses informasi kepada publik yang masih perlu

ditingkatkan.

f. Elemen ke -5, (Verifikasi-PHL) Verifikasi PHL di Indonesia telah berkembang sejak

diperkenalkannya tekad menuju PHL setelah berlangsungnya

konferensi International Timber Trade Organization (ITTO) di Bali

tahun1990 serta Konferensi Bumi 1992. Sebagai tindak lanjut dari

kedua kejadian penting itu, berkembang sejumlah alat/instrumen

untuk verifikasi PHL yang salah satunya dipelopori oleh Lembaga

Ekolabel Indonesia (LEI) dengan mekanisme sertifikasi Pengelolaan

Hutan Alam Lestari (PHAL)-nya.

23

2. Potensi Sumber Daya Hutan di Indonesia

Kekayaan alam Bangsa Indonesia sangat melimpah, baik potensi

yang dikuasai oleh masyarakat, maupun yang dikuasai oleh negara,

kekayaan hutan di Indonesia pada dasarnya dapat dibagai menjadi

beberapa kategori di dalam penentuan komposisi tata guna hutan. Areal

non-hutan yang cukup luas mengindikasikan bahwa hutan saat ini dalam

kondisi yang sangat rusak. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan

komposisi tata guna hutan selama periode 1983-2005, yang akan

dijelaskan dalam tabel di bawah ini;

Tabel II.1 Komposisi Tata Guna Hutan

No Jenis Hutan 1983 1999 2003

1 Hutan Konservasi 18.725.324 20.500.988 23.214.627

2 Hutan Lindung 30.316.218 33.519.600 29.037.397

3 Hutan Produksi 64.391.990 58.254.480 44.039.155

4 Hutan Produksi yang dapat dikonversi

30.131.716 8.078.056 13.670.535

Total 143.565.248 120.353.104 109.961.714

Sumber : Dephut, 2005

Potensi alam yang dimiliki oleh sektor kehutanan sangat besar, sejak

tahun 1970 potensi kehutanan di Indonesia terbagi menjadi beberapa

potensi yang akan menjadi produk kehutanan, dalam tabel berikut ini:

24

Tabel II. 2

Potensi Kehutanan di Indonesia

No Potensi produk Periode

1 Ekspor Log 1970-1985

2 Penggergajian 1978-1985

3 Playwood 1985-1990

4 Secondary product termasuk moulding Sejak 1990

5 Pulp Sejak 1990

Sumber:Dephut, 2000

B. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kayu Olahan di Indonesia

1. Produksi Kayu Olahan di Indonesia

Kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan industri

kehutanan telah menyebabkan industri perkayuan Indonesia tumbuh

dengan cepat dan mengalami perubahan struktur selama periode 1980-

2005. Kayu olahan merupakan industri perkayuan yang menjadi

kontributor penting terhadap penerimaan devisa, produk domestik bruto,

penerimaan negara, dan penyerapan tenaga kerja. produksi hasil hutan

kayu berfluktuasi selama periode 1980-2005.

Pengusahaan hutan di Indonesia diawali dengan terbitnya UU No 5

tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang diatur

dalam Pasal 13 yang ditindak lanjuti dengan keluarnya PP No 22 Tahun

1967 tanggal 30 Desember 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan

(IHPH) dan Iuran Hasil Hutan (IHH). Petunjuk teknisnya sendiri diatur

25

dalam PP No 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan

Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).

Dalam PP ini lebih dijelaskan perihal bentuk-bentuk pengusahaan

hutan dan kewajiban setiap pemegang HPH untuk mendirikan industri

pengolahan hasil hutan Produksi kayu olahan di Indonesia terbagi

menjadi 2 yaitu kayu olahan berupa kayu lapis, kayu gergajian.

Tabel II.3 Produksi Kayu Olahan

No Sumber Produksi – 1000 m3 Hutan Alam Hutan tanaman

Tahun RKT IPK Perhutani HTI Hutan rakyat Jumlah 1 1992/1993 28.267 2 1993/1994 26.848 3 1994/1995 24.027 4 1995/1996 24.850 5 1996/1997 26.069 6 1997/1998 29.520 7 1998/1999 19.027 8 1999/2000 20.620 9 2000 3.450 4.565 1.511 3.784 489 13.789 10 2001 1.809 2.324 1.455 5.567 11.155 11 2002 3.020 183 1.599 4.243 9.004 12 2003 4.105 956 977 5.328 60 11.424 13 2004 3.511 1.632 924 7.329 154 13.549 14 2005 5.860 3.614 758 12.818 1.311 24.192 15 2006 6.152 987 16 2007 9.100 832

Sumber: Dephut, 2008

Keterangan

RKT = Rencana Karya Tahunan

IPK = Ijin Pemanfaatan Kayu

Perhutani = Perusahaan Hutan Tani Indonesia

HTI = Hutan Tanaman Industri

26

2. Konsumsi Kayu Olahan di Indonesia

Industri perkayuan juga menghadapi perubahan sumber bahan baku

yang berakibat pada perubahan kualitas bahan baku yang digunakan.

Saat ini, produksi kayu bulat Indonesia berasal dari berbagai sumber,

seperti hutan alam, hutan tanaman industri, izin sah lainnya, dan areal

konversi. Berdasarkan realisasi produksi produk-produk hasil hutan di

atas, total konsumsi kayu oleh industri perkayuan dapat dilihat dalam

berikut ini

Tabel II.4 Konsumsi Kayu Olahan di Indonesia

No Kelas Perusahan Unit

Perusahaan Konsumsi kayu

olahan Konsumsi kayu olahan

non perusahaan 1 Perusahaan kecil 199 8.312.532 41.263.223

2 Perusahaan sedang 85 17.547.264 52.869.428

3 Perusahaan besar 3 34.200.000 82.943.445

Total 287 60.059.798 170.760.360

Sumber: Diolah Dari Data Dephut, 2007

C. Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Kayu Olahan di Indonesia

Kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan industri

kehutanan telah menyebabkan industri perkayuan Indonesia tumbuh dengan

cepat dan mengalami perubahan struktur selama periode 1980-2005.

Menurut Simangunsong, 2004, menunjukkan bahwa meskipun nilai ekspor

hasil hutan terus meningkat pada periode 1980-1997, namun kontribusinya

terhadap nilai ekspor barang-barang industri terus menurun pada periode

tersebut yang mengindikasikan lebih lambatnya pertumbuhan industri

27

perkayuan dibandingkan dengan pertumbuhan sektor industri secara

keseluruhan.

Industri perkayuan telah menjadi kontributor penting terhadap

penerimaan devisa, produk domestik bruto, penerimaan negara, dan

penyerapan tenaga kerja. Nilai ekspor hasil hutan kayu berfluktuasi selama

periode 1980-2005 dan mencapai puncaknya, yaitu US$6,24 milyar (atau

17,8% dari nilai ekspor barang-barang industri atau 11,7% total nilai ekspor)

pada tahun 1997 ketika nilai ekspor kayu lapis juga mencapai puncaknya

dan adanya kontribusi yang cukup signifikan dari ekspor pulp dan kertas

serta wooden furniture. Nilai ekspor hasil hutan kemudian menurun akibat

krisis ekonomi yang terjadi dimana pada tahun 2005 nilainya menjadi

US$5,41 milyar (atau 9,7% dari nilai ekspor barang-barang industri atau

6,3% dari total nilai ekspor) (BPS, 2006).

Tabel II.5

Perkembangan Ekspor Kayu Olahan Indonesia

Tahun Volume

(juta m3)

Nilai

(Miliar US$)

Rata-rata

(Milliar US$)

1990 8,51 3,02 355,19 1991 8,97 3,17 352,86 1992 9,78 3,56 363,61 1993 9,71 4,59 472,48 1994 8,92 4,03 452,67 1995 8,75 3,89 444,19 1996 8,57 4,03 469,92 1997 8,35 3,89 465,41 1998 8,04 2,49 309,08 1999 7,77 2,7 348,19 2000 6,97 2,42 346,95 2001 6,01 1,5 250,02

Sumber: Asosiasi Panel Kayu Indonesia , 2002

28

1. Harga Kayu Olahan Tingkat Nasional

Harga kayu olahan di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor di

dalam penentuaan harga kayu olahan tingkat nasional,antara lain jumlah

produksi kayu olahan tingkat nasional, permintaan kayu olahan tingkat

nasional maupun internasional.

Di pasar kayu olahan, keinginan untuk berdagang kayu olahan adalah

selisih antara permintaan dan sediaan kayu olahan di dalam negeri

dimana permintaan konsumen terhadap produksi kayu olahan, harga

akhir yang menjadi hasil kesepakatan dalam perdagangan antara dua

negara dapat kita tentukan setelah kita memiliki analisis yang terdiri dari

kurva permintaan kayu olahan dan kurva sediaan kayu olahan di pasar

domestik. Interaksi antara permintaan kayu olahan dan sediaan kedua

negara itu menentukan harga kayu olahan dan kuantitas produksi kayu

olahan yang diperdagangkan dan yang jumlah kayu olahan yang

dikonsumsi.

Perbedaan harga kayu olahan di Indonesia pada dasarnya

dipengaruhi oleh perbedaan dalam jumlah produksi kayu olahan, tingkat

konsumsi kayu olahan baik di dalam pasar dalam negeri maupun pasar

luar negeri. Penentuan perbedaaan harga selain mempengaruhi tingkat

konsumsi kayu olahan di dalam negeri juga akan mempengaruhi arus

ekspor dan impor, selain dipengaruhi oleh faktor diatas juga dipengaruhi

oleh kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah di dalam proses

penentuan harga kayu olahan baik yang diekspor maupun yang diimpor.

29

Perbedaan harga mempengaruhi arus ekspor dan impor misalnya

kebijakan pemerintah yang menerapkan kebijakan tarif yang bertujuan

untuk melindungi produksi kayu olahan di dalam negeri tehadap impor

kayu olahan dari luar negeri. Kebijakan ini untuk meningkatkan hasil

produksi di dalam negeri terutama untuk produk yang masih diimpor.

Penentuan sebuah tarif di dalam negeri dapat berfungsi untuk menekan

harga pasar untuk kepentingan suatu negara, batasan kekuatan pasar

suatu negara, dapat kita lihat bahwa sebuah tarif yang berfungsi sebagai

penghambat tidak akan berfungsi sebagai pengahambat secara optimal.

Perbedaan harga ekspor dan impor juga ditentukan oleh tingkat tarif

optimal, sebagai bagian dari harga yang dibayarkan pada pemasok luar

negeri sama dengan elastisitas timbal balik dari sediaan luar negeri untuk

ekspor dan impor suatu negara. Keuntungan nasional sebuah tarif yang

mepengaruhi harga penjualan ekspor dan impor penjualan luar negeri.

Kalau kemiringan kurva sediaan luar negeri naik, sebuah negara yang

mengimpor maka akan memiliki kekuatan atas harga yang dibayarkanya

pada pemasok luar negeri untuk impornya. Negara yang memiliki

kekuatan monopsoni nasionalnya akan mempergunakan di dalam

mempengaruhi harga komoditi impornya (Dephut, 2007).

Dengan adanya perbedaan harga yang dipengaruhi oleh tarif ekspor

dan impor maka akan mempengaruhi arus ekspor dan impor suatu

negara, data ekspor kayu olahan tingkat nasional dan internasional dapat

dilihat dalam tabel berikut ini:

30

Tabel II.6 Harga Kayu Olahan Nasional dan Internasional

Produk Kayu Olahan

Yang diekspor Nilai Ekspor

(juta m3) Harga Kayu olahan Tingkat

Nasional (rupiah per M3)

Harga Kayu olahan Tingkat Internasional

(U$ AS per M3)

Plywood 930.354 650.000 500

Kayu gergajian 12.314 480.000 – 1.500.000 400

Woodworking 153.900 500.000 350

Blockboard 407.945 700.000 400

Sumber:Dephut, 2007

Berdasarkan pada data tabel harga kayu di dalam negeri murah maka

ekspor kayu akan semakin besar karena dari segi pemasukan devisa akan

bertambah, karena kenaikan nilai dolar Amerika Serikat akan mempengaruhi

neraca perdagangan Indonesia. Pada tahun 2007 nilai ekspor kayu gergajian

12.314 juta m3 dengan harga kayu olahan 480.000 – 1.500.000, sementara

harga kayu olahan tingkat mencapai 400 U$ AS per M3.

31

32

2. Luas Hutan di Indonesia

Hutan di Indonesia memiliki nilai ekonomi, sosial, lingkungan dan

budaya bagi negara dan masyarakat setempat khususnya. Jika

berbagai peranan itu tidak seimbang, yang satu lebih ditekankan

daripada yang lainnya, maka keberlanjutan hutan akan semakin

terancam. Hal ini terlihat selama 25 tahun terakhir ini, eksploitasi

sumber daya dan tekanan pembangunan mempunyai pengaruh pada

hutan.

Perkembangan luas hutan di Indonesia mengalami penurunan setiap

tahunnya sehingga luas hutan mengalami penurunan. Data Hutan

Indonesia dari periode tahun 1999 hingga 2006 berdasarkan data FAO

dan Reuters (Kompas, 2007), yaitu:

Tabel II.7

Luas Hutan Di Indonesia

Tahun Jumlah luas hutan (Juta Hektar)

Nilai ekspor kayu

2000 97,85 355,19 2001 95,98 352,86 2002 94,11 343,61 2003 92,23 358,48 2004 90,36 345,67 2005 88,49 346,95 2006 86,62 250,02

Sumber: Dephut, 2007

Perkembangan luas hutan di dunia mengalami fluktuasi setiap

tahunnya sehingga luas hutan mengalami penurunan. Data Hutan di

dunia dari periode tahun 1990 hingga 2006 berdasarkan data FAO dan

Reuters (Kompas, 2007), yaitu:

33

Tabel II.8 Luas Hutan Di Dunia

Nama Negara Jumlah Luas Hutan Nilai ekspor kayu Kanada 973.856 270,20 Amerika Serikat 3.509.234 593,60 Namibia 61.130 145,20 Afrika Selatan 816.600 720,10 Swaziland 17.018 400,00 Uganda 35.000 370,00 Zimbabwe 62.907 480,20

Sumber:Dephut, 2007

Di Kanada telah berkembang berkembang bermacam-macam skema

sertifikasi hutan yang diakui dan sudah dilaksanakan di lapangan, baik

yang dikembangkan sebagai suatu inisiatif nasional, regional, maupun

internasional. Beberapa skema sertifikasi hutan tersebut adalah yang

dikembangkan oleh FSC (Forest Stewardship Council), PEFC (Pan-

European Forest Certification), CSA (Canada’s National Sustainable

Forest Management Standard), SFI (Sustainable Forest Initiative),

American Tree Farm System, LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia).

Sementara itu di Amerika Serikat dan Kanada selain skema FSC, untuk

kepentingan sertifikasi hutan juga terdapat skema lain yang dikenal

sebagai Sustainable Forestry Initiative (SFI).

Program SFI merupakan skema sertifikasi hutan yang digagas oleh

masyarakat perhutanan dan asosiasi kertas yang ada di Amerika Serikat

(the American Forest and Paper Association atau AF&PA). Program ini

telah dimulai semenjak tahun 1995, dimana setiap anggota asosiasi

seperti FSC (Forest Stewardship Council), PEFC (Pan-European Forest

Certification), CSA (Canada’s National Sustainable Forest

34

Management Standard), SFI (Sustainable Forest Initiative), American

Tree Farm System, LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia). Sementara itu di

Amerika Serikat dan Kanada selain skema FSC, untuk kepentingan

sertifikasi hutan juga terdapat skema lain yang dikenal sebagai

Sustainable Forestry Initiative (SFI).

Namun hanya verifikasi yang dilaksanakan oleh self-assessment”

yang disebut sebagai sertifikasi. Berdasarkan data sampai dengan

Februari 2002, tercatat seluas 20.613.107 ha areal hutan di Amerika

Serikat dan 5.130.000 ha areal hutan di Kanada yang telah mendapatkan

sertifikasi dari pihak ketiga berdasarkan program SFI. Angka “certified

forest” atau sertifikasi kehutanan tersebut meningkat secara sangat

fantastis dibandingkan dengan luasan pada Maret 2001 yang baru

mencapai 11.336.032 ha. Penerapan skema sertifikasi kehutanan, yang

menjadi acuan dalam penerapan sertifikasi kehutanan yang diterapkan di

Kanada.

Skema sertifikasi hutan lainnya yang telah diaplikasikan di lapangan

adalah Canada’s National Sustainable Forest Management Standard

atau dikenal sebagai skema sertifikasi hutan “CSA”. Kalau ketiga skema

sertifikasi hutan sebelumnya, berlaku di tingkat internasional dan

regional, maka untuk skema CSA hanya berlaku di Kanada. Standar ini

dikembangkan dan diadopsi oleh the Canadian Standards Association,

dan telah melakukan suatu kesepakatan pengeloaan lingkungan hidup.

35

Instrumen regulasi, yang praktis, terjangkau, proporsional diperlukan

untuk mengatur insentif dan disinsentif (sangsi yang tegas). Regulasi-

regulasi tersebut meliputi sistem alokasi hak kepemilikan termasuk

pengupahan sistem perlindungan kepentingan publik terhadap hutan,

instrumen regulasi iklim investasi kehutanan, akses pasar, anti korupsi,

sistem pajak dan pendapatan yang seimbang antara produk ekspor dan

domestik.

Tidak kurang sejumlah lembaga internasional berkontribusi untuk

mengkampanyekan kelestariaan di tingkat nasional dan global, seperti

gerakan penghijauan kehutanan dengan mekanisme tujuan kelestariaan

hutan menuju sertifikasi di mana di tingkat nasional lebih berperan pada

penguatan pembangunan kapasitas penghasil kayu.

Sedangkan proyek manajemen pengeloaan kehutanan, lebih berfokus

pada aspek peningkatan kapasitas teknis dan kebijakan di lingkup

pemerintahan serta sektor swasta. Proyek ini lebih menekankan pada

peningkatan aspek dalam pengeloaan hutan yang dilakukan oleh

lembaga pemerintah di Kanada bersama dengan pihak swasta yang juga

berkontribusi pada isu-isu yang global dalam dalam mengkapanyekan

pentingnya kesadaran dalam menuju pengelolaan hutan lestari.

36

Tabel II. 9

Skema Sertifikasi Kehutanan

Skema Sertifikasi Luas Certified Forest (Ha)

Cakupan

FSC 28.827.037 Internasional PEFC 42.806.334 Eropa CSA 4.670.000 Kanada SFI 25.743.107 AS dan Kanada

Total 102.046.478 Sumber: Dephut, 2007

3. Kebijakan Ekspor Kayu Gelondongan

Berdasarkan pada kebijakan pelarangan kayu gelondongan yang

dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1985 sampai tahun 2006.

Menurut teori ekonomi, larangan ekspor kayu bulat akan mengurangi

kompetisi untuk memperoleh kayu bulat dan menekan harga kayu bulat

domestik, yang kemudian menyebabkan turunnya nilai tegakan dan pada

gilirannya akan menurunkan penerimaan pemerintah dari sumber daya

hutan.

Tujuan kebijakan ekspor kayu gelondongan berdasarkan Keputusan

Menteri perindustrian dan perdagangan Nomor :185/MPP/Kep/4/1998

tentang ketentuan ekspor kayu gelondongan, dalam rangka peningkatan

pendapatan dari sektor kehutanan sebagai upaya peningkatan pendapatan

pemerintah.

37

Tabel II.10

Produksi Kayu Bulat Dari Hutan Alam Produksi HPH

No Tahun Produksi (m3) Perubahan (%) 1 1989/90 24.409.000 2 1990/91 25.312.000 4 3 1991/92 23.892.001 -6 4 1992/93 28.267.000 18 5 1993/94 26.848.011 -5 6 1994/95 22.017.434 -18 7 1995/96 22.342.130 1 8 1996/97 23.289.462 4 9 1997/98 25.635.774 10

10 1998/99 16.235.580 -37

11 1999/00 12.305.212 -24

12 2000/01 6.500.000* -47 Sumber: Departemen Kehutanan, 2002

Keputusan Presiden No. 96 tahun 1999, tentang larangan

pembangunan industri pengolahan kayu atau hasil hutan tersebut sangat

terkait dengan semakin terbatasnya pasokan bahan baku kayu dari hutan

produksi alam. Karena itu Pemerintah pada tahun 2002 ini membatasi

produksi kayu gelondongan nasional sebesar 12 juta m3, dan pada tahun

2003 jatah itu ditekan lagi menjadi 6,48 juta m3. Pengetatan penjatahan

produksi kayu gelondongan tersebut mengacu kepada upaya-upaya

pemerintah dalam rehabilitas hutan yang setiap tahun mengalami

degradasi seluas 1,6 juta ha.

Perlu diperhatikan bahwa efek yang ditemukan ini bukan hanya hasil

dari kebijakan larangan ekspor kayu gelondongan, namun juga dari

berbagai kebijakan yang datang bersamaan dengan diberlakukannya

kebijakan larangan ekspor kayu bulat tersebut. Sebagai contohnya adalah

kebijakan pemerintah untuk mempercepat (memaksa) pembangunan

38

industri perkayuan dengan berintikan industri kayu lapis yang

diberlakukan pada bulan April 1981, yang kemudian diikuti dengan

kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya integrasi vertikal

antara perusahaan pengolahan kayu dan perusahaan HPH (Hak

Kepemilikan Hutan) dalam satu holding company yang sama, dan

kebijakan pemerintah mengenakan pajak ekspor yang tinggi terhadap

kayu gergajian, yaitu sebesar US $ 250 – US $ 1000 per m3, pada bulan

November 1989.

Pembatasan pemerintah melalui berbagai kebijakan yang

diberlakukan menjadikan pasar kayu gelondongan dalam negeri menjadi

tidak stabil yang diindikasikan dengan perbedaan harga dalam negeri

dan internasional yang terjadi masih lebar yang mengakibatkan daya

tarik ekspor kayu bulat yang tinggi. Faktor lain, seperti krisis ekonomi,

turut mendorong terjadinya peningkatan volume ekspor kayu bulat

(Kompas, 2006).

Situasi ini menjadikan industri pengolahan kayu dalam negeri

bekerja seefisien mungkin sehingga produk yang dihasilkannya mampu

bersaing karena akan munculnya persaingan antar industri untuk

mendapatkan bahan baku. Kenyataannya kondisi industri pengolahan

kayu (khususnya industri kayu lapis) bekerja tidak efisien yang

ditunjukkan dengan lebih rendahnya nilai tambah netto ekspor kayu lapis

dibandingkan dengan ekspor kayu bulat dan kayu gergajian. Situasi

pasar tersebut diperparah dengan adanya perubahan-perubahan di pasar

39

dalam negeri dan internasional seperti krisis ekonomi yang

berkepanjangan, liberalisasi perdagangan, sertifikasi produk kehutanan,

defisit bahan baku kayu, ilegal loging, terjadinya penyelundupan, dan

otonomi daerah. Berdasarkan pada uraian diatas maka dapat dibuat suatu

kesimpulan, bahwa kebijakan pemerintah dalam pelarangan ekspor kayu

gelondongan mempunyai tujuan:

Tabel II.11 Tujuan Kebijakan Pelarangan Kayu Gelondongan

No Kebijakan Pemerintah Tujuan Kebijakan

1 Keputusan Menteri perindustrian dan perdagangan Nomor :185/MPP/Kep/4/1998

Kebijakan ekspor kayu gelondongan telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka peningkatan pendapatan dari sektor kehutanan sebagai upaya peningkatan pendapatan pemerintah.

2 Keppres 96 tahun 1999 Larangan pembangunan industri pengolahan kayu atau hasil hutan tersebut sangat terkait dengan semakin terbatasnya pasokan bahan baku kayu dari hutan produksi alam.

4. Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat

Perubahan nilai tukar berpengaruh terhadap nilai ekspor dan

impor. Sifat kurs valuta asing sangat tergantung dari sifat pasar. Apabila

transaksi jual beli valuta asing dapat dilakukan secara bebas di pasar

maka kurs valuta asing akan akan berubah sesuai dengan perubahan

permintaan dan penawaran secara langsung akan mempengaruhi nilai

ekspor dan impor, hal ini dapat terjadi karena di dalam nilai kurs, selain

40

hal di atas juga dipengaruhi oleh perubahan dan permintaan kurs valuta

asing. Pemerintah juga dapat mengusai sepenuhnya transaksi valuta

asing, dalam hal ini kurs tidak dipengaruhi oleh permintaan dan

penawaran, berdasarkan pada uraian diatas maka. nilai tukar rupiah

terhadap dolar Amerika serikat, dapat dibedakan menjadi dua:

a. Nilai tukar tetap (Fixed Exchange Rate)

Merupakan nilai tukar dimana pemerintah masih bisa

melakukan devaluasi (penurunan nilai mata uang dalam negeri

terhadap mata uang asing ), dengan kata lain pemerintah menetapkan

tingkat kurs mata uang negara tersebut dengan mata uang negara

lain, dan berusaha untuk mempertahankan dengan berbagai

kebijakan. Pertama, tindakan secara langsung berupa pembelian

mata uang sendiri dengan mata uang asing oleh bank sentral apabila

kurs di pasar merosot di bawah tingkat yang sudah ditentukan oleh

otoritas moneter, maupun melonjak di atas tingkat yang ditentukan.

Kedua, tindakan langsung berupa penjatahan nilai tukar tetap pada

tingkat kurs yang ditetapkan.

Nilai tukar tetap pada saat devaluasi (penurunan nilai mata

utang dalam negeri terhadap mata uang asing yang sengaja dilakukan

oleh pemerintah), maupun revaluasi (menaikan nilai mata utang

dalam negeri terhadap mata uang asing yang sengaja dilakukan oleh

pemerintah), akan mempengaruhi nilai ekspor dan impor. Pada saat

devaluasi maka akan menaikan nilai ekspor dan menurunkan nilai

41

impor, karena nilai tukar rupiah memiliki nilai yang tinggi terhadap

mata uang di luar negeri (nilai dolar AS), misalnya; nilai tukar

rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 15.000,00 (di luar negeri) dan

nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 10.000,00 ( di dalam

negeri) maka nilai ekspor akan naik dan nilai impor mengalami

penurunan di dalam negeri, hal ini dapat terjadi karena untuk

mengimpor, suatu negara harus mengunakan nilai tukar rupiah

terhadap dolar sebesar Rp 15.000,00 sehingga suatu negara akan

memilih menaikan ekspor untuk memperoleh devisa dibandingkan

dengan melakukan impor.

Nilai tukar tetap pada saat revaluasi (menaikan nilai mata uang

dalam negeri terhadap mata uang asing yang sengaja dilakukan oleh

pemerintah), maka akan menaikan impor dan menurunkan ekspor,

hal ini dapat terjadi karena pada saat nilai tukar rupiah terhadap

dolar AS mengalami kenaikan maka nilai ekspor akan turun,

misalnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 10.000,00

(di luar negeri), dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp

15.000,00 (dalam negeri), maka akan menyebabkan suatu negara

lebih memilih mengimpor dari luar negeri, dengan biaya yang lebih

murah dibandingkan dengan membeli di dalam negeri dengan biaya

yang lebih mahal.

42

b. Nilai tukar mengambang (Floating Exchange Rate)

Nilai tukar merupakan suatu nilai tukar rupiah, nilai tukar kurs

mengambang ditentukan secara bebas oleh tarik menarik kekuatan

pasar. Keuntungan dari sistem nilai tukar mengambang adalah bahwa

tingkat kurs yang berlaku selalu sama dengan tingkat kurs

keseimbangan, tidak ada masalah surplus atau defisit neraca

pembayaran.

Nilai tukar mengambang pada saat depresiasi (penurunan harga

dalam valuta domestik dari valuta luar negeri sesuai dengan

mekanisme pasar) maupun apresiasi (kenaikan harga yang

dinyatakan dalam valuta domestik dari valuta luar negeri sesuai

dengan mekanisme pasar), akan mempengaruhi nilai ekspor dan

impor. Pada saat depresiasi maka akan menyebabkan nilai ekspor

naik dan menurunkan impor, hal ini dapat terjadi karena nilai tukar

rupiah terhadap dolar akan turun, misalnya; nilai dolar terhadap

rupiah di dalam negeri Rp 10.000,00 dan nilai dolar Amerika Serikat

terhadap rupiah di luar negeri Rp 15.000,00 maka akan menaikan

ekspor di dalam negeri, hal ini dapat terjadi karena negara lebih

memilih mengekspor ke luar negeri karena akan mendapatkan devisa

yang lebih tinggi dibandingkan dengan melakukan impor.

Nilai tukar mengambang pada saat apresiasi (kenaikan harga

yang dinyatakan dalam valuta domestik dari valuta luar negeri

dengan mekanisme pasar), hal ini dapat mempengaruhi ekspor dan

43

impor, nilai ekspor akan mengalami penurunan dan nilai impor

mengalami kenaikan, hal ini dapat terjadi karena nilai tukar rupiah

terhadap dolar akan naik, misalnya nilai tukar rupiah terhadap dolar

AS di luar negeri sebesar Rp 10.000,00 dan nilai tukar rupiah

terhadap dolar AS di dalam negeri sebesar Rp 15.000,00 maka suatu

negara akan memilih mengimpor dibandingkan dengan mengekspor,

karena akan mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah

dibandingkan dengan produksi di dalam negeri (Nopirin,1996).

Kurva 2.1 Kurva Permintaan Valas

Rp D1

Do

S

Do D1

US$

Eo E1

Keterangan kurva:

Do : permintaan awal

D1 : permintaan setelah adanya perubahan

Eo : keseimbangan pada saat permintaan awal

E1: keseimbangan pada saat perubahan harga

S : penawaran akan valuta asing

1

0

44

Pergerakan di dalam satu kurva berarti bahwa kenaikan atau

penurunan kurs akan mengakibatkan penurunan atau kenaikan

jumlah valuta asing yang diminta. Sedangkan pergeseran kurva

permintaan (dari Do Do ke D1D1) diakibatkan misalnya, oleh

kenaikan pengeluaran pemerintah, kenaikan jumlah uang yang

beredar, dan perubahan permintaan dari mata uang rupiah ke mata

uang US$.

Kurva 2.2 Kurva Penawaran Valas

Rp

S1

So

Do

E1 Eo US$

Keterangan kurva:

So : penawaran awal

S1 : penawaran setelah adanya perubahan

Eo : keseimbangan pada saat perubahan valas pada saat penawaran

awal

1

0

45

E1: keseimbangan pada saat perubahan valas setelah adanya

perubahan

D : permintaan akan valuta asing

Pergerakan di dalam satu kurva berarti bahwa kenaikan atau

penurunan kurs akan mengakibatkan penurunan atau kenaikan

jumlah valuta asing yang ditawarkan. Sedangkan pergeseran kurva

penawaran (dari So So ke S1S1) diakibatkan misalnya, oleh kenaikan

pendapatan pemerintah, penurunan jumlah uang yang beredar,

kebutuhan masyarakat akan valuta asing yang bergeser dari mata

uang US$ ke mata uang rupiah (Nopirin, 1996).

Nilai ekspor kayu olahan sangat dipengaruhi oleh nilai tukar

rupiah terhadap dolar AS, hal ini dapat terlihat dalam tabel berikut

ini:

Tabel II.12 Nilai Ekspor Kayu Olahan Terhadap Nilai Tukar US Dolar

Tahun Volume

(juta m3)

Nilai

(Miliar US$)

Nilai tukar Rp Terhadap Dolar

AS

1990 8,51 3,02 3500 1991 8,97 3,17 4000 1992 9,78 3,56 4125 1993 9,71 4,59 4120 1994 8,92 4,03 3750 1995 8,75 3,89 4250 1996 8,57 4,03 18.250 1997 8,35 3,89 15.890 1998 8,04 2,49 16.990 1999 7,77 2,7 12.000 2000 6,97 2,42 9.875 2001 6,01 1,5 9.785

Sumber: Deperindag, 2007

46

D. Penelitian Terdahulu

Judul penelitian “PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH

TERHADAP HARGA EKSPOR KOMODITI KAYU INDONESIA” Tahun

2000-2004 (Suatu Pendekatan Teknik Kointegrasi dan Model Koreksi

Kesalahan), disusun oleh Dr. Arindra A. Zainal Widya Hastuti, Universitas

Indonesia, Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan

keseimbangan jangka panjang dan jangka pendek antara nilai tukar Rupiah

dengan harga ekspor masing-masing komoditi. Untuk mengetahui hubungan

jangka panjang dilakukan uji kointegrasi menurut prosedur Johansen,

sedangkan untuk mengetahui hubungan jangka pendek dibuat model koreksi

kesalahan.

Tahapan analisis data didahului dengan melakukan uji unit root dan

menentukan derajat integrasi masing-masing variabel. Jika semua variabel

terintegrasi pada derajat yang sama maka dapat dilakukan uji kointegrasi

Johansen. Langkah selanjutnya, bila ada hubungan keseimbangan jangka

panjang atau terkointegrasi, adalah membuat representasi model koreksi

kesalahan (Error Corection Model/ECM) untuk mengevaluasi hubungan

dinamis antara nilai tukar dan harga ekspor. Kemudian untuk mendapatkan

model koreksi kesalahan yang terbaik dilakukan uji diagnostik, sehingga

model koreksi kesalahan tersebut bebas dari masalah heteroskedastisitas dan

autokorelasi.

47

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa kayu gergajian

secara statistik memiliki kekuatan pasar pada pasar ekspor dunia, sedangkan

komoditi pulp Indonesia mempunyai posisi yang lemah pada pasar ekspor

dunia. Untuk komoditi kayu lapis nilai koefisien ERPT tidak signifikan,

sehingga secara statistik harga ekspor kayu lapis Indonesia tidak ditentukan

oleh nilai tukar tetapi oleh harga ekspor dunia. Nilai Error Correction Term

(ECT) dari ketiga komoditi tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi satu

kali shock maka harga ekspor komoditi pulp akan paling cepat kembali ke

keseimbangan, kemudian diikuti oleh harga ekspor komoditi kayu gergajian

dan harga ekspor komoditi kayu lapis yang paling lambat kembali ke

keseimbangan.

Secara keseluruhan studi ini menghasilkan kesimpulan bahwa

Indonesia memiliki posisi yang kuat pada pasar ekspor untuk komoditi kayu

gergajian. Implikasi kebijakan yang bisa disarankan adalah tidak ada

salahnya jika Indonesia berspesialisasi untuk memproduksi komoditi kayu

gergajian dibandingkan dengan komoditi kayu lapis dan pulp.

E. Kerangka Berpikir

Dalam melakukan penelitian ini dan untuk menjawab berbagai

masalah dari penelitian ini, pola pikir sangat penting. Pola pikir dapat

mempermudah cara-cara yang akan ditempuh dalam penelitian. Pola pikir

juga dapat disebut dengan kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran

penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut: faktor-

faktor yang mempengaruhi ekspor kayu olahan.

48

Ekspor kayu merupakan sumber pndapatan negara khusunya ekspor

kayu olahan yang menjadi andalan penerimaan negara berupa devisa negara,

peran yang dipegang oleh sektor kehutanan dalam menjaga kelestarian hutan

juga sangat besar sebagai Arah pengembangan ekspor kayu oleh pemerintah

diorientasikan untuk mengangkat perekonomian makro, yakni dengan tujuan

memperbesar volume ekspor untuk meraih devisa. Perluasan dan

peningkatan produksi menjadi titik perhatian para pelaku (pemerintah dan

investor) yang memiliki jaringan bisnis skala nasional dan global. Ada yang

menanamkan modalnya dalam bentuk PMDN, dan ada yang dalam bentuk

PMA.

Para investor memandang sektor ini sangat strategis sebagai lumbung

untuk memupuk modal. Disamping karena berbagai kemudahan untuk

mendapatkan lahan, juga sektor tenaga kerja dapat ditekan dengan biaya

murah sehingga keuntungan yang didapatkan makin berlipat.

Faktor-faktor ekspor kayu dipengaruhi oleh, harga di dalam negeri

sehingga semakin besar harga kayu di Indonesia akan mempengaruhi jumlah

ekspor kayu olahan di Indonesia merupakan salah satu fokus perhatian

pemerintah di dalam peningkatan devisa negara, sehingga faktor-faktor yang

mempengaruhi ekspor kayu olahan di Indonesia dalam bagan berikut ini :

49

F. Hipotesis

F. Hipotesis

1. Harga kayu olahan tingkat nasional mempengaruhi ekspor kayu olahan

2. Luas hutan di Indonesia mempengaruhi ekspor kayu olahan

3. Kebijakan ekspor kayu olahan gelondongan mempengaruhi ekspor kayu

olahan

4. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serikat mempengaruhi ekspor

kayu olahan

harga kayu olahan nasional

luas hutan

Kebijakan ekspor kayu gelondongan

nilai tukar rupiah terhadap dolar

Ekspor kayu Indonesia

50

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ex post facto, yaitu

penelitian yang menunjukkan bahwa penelitian tersebut dilakukan sesudah

perbedaan-perbedaan dalam variabel bebas tersebut terjadi karena

perkembangan kejadian itu secara alami (Furchan, 1982: 382). Jenis

penelitian ini dianggap sangat mendukung untuk memecahkan dan

menggambarkan persoalan yang telah disampaikan terlebih dahulu.

B. Jenis Data dan Sumber Data

1. Jenis data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Data

kuantitatif adalah serangkaian pengukuran/observasi yang dinyatakan

dalam angka, merupakan data kasar karena langsung diperoleh dari

hasil pengukuran dan masih berwujud catatan yang belum mengalami

pengolahan yaitu data yang berbentuk angka-angka. Teknik

pengumpulan data diperoleh dari dokumentasi yaitu sumber-sumber

catatan dan arsip-arsip yang dimiliki dan literatur yang berkaitan

dengan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kayu olahan di

Indonesia.

50

51

Data yang dicari adalah data ekspor kayu olahan di Indonesia,

harga kayu olahan tingkat nasional, luas hutan, kebijakan pemerintah

yang menyangkut ekspor kayu gelondongan, dan nilai kurs rupiah

terhadap dolar pada tahun 1985 – 2005. Alasan yang mendasari

peneliti mengambil pada tahun 1985 adalah pada tahun tersebut nilai

ekspor sektor kehutanan indonesia mencapai puncaknya sehingga dari

segi pemasukan negara meyumbang pendapatan yang besar, sedangkan

pada tahun 2005 nilai ekspor indonesia mengalami penuruanan di

dalam ekspor kayu, karena masalah pembalakan liar maupun kebijakan

pemerintah.

2. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data

yang telah diolah menjadi suatu informasi. Dalam penelitian ini, data

dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain dari Departemen

kehutanan , jurnal, dan literatur lain yang mendukung.

C. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2008. Data yang

digunakan untuk penelitian adalah data yang berhubungan dengan nilai

ekspor kayu khususnya data-data ekspor kayu olahan di Indonesia, harga

kayu olahan tingkat nasional, luas hutan, kebijakan pemerintah yang

52

menyangkut ekspor kayu gelondongan, dan nilai kurs rupiah terhadap

dolar pada tahun 1985 – 2005.

Alasan yang mendasari peneliti mengambil pada tahun 1985 adalah

pada tahun tersebut nilai ekspor sektor kehutanan indonesia mencapai

puncaknya sehingga dari segi pemasukan negara meyumbang pendapatan

yang besar, sedangkan pada tahun 2005 nilai ekspor indonesia mengalami

penuruanan di dalam ekspor kayu, karena masalah pembalakan liar

maupun kebijakan pemerintah.

D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, antara lain:

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang diduga secara bebas

berpengaruh terhadap variabel dependen, yaitu: harga kayu olahan

tingkat nasional dalam rupiah per kubik (X1), luas hutan dalam juta

hektar (X2), kebijakan ekspor kayu gelondongan (X3), nilai tukar

rupiah terhadap dolar dalam Rp/$ (X4).

2. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

independent. Variabel independent dari penelitian ini adalah ekspor

kayu olahan (Y).

53

E. Teknik Analisis Data

Untuk menjawab rumusan masalah pertama, kedua, ketiga, dan kelima

mempergunakan tehnik analisis data Persamaan Regresi Berganda.

Koefisien persamaan regresi dihitung dengan menggunakan program SPSS.

Pengujian ini dilakukan untuk mengestimasi besarnya hubungan variabel

independent (luas lahan hutan, harga kayu nasional, kebijakan pemerintah

tentang ekspor kayu gelondongan, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar)

terhadap variabel dependen (ekspor kayu). Bentuk model yang digunakan

(Sugiono, 1997):

Y = +++++ 44332211 XXXX ββββα e

Keterangan:

Y = Nilai ekspor kayu olahan α = Konstanta

41 −β = Koefisien regresi e = Kesalahan pengganggu

1. Pengujian Prasyarat Regresi

a. Pengujian Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam

variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Normalitas data dapat

dilihat dengan menggunakan cara nilai skewness, nilai ini digunakan

untuk mengetahui bagaimana distribusi normal data dalam variabel

dengan menilai kemiringan kurva. Nilai baik apabila mendekati angka

nol, Uji normalitas yaitu:

[ ])()( 21 XSnXSnmaksimumd −=

54

Keterangan:

D : Deviasi atau penyimpangan

Sn1 : Distribusi komulatif

Sn2 : Distribusi komulatif dukomentasi

X : Jumlah Variabel

Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan hipotesis sebagai

berikut:

Ho: ρ data normal

Ha: ρ data tidak normal

Kriteria yang digunakan dalam mengetahui normal atau tidaknya data

tersebut sebagai berikut: apabila perhitungan Kolmogorov-Smirnov lebih

besar dari probabilitas ( 05,0:ρ ), maka Ho diterima. Apabila Kolmogorov-

Smirnov lebih kecil dari probabilitas ( 05,0:ρ ), maka Ho ditolak.

b. Pengujian Linieritas

Asumsi linieritas dapat terpenuhi jika nilai residual dan nilai

prediksi tidak menggambarkan satu pola hubungan tertentu atau dengan

kata lain jika menggambarkan suatu hubungan yang acak maka asumsi

linieritas terpenuhi (Sudjana: 1996). Adapun rumusnya yaitu:

2

1

KRKRFreg =

Keterangan:

F : Harga bilangan F untuk garis regresi

KR1 : Harga kuadrat rata-rata garis regresi

55

KR2 : Harga kuadrat residu

Kriteria penerimaan data ini linier atau tidak adalah, apabila Fh

lebih kecil dari level of signifikan ( )α 0,05 maka hubungan data linier.

Sedangkan bila Fh lebih besar dari level of signifikan ( )α 0,05 maka

hubungan tidak linier.

2. Uji Asumsi Klasik

Untuk mendapatkan model regresi yang dapat digunakan untuk

melakukan estimasi, maka dilakukan pengujian mengenai ada tidaknya

penyimpangan terhadap asumsi klasik, yaitu:

a. Uji Multikolinieritas.

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan

antara variabel independent (harga kayu olahan tingkat nasional,

luas hutan, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar). Model regresi

yang baik tidak terjadi multikolinieritas.

( ) InDknx ⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +−−= 52

6112

Keterangan:

n = jumlah penduduk

k = banyak variable bebas

D = nilai determinan korelasi

X2 = perhitungan monokolinieritas

ln = nilai linearitas

56

Kriteria penerimaan dalam analisis uji multikolinieritas,

sebagai berikut:

VIF < 5% tidak terjadi multikolinieritas

VIF > 5% terjadi multikolinieritas

b. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas berarti nilai varians berbeda dari satu

observasi ke observasi lainnya. Model regresi yang baik tidak

terjadi heteroskedastisitas.

( )1

6

21

2

1 −=

∑=

nn

dr

n

t

Keterangan:

r 1 = uji heteroskedastisitas

t dan t-1 = observasi terakhir dan sebelumnya

n = variabel

d 2 = nilai determinan

Kriteria penerimaan dalam analisis uji heteroskedastisitas, sebagai

berikut:

Probabilitas P > 0,05 maka tidak terjadi heteroskedastisitas

Probabilitas P < 0,05 maka terjadi heteroskedastisitas

c. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi dilakukan untuk menguji apakah dalam

sebuah regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu

pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1. Jika terjadi

57

korelasi maka dinamakan ada problem autokorelasi. Model regresi

linier yang baik tidak terjadi autokorelasi.

( )

=

=−−

= n

t

n

tt

e

teDW

2

21

2

211

Keterangan:

e1 = gangguan estimasi

t dan t-1 = observasi terakhir dan sebelumnya

t dan t-2 = nilai observasi

DW = Durbin Watson

Ada tidaknya autokorelasi dalam uji ini dengan dinilai DW, yaitu:

DW Kesimpulan

10,1⟨ Ada autokorelasi

1,10-1,54 Tanpa kesimpulan

1,55-2,46 Tidak ada autokorelasi

2,47-2,90 Tanpa kesimpulan

91,2⟩ Ada autokorelasi

3. Pengujian Hipotesis

Hipotesis adalah suatu anggapan atau pendapat yang diterima

secara tentatip untuk menjelaskan suatu fakta atau yang dipakai

sebagai dasar bagi suatu penelitian. Hipotesis yang dirumuskan

adalah hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternative (Ha). Hipotesis

yang dirumuskan ini disebut hipotesis nol, karena hipotesis ini

58

mempunyai perbedaan nol atau tidak mempunyai perbedaan

dengan hipotesi yang sebenarnya.

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji T-

test. Uji T-test bertujuan untuk menguji signifikansi pengaruh

variabel independent (harga kayu olahan tingkat nasional, luas

hutan, kebijakan pemerintah yang menyangkut ekspor kayu

gelondongan, dan nilai kurs rupiah terhadap dolar) terhadap

variabel dependen (ekspor kayu olahan). Langkah-langkah

pengujian sebagai berikut:

a. Menentukan formulasi Ho dan Ha

1) Harga kayu olahan tingkat nasional

Ho = harga kayu olahan tidak berpengaruh terhadap ekspor

kayu olahan

Ha = harga kayu olahan berpengaruh terhadap ekspor kayu

olahan

2) Luas hutan di Indonesia

Ho = Luas hutan di Indonesia tidak berpengaruh terhadap

ekspor kayu olahan

Ha = Luas hutan di Indonesia berpengaruh terhadap

ekspor kayu olahan

59

3) Kebijakan ekspor kayu gelondongan

Ho = Kebijakan ekspor kayu gelondongan tidak

berpengaruh terhadap ekspor kayu olahan

Ha = Kebijakan ekspor kayu gelondongan berpengaruh

terhadap ekspor kayu olahan

4) Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serikat

Ho = Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serikat tidak

berpengaruh terhadap ekspor kayu olahan

Ha = Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serikat

berpengaruh terhadap ekspor kayu olahan.

b. Menentukan level of significant(α ) = 5% dengan nilai level of

confidance sebesar 95% dengan degree of freedom (df) = n-k

c. Menentukan daerah penerimaan dan penolakan hipotesis.

Kriteria penerimaan yaitu:

Ho tidak dapat ditolak jika = t hitung < (t tabel) tα ;n-k

Ho ditolak jika = t hitung > (t tabel) t α ;n-k

d. Menentukan T hitung dengan rumus:

T hitung = )(biSe

bi

Keterangan:

bi = koefisien regresi variabel independent

Se = standart eror

n = Jumlah pengamatan

60

k = jumlah variabel bebas

e. Menarik kesimpulan dengan cara membandingkan hasil dari T hitung

dan Ttabel, kemudian tentukan daerah penerimaan dan

penolakannya. Apabila Ho ditolak harga kayu olahan tingkat

nasional, luas hutan, kebijakan pemerintah yang menyangkut

ekspor kayu gelondongan, harga kayu olahan tingkat nasional dan

nilai kurs rupiah terhadap dolar berpengaruh dan signifikan

terhadap ekspor kayu olahan.

4. Tehnik Analisis data

Untuk menjawab rumusan masalah keempat ,maka tehnik

analisis data mempergunakan penafsiran dengan variabel

Dummy atau variabel Binary. (Menurut Sumodiningrat, 2002)

Variabel dummy biasanya digunakan dalam penelitian

ekonometri untuk mewakili faktor-faktor kualitatif, seperti: jenis

profesi/pekerjaan, agama, jenis kelamin, wilayah. Pada rumusan

masalah keempat ini, untuk menjelasakan proses analisis regresi

dengan variabel dummy. Pada kebijakan ekspor kayu olahan di

Indonesia dapat digambarkan melalui suatu model regresi

komplit yang terdiri dari dua variabel, yaitu kebijakan ekspor

kayu gelondongan sebagai variabel bebas (X) dan ekspor kayu

olahan sebagai variabel terikat (Y).

61

Dengan demikian, model perhitungan dapat bisa ditulisakan

sebagai berikut: UiCtDtDY ++++= 2211 ββα

Keterangan :

α = Koefisien rata rata kebijakan kayu gelondongan

Yi = Pendapatan negara

C = Konsumsi kayu olahan di dalam negeri

β = Koefisien kemiringan

Di = Kebijakan ekspor kayu olahan

Di = 1, jika kebijakan ekspor kayu gelondongan tidak

berlaku lagi.

Di = 0, jika kebijakan ekspor kayu gelondongan sudah

berlaku.

Ut = taraf kesalahan penganggu variabel dummy

62

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Data

Uji prasyarat analisis harus dilakukan karena akan digunakan sebagai

dasar untuk menentukan langkah selanjutnya yaitu melakukan analisis data,

selain itu juga dimaksudkan sebagai dasar dalam mengambil keputusan agar

tidak menyimpang kebenaran yang seharusnya ditarik.

1. Pengujian Prasyarat Regresi

Sebelum melakukan analisis data, maka terlebih dahulu akan

dilakukan pengujian prasyarat regresi. Hal ini penting untuk dilakukan

untuk meramalkan bagaimana keadaan naik turunnya variabel dependen,

bila dua atau lebih preditor dimanipulasi, maka data-data yang diperlukan

harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu sebagai berikut:

a. Pengujian Normalitas

Tabel IV.1 Pengujian Normalitas Masing-Masing Variabel Penelitian

No. Variabel Asymp

Sig2-tailed α Kesimpulan

1 Harga kayu olahan 0.842 0,05 Normal 2 Luas Hutan 0.276 0,05 Normal 3 Kebijakan ekspor

kayu gelondongan 0.696 0,05 Normal

4 Nilai tukar 0.906 0,05 Normal Sumber:Hasil OLahan Data Primer, 2008

62

63

Table IV.2 Descreptive Statistik

Variabel Mean Std.Deviation N Y Nilai Ekspor kayu olahan 59940.0056 23395.55171 20

X1 Harga kayu olahan 184583.333 34889.84767 20 X2 Luas hutan 19486200.6 7892057.35014 20

X3 Kebijakan eskpor kayu gelondongan

.61 .502 20

X4 Nilai tukar 80.84.7222 4795.48844 20 Sumber:Hasil OLahan Data Primer, 2008

Pengujian normalitas data dalam penelitian ini menggunakan

rumus uji ‘One Sample Kolmogrov”. Pengujian normalitas ini dilakukan

untuk semua data atau variabel penelitian yaitu, sebagai berikut:

1) Harga kayu olahan (X1 )

(a) Dari tabel deskriptif statistik diperoleh, jumlah case (N): 20, Mean

184583.333, Standar devisiasi 34889.84767, dan Asymp Sig2-

tailed 0.842.

(b) Dari hasil pengujian “One Sample Kolmogorov” diperoleh nilai

Asymp Sig2 tailed yaitu 0.842. Jadi probabilitas (sig) > 0,05. Hal

ini berarti data harga kayu olahan normal.

2) Luas hutan (X2)

(a) Dari tabel deskriptif statistik diperoleh, jumlah case (N): 20, Mean

19486200.6, Standar devisiasi 7892057.35014, dan Asymp Sig2-

tailed 0.276.

64

(b) Dari hasil pengujian “One Sample Kolmogorov” diperoleh nilai

Asymp Sig2-tailed yaitu 0.276. Jadi probabilitas (sig) > 0,05. Hal

ini berarti data harga kayu olahan normal.

3) Kebijakan ekspor kayu gelondongan (X3)

(a) Dari tabel deskreptif statistik diperoleh, jumlah case (N): 20, Mean

0.61, Standar devisiasi 0.502, dan Asymp Sig2-tailed 0.696.

(b) Dari hasil pengujian “One Sample Kolmogorov” diperoleh nilai

Asymp Sig2-tailed yaitu 0.696. Jadi probabilitas (sig) > 0,05. Hal

ini berarti data harga kayu olahan normal.

4) Nilai tukar (X4)

(a) Dari tabel deskriptif statistik diperoleh, jumlah case (N): 20, Mean

084.7222, Standar devisiasi 4796.48844, dan Asymp Sig2-tailed

0.906.

(b) Dari hasil pengujian “One Sample Kolmogorov” diperoleh nilai

Asymp Sig2-tailed yaitu 0.906. Jadi probabilitas (sig) > 0,05. Hal

ini berarti data harga kayu olahan normal.

b. Pengujian Linearitas

Uji linieritas digunakan untuk mengetahui kelinieran hubungan

antara variabel bebas dengan variabel terikat. Variabel bebas dan

terikat dikatakan mempunyai hubungan linier apabila kenaikan skor

variabel bebas diikuti oleh kenaikan skor variabel terikat.

65

Hasil pengujian nilai hubungan linier variabel harga kayu olahan,

luas hutan, kebijakan ekspor kayu gelondongan dan nilai tukar

terhadap ekspor kayu olahan di Indonesia tahun 1985 – 2005 secara

lengkap tersaji dalam tabel berikut ini:

Tabel IV.3 Pengujian Linearitas Masing-Masing Variabel Penelitian

No. Variabel Linier df Dev. From

Linier F Tabel

1 Harga kayu olahan

10.290 16 1

442600159.0 4.494

2 Luas Hutan 38.965 16 1

608641184.8 4.494

3 Kebijakan ekspor kayu gelondongan

- - - -

4 Nilai tukar 282.780 16 1

537318727.3 4.494

Sumber:Hasil Olahan Data Primer, 2008

1) Harga kayu olahan (X1)

Dengan nilai ekspor kayu olahan (Y) dari hasil

perhitungan SPSS, diperoleh F hitung sebesar 10.290 dengan

probabilitas 0,05, hasil F hitung dibandingkan dengan F tabel,

dimana 0 < 0,05, nerumator dan denemuarator diperoleh F tabel

4.494. Jadi Fhitung = 10.290 > Ftabel = 4.494 maka Ho ditolak

dan Ha diterima. Sehingga hubungan antara nilai ekpor kayu

olahan dengan harga kayu olahan adalah linear.

66

2) Luas hutan

Dengan nilai ekspor kayu olahan (Y) dari hasil

perhitungan SPSS, diperoleh F hitung sebesar38.965 dengan

probabilitas 0,05, hasil F hitung dibandingkan dengan F tabel,

dimana 0 < 0,05, nerumator dan denemuarator diperoleh F tabel

4.494. Jadi Fhitung = 38.965 > Ftabel = 4.494 maka Ho ditolak dan

Ha diterima. Sehingga hubungan antara nilai ekpor kayu

olahan dengan harga kayu olahan adalah linear.

3) Nilai tukar

Dengan nilai ekspor kayu olahan (Y) dari hasil

perhitungan SPSS, diperoleh F hitung sebesar 282.780 dengan

probabilitas 0,05, hasil F hitung dibandingkan dengan F tabel,

dimana 0 < 0,05, nerumator “ dan denemuarator diperoleh F

tabel 4.494. Jadi Fhitung = 282.780 > Ftabel = 4.494 maka Ho

ditolak dan Ha diterima, sehingga hubungan antara nilai ekspor

kayu olahan dengan harga kayu olahan adalah linear.

67

2. Uji Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik dalam penelitian ini dilakukan dengan

tujuan untuk mendeteksi dan mengetahui ada tidaknya pelanggaran

dan penyimpangan dalam pengujian “Regresi Linear Berganda”.

Pengujian asumsi klasik meliputi :

a. Uji Multikolinieritas

Tabel IV. 4 Rangkuman Hasil Pengujian Multikolinieritas

No Variabel Tolerance VIF 1 Harga kayu olahan 0.296 3.380 2 Luas hutan 0.436 2.294 3 Kebijakan ekspor kayu

gelondongan 0.265 3.776

4 Nilai tukar 0.429 2.332 Sumber:Hasil Olahan Data Primer, 2008

Pengujian Multikolinieritas dilakukan untuk data dari variabel

bebas, yaitu sebagai berikut:

1) Harga kayu olahan (X1)

Dari hasil output “Collinearity statistic” diperoleh VIF

(Variance Inflation Factor) sebesar 3.380 berarti VIF 3.380 < 5 %.

Dengan hasil tersebut maka variabel harga kayu olahan bersifat

“tidak terjadi Multikolinieritas”. Sehingga dapat dikatakan bahwa

harga kayu olahan sebagai variabel bebas tidak mempunyai

hubungan atau tidak ada korelasi dengan variabel lainnya.

68

2) Luas hutan (X2)

Dari hasil output “Collinearity statistic” diperoleh VIF

(Variance Inflation Factor) sebesar 2.294 berarti VIF 2.294 < 5.

Dengan hasil tersebut maka variabel luas hutan bersifat “tidak terjadi

Multikolinieritas”. Sehingga dapat dikatakan bahwa harga kayu

olahan sebagai variabel bebas tidak mempunyai hubungan atau tidak

ada korelasi dengan variabel lainnya.

3) Kebijakan ekspor kayu gelondongan (X3)

Dari hasil output “Collinearity statistic” diperoleh VIF

(Variance Inflation Factor) sebesar 3.776 berarti VIF 3.776 < 5.

Dengan hasil tersebut maka variabel kebijakan ekspor kayu

gelondongan bersifat “tidak terjadi Multikolinieritas”. Sehingga

dapat dikatakan bahwa harga kayu olahan sebagai variabel bebas

tidak mempunyai hubungan atau tidak ada korelasi dengan variabel

lainnya.

69

4) Nilai tukar (X4)

Dari hasil output “Collinearity statistic” diperoleh VIF

(Variance Inflation Factor) sebesar 2.332 berarti VIF 2.332 < 5.

Dengan hasil tersebut maka variabel nilai tukar bersifat “tidak

terjadi Multikolinieritas”. Sehingga dapat dikatakan bahwa harga

kayu olahan sebagai variabel bebas tidak mempunyai hubungan atau

tidak ada korelasi dengan variabel lainnya.

b. Heteroskedastisitas

Pada pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji korelasi

rank dari Spearman (Spearman”s rank Corelations test). Pengujian ini

dilakukan untuk menunjukan bahwa variasi dari variabel tidak sama

untuk setiap pengamatan. Berdasarkan penelitian terhadap nilai

koefisien korelasi (r) diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel IV.5 Rangkuman Hasil Pengujian Heteroskedastisitas

Spearman”s Rho Variabel Coefisien Corelation B (Error Term)

X 1 harga kayu olahan Correlation Coeficient Sig. (2-Tailed) N

.051

.842 20

X2 Luas hutan Correlation Coeficient Sig. (2-Tailed) N

.272

.276 20

X3 Kebijakan ekspor kayu gelondongan

Correlation Coeficient Sig. (2-Tailed) N

.099

.696 20

Spearman”s Rho

X4 Nilai tukar Correlation Coeficient Sig. (2-Tailed) N

.030

.906 20

Sumber:Hasil Olahan Data Primer, 2008

70

Pengujian ini dilakukan untuk semua variabel bebas :

1) Harga kayu olahan (X1) dan residu

Pada output antara (X1) dan residu menghasilkan angka (r) 0.051

dengan probabilitas 0.842. jadi dengan membandingkan probabilitasnya

diperoleh 0.842 > 0,05. Hal ini menunjukan antara harga kayu olahan di

dalam negeri dengan nilai ekspor kayu olahan “tidak terjadi

heteroskedastisitas”.

2) Luas hutan (X2) dan residu

Pada output antara (X1) dan residu menghasilkan angka (r) 0.272

dengan probabilitas 0.276. jadi dengan membandingkan probabilitasnya

diperoleh 0.276 > 0,05. Hal ini menunjukan antara harga kayu olahan di

dalam negeri dengan nilai ekspor kayu olahan “tidak terjadi

heteroskedastisitas”.

3) Kebijakan ekspor kayu gelondongan (X3) dan residu

Pada output antara (X3) dan residu menghasilkan angka (r) 0.099

dengan probabilitas 0.696. jadi dengan membandingkan probabilitasnya

diperoleh 0.696 > 0,05. Hal ini menunjukan antara harga kayu olahan di

dalam negeri dengan nilai ekspor kayu olahan “tidak terjadi

heteroskedastisitas”.

71

4) Nilai tukar (X4) dan residu

Pada output antara (X4) dan residu menghasilkan angka (r) 0.030

dengan probabilitas 0.906. jadi dengan membandingkan probabilitasnya

diperoleh 0.906 > 0,05. Hal ini menunjukan antara harga kayu olahan di

dalam negeri dengan nilai ekspor kayu olahan “tidak terjadi

heteroskedastisitas”.

c. Uji Autokorelasi

Tabel IV.6 Rangkuman Hasil Pengujian Autokorelasi

Model R R Square Adjust R

Square Std.Error of the Estimate

Durbin- Watson

1 .841a .707 .616 14488.29711 2.065 Sumber:Hasil Olahan Data Primer, 2008 a.Predictor Constant), X4 Nilai tukar, X1 Harga kayu olahan, X2 Luas hutan, X3 Kebijakan

ekspor kayu gelondongan (Dummy). b. Depent Variable: Y Nilai ekspor kayu olahan

Berdasarkan hasil analisis pengujian Durbin Watson diperoleh

nilai statistik sebesar 2.065. Adapun pada n = 20, k = 4 dan tingkat

signifikansi 0,05 (α = 5%) Maka dapat dibuat kesimpulan dalam uji

autokorelasi diperoleh Durbin Watson 2.065, maka tidak ada

autokorelasi.

72

3.Uji Statistik

Uji statistik dilakukan berdasarkan pada hasil analisis regresi linier

berganda menggunakan program SPSS Versi 11,0, model persamaan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Y = a +β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4

Keterangan :

Y = Nilai ekspor kayu olahan

a = Konstanta

X1 = Harga kayu olahan

X2 = Luas hutan

X3 = Kebijakan ekspor kayu gelondongan

X4 = Nilai tukar

Uji statistik yang dilakukan meliputi Uji t, Uji F dan uji R2 ( koefisien

determeninasi). Berikut ini merupakan penjelasan masing masing uji statistik

pada penelitian ini:

a. Uji t

Dipergunakan untuk mengetahui apakah variabel independen

secara individual berpengaruh terhadap variabel dependen. Apabila nilai t

hitung > t table berarti Ho ditolak dan Ha diterima sehingga variabel

independen secara individual berpengaruh signifikan terhadap variabel

dependen dan sebaliknya. Jika t hitung < t tabel berarti Ho diterima dan Ha

73

ditolak sehingga variabel independen secara individual tidak berpengaruh

signifikan terhadap variabel dependen. Hasil uji t terhadap model regresi

menggunakan SPSS versi 11.0 dijadikan pada table berikut ini:

Tabel IV.7 Hasil Koefisien Regresi Ganda

Coefficients a

-189064.72 51563.528 -3.667 .003

.839 .185 1.251 4.532 .001 .296 3.380

.002 .001 .620 2.723 .017 .436 2.294

30333.508 13611.715 .650 2.228 .044 .265 3.776

4.922 1.119 1.009 4.400 .001 .429 2.332

(Constant)

X1 Harga kayu olahan

X2 Luas Hutan

X3 Kebijakan ekspor kayugelondongan (Dummy)

X4 Nilai Tukar

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig. Tolerance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: Y Nilai ekspor kayu olahana.

Sumber:Hasil Olahan Data Primer, 2008

Hasil uji t pada tabel di atas akan dijelasakan untuk masing masing variabel

berikut:

1) Harga kayu olahan

Hasil analisis uji t untuk variabel harga kayu olahan nilai signifikansi

sebesar 0.05. Karena tingkat signifikasi 0,05 > tingkat signifikasi t sebesar

0,001 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti bahwa variabel

harga kayu olahan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap nilai

ekspor kayu olahan. Hasil uji t ini mendukung hipotesis penelitian yang

menyatakan bahwa harga kayu olahan berpengaruh terhadap nilai ekspor

kayu olahan.

74

2) Luas hutan

Hasil analisis uji t untuk variabel luas hutan nilai signifikansi sebesar

0.05. Karena tingkat signifikasi 0,05 > tingkat signifikasi t sebesar 0,017

maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti bahwa variabel luas

hutan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor kayu

olahan. Hasil uji t ini mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan

bahwa luas hutan berpengaruh terhadap nilai ekspor kayu olahan.

3) Kebijakan ekspor kayu gelondongan

Hasil analisis uji t untuk variabel kebijakan ekspor kayu gelondongan

nilai signifikansi sebesar 0.05. Karena tingkat signifikasi 0,05 > tingkat

signifikasi t sebesar 0,044 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini

berarti bahwa variabel kebijakan ekspor kayu gelondongan secara parsial

berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor kayu olahan. Hasil uji t ini

mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan kebijakan ekspor kayu

gelondongan berpengaruh terhadap nilai ekspor kayu olahan.

4) Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat

Hasil analisis uji t untuk variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar

Amerika Serikat, nilai signifikansi sebesar 0.05. Karena tingkat signifikasi

0,05 > tingkat signifikasi t sebesar 0,001 maka Ho ditolak dan Ha

diterima. Hal ini berarti bahwa variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar

75

Amerika Serikat secara parsial berpengaruh signifikan terhadap nilai

ekspor kayu olahan. Hasil uji t ini mendukung hipotesis penelitian yang

menyatakan bahwa nilai tukar berpengaruh terhadap nilai ekspor kayu

olahan.

b. Uji F

Uji F digunakan untuk menguji apakah semua variabel independen

berpengaruh secara stimultan terhadap variabel dependen. Apabila nilai

signifikansi F hitung > F tabel berarti Ho ditolak dan Ha diterima sehingga

semua variabel independen secara stimultan berpengaruh signifikan

terhadap variabel dependen dan sebaliknya jika nilai signifikansi F hitung <

F tabel berarti Ho diterima dan Ha ditolak sehingga semua variabel

independen secara simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

variabel dependen. Hasil uji F terhadap model regresi mempergunakan

SPSS versi 11.0, disajikan pada model berikut ini:

Tabel IV.8 Hasil uji F hitung

ANOVAb

6576141645.58 4 1644035411 7.832 .002a

2728839790.65 13 209910753.1

9304981436.23 17

Regression

Residual

Total

Model1

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), X4 Nilai Tukar, X1 Harga kayu olahan, X2 Luas Hutan, X3 Kebijakan ekspor kayu gelondongan (Dummy)

a.

Dependent Variable: Y Nilai ekspor kayu olahanb.

Sumber:Hasil Olahan Data Primer, 2008

76

Berdasarkan pada tabel di atas terlihat bahwa hasil analisis

diperoleh hasil f hitung sebesar 7.832 dengan signifikansi 0,002, karena

nilai hitung 7.832 > F tabel 4.494, maka ho ditolak. Hal ini berarti bahwa

variabel harga kayu olahan, luas lahan, kebijakan ekspor kayu

gelondongan dan nilai tukar berpengaruh terhadap nilai ekspor kayu

olahan.

c. Uji R2

Koefisien determinasi (R2) merupakan suatu alat untuk mengukur

besarnya persentase pengaruh semua variabel independent terhadap

variabel dependen. Besarnya koefisien determinan berkisar antara 0

sampai dengan 1, semakin mendekati 0 besarnya koefisien determinan

suatu persamaan regresi, maka semakin kecil pengaruh semua variabel

independent terhadap variabel dependen. Sebaliknya semakin besar

koefisien determinasi mendekati angka 1, maka semakin besar pula

pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen.

77

Tabel IV.9 Hasil Uji R2

Model Summary b

.841a .707 .616 14488.29711 2.065Model1

R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error ofthe Estimate Durbin-Watson

Predictors: (Constant), X4 Nilai Tukar, X1 Harga kayu olahan, X2 LuasHutan, X3 Kebijakan ekspor kayu gelondongan (Dummy)

a.

Dependent Variable: Y Nilai ekspor kayu olahanb.

Sumber:Hasil Olahan Data Primer, 2008

Hasil uji R2 pada penelitian ini diperoleh nilai R squere sebesar 0.707.

Hal ini menunjukan bahwa pengaruh variabel harga kayu olahan, luas hutan,

kebijakan ekspor kayu gelondongan dan nilai tukar adalah sebesar 70,7 %,

dan sisanya 29,3 % dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak diteliti dalam

penelitian ini, misalnya, terjadinya bencana alam, pembalakan liar, alih fungsi

hutan.

78

B. Pembahasan 1. Perkembangan Ekspor Kayu Olahan di Indonesia Tahun 1985 – 2005

Ekspor kayu olahan merupakan salah satu sumber pendapatan negara,

sejak tahun 1985, usaha pemerintah untuk meningkatkan ekspor kayu

menunjukan peningkatan bagi pendapatan negara. Data dari Departemen

Kehutanan pada tahun 1990 - 2001 perkembangan ekspor kayu olahan

menunjukan kenaikan ekspor kayu olahan, misalnya pada tahun 1991, volume

ekspor kayu olahan mencapai 8,97 juta per m3, dengan nilai devisa sebesar

3,17 miliar US$, dan nilai rata-rata volume ekspor sebesar 352,86 Miliar US$.

Dibandingkan pada tahun 1990, volume ekspor kayu olahan mencapai 8,51

juta per m3, dengan nilai devisa sebesar 3,02 miliar US$, dan nilai rata-rata

volume ekspor sebesar 355,19 Miliar US$.

Peningkatan ekspor kayu olahan ini didukung oleh beberapa alasan,

pertama, dari segi peraturan pemerintah memberikan kebebasan bagi para

eksportir kayu untuk mengekspor berupa kayu olahan maupun kayu

gelondongan sehingga terjadi peningkatan volume ekspor kayu olahan

maupun gelondongan. Kedua, potensi sumber daya alam berupa hutan yang

pada tahun 1985 – 1990 mencapai 97,85 Juta Hektar, yang mendukung

perkembangan ekspor kayu olahan dan gelondongan.

79

Data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan tahun 1990 – 2001,

perkembangan ekspor kayu olahan di Indonesia menunjukan adanya

penurunan volume ekspor kayu olahan, misalnya pada tahun 1990, volume

ekspor kayu olahan mencapai 8,51 juta per m3, dengan nilai devisa sebesar

3,02 miliar US$, dan nilai rata-rata volume ekspor sebesar 355,19 Miliar US$.

Sedangkan pada tahun 1998, volume ekspor kayu olahan di Indonesia

cenderung mengalami penurunan dibandingkan tahun 1990, volume ekspor

tahun 1998, sebesar 8,04 juta per m3, dengan nilai devisa sebesar 2,49 miliar

US$, dan nilai rata-rata volume ekspor sebesar 309,08.

Penurunan ekspor kayu olahan di Indonesia pada tahun 1990 sampai

tahun 1998 pada umumnya disebabkan oleh faktor alam, yaitu semakin

berkurangnya luas hutan di Indonesia yang secara langsung berdampak bagi

penurunan ekspor kayu olahan khusunya penurunan produksi kayu olahan,

dan kurang tegasnya pemerintah terhadap para pengusaha kayu yang memiliki

Hak Penggunaan Hutan (HPH) yang sering menyalahgunakan kebebasan yang

diberikan oleh pemerintah. Secara lengkap data perkembangan eksor kayu

olahan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

80

Tabel IV.10 Perkembangan Ekspor Kayu Olahan Indonesia

Tahun  Volume 

(juta m3) 

Nilai 

(Miliar US$) 

Rata‐rata 

(Milliar US$) 

1985 10,1 5,04 400,10 1986 10,0 5,02 398,20 1987 9,85 5,00 397,12 1988 9,82 4,89 345,30 1989 9,52 4,45 350,10 1990 8,51 3,02 355,19 1991 8,97 3,17 352,86 1992 9,78 3,56 363,61 1993 9,71 4,59 472,48 1994 8,92 4,03 452,67 1995 8,75 3,89 444,19 1996 8,57 4,03 469,92 1997 8,35 3,89 465,41 1998 8,04 2,49 309,08 1999 7,77 2,7 348,19 2000 6,97 2,42 346,95 2001 6,01 1,50 345,02 2002 5,96 1,49 344,01 2003 5,95 1,48 343,20 2004 5,93 1,47 343,15 2005 5,92 1,44 341,20

Sumber: Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) , 2002

Berdasarkan pada uraian di atas maka ketegasan pemerintah sangat

diperlukan agar volume ekspor kayu olahan dapat ditingkatkan dengan

membuat kebijakan yang tegas bagi para penerima izin pengelola hutan yang

melakukan pelanggaran, misalnya dengan pencabutan izin penggeloaaan

hutan.

81

2. Pengaruh Harga Kayu Olahan Tingkat Nasional Terhadap Nilai Ekspor Kayu Olahan di Indonesia Tahun 1985 – 2005

Hipotesis pertama menyatakan bahwa harga kayu olahan tingkat

nasional berpengaruh terhadap nilai ekspor kayu olahan di Indonesia tahun

1985-2005. Dalam hipotesis di atas dinyatakan bahwa pada saat harga kayu

olahan tingkat nasional tinggi maka akan mendorong ekspor kayu olahan.

Hasil analisis uji t untuk variabel harga kayu olahan nilai signifikansi

sebesar 0.05. Karena tingkat signifikasi 0,05 > tingkat signifikasi t sebesar

0,001 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti bahwa variabel harga

kayu olahan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor kayu

olahan. Hasil uji t ini mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan

bahwa harga kayu olahan berpengaruh terhadap nilai ekspor kayu olahan.

Dalam kenyataannya yang terjadi adalah pada saat harga kayu olahan di

dalam negeri tinggi maka ekspor kayu olahan mengalami peningkatan, hal ini

dapat terlihat di dalam tabel berikut ini:

82

Tabel IV.11 Harga Kayu Olahan Tingkat Nasional

Sumber : Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO), 2007

Berdasarkan pada data di atas nilai ekspor kayu olahan cenderung

mengalami kenaikan pada saat harga kayu olahan di dalam negeri

mengalami kenaikan, hal ini dapat terlihat pada tahun 1990 nilai harga kayu

olahan tingkat nasional sebesar Rp.173500, volume ekspor kayu olahan

sebesar 8,51 Juta per M3. Hal ini dapat terjadi, karena rupiah terdepresiasi

sehingga akan mendorong para eksportir karena harga kayu olahan di dalam

negeri akan lebih murah jika dibeli oleh luar negeri dengan mata uang asing,

misalnya dalam dolar Amerika Serikat. Dengan mahalnya harga kayu olahan

di luar negeri maka akan meningkatkan pendapatan negara yang melakukan

ekspor berupa devisa.

Tahun Harga kayu olahan Tingkat nasional (Rp)

Volume ekspor ( Juta M3)

Nilai (Miliar US$)

1985 170000 10,1 400,10 1986 140000 10,0 398,20 1987 171000 9,85 397,12 1988 172000 9,82 345,30 1989 174000 9,52 350,10 1990 173500 8,51 355,19 1991 173000 8,97 352,86 1992 174000 9,78 363,61 1993 179000 9,71 472,48 1994 174500 8,92 452,67 1995 175000 8,75 444,19 1996 100000 8,57 469,92 1997 170000 8,35 465,41 1998 180000 8,04 309,08 1999 180000 7,77 348,19 2000 200000 6,97 346,95 2001 210000 6,01 345,02 2002 220000 5,96 344,01 2003 230000 5,95 343,20 2004 235000 5,93 343,15 2005 245000 5,92 341,20

83

Berdasarkan pada tabel di atas, setiap tahun volume ekspor kayu

olahan cenderung mengalami penurunan, misalnya pada tahun 1999 harga

kayu olahan tingkat nasional sebesar Rp180.000, volume ekspor kayu olahan

sebesar 7,77 juta per m3 dengan nilai ekspor kayu olahan sebesar 348,18

miliar US$, dan pada tahun 2000 harga kayu olahan nasional sebesar

Rp200.000, volume ekspor kayu olahan sebesar 6,97 juta per m3 dengan

nilai ekspor kayu olahan sebesar 346,95 miliar US$

Harga kayu olahan tingkat nasional mempengaruhi besarnya nilai

ekspor kayu olahan, sehingga peran pemerintah di dalam menjaga kestabilan

harga kayu olahan sangat diperlukan agar nilai ekspor tetap mengalami

kenaikan dengan cara melakukan pengawasan terhadap ketersediaan kayu

olahan di pasar dalam negeri, baik dari segi permintaan maupun penawaran

kayu olahan di dalam negeri.

3. Pengaruh Luas Hutan Terhadap Ekspor Kayu Olahan di Indonesia Tahun 1985 – 2005

Hipotesis kedua menyatakan bahwa luas hutan berpengaruh terhadap

nilai ekspor kayu olahan di Indonesia tahun 1985-2005. Dalam hipotesis di

atas dinyatakan bahwa pada waktu kondisi hutan di Indonesia masih luas,

maka akan mendorong ekspor kayu olahan. Dalam kenyataannya yang terjadi

adalah semakin luas hutan di Indonesia maka nilai ekspor kayu olahan juga

mengalami peningkatan, dan sebaliknya semakin sempit luas hutan

84

di Indonesia maka nilai ekspor kayu olahan di Indonesia akan mengalami

penurunan.

Hasil analisis uji t untuk variabel luas hutan nilai signifikansi sebesar

0.05. Karena tingkat signifikasi 0,05 > tingkat signifikasi t sebesar 0,017

maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti bahwa variabel harga kayu

olahan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor kayu

olahan. Hasil uji t ini mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan

bahwa luas hutan berpengaruh positif terhadap nilai ekspor kayu olahan.

Berdasarkan pada data di bawah ini, semakin luas dan sempitnya hutan di

Indonesia maka akan mempengaruhi nilai ekspor kayu olahan di Indonesia.

Tabel IV.12

Data Luas Hutan Di Indonesia

Tahun Jumlah luas hutan (Juta Hektar)

Nilai ekspor kayu (Juta M3)

1985 24.905.400 10,1

1986 30.407.500 10,0

1987 30.407.500 9,85

1988 37.884.400 9,82

1989 29.365.400 9,52

1990 20.367.000 8,51

1991 18.205.300 8,97

1992 19.317.500 9,78

1993 17.090.200 9,71

1994 18.998.300 8,92

1995 16.035.200 8,75

1996 10.643.600 8,57

1997 15.345.000 8,35

1998 16.459.200 8,04

1999 17.539.400 7,77

2000 15.466.300 6,97 2001 13.422.410 6,01

85

Tahun Jumlah luas hutan (Juta Hektar)

Nilai ekspor kayu (Juta M3)

2002 12.110.000 5,96 2003 12.120.000 5,95 2004 11.950.000 5,93 2005 10.534.000 5,92

Sumber: Dephut, 2007

Hal yang menyebabkan semakin berkurangnya luas hutan di Indonesia

karena pertama, terjadinya alih fungsi kegunaan hutan di Indonesia, misalnya,

di daerah Kalimantan Timur, terjadinya perpindahan fungsi hutan lindung,

sebagai daerah resapan air dan penahan tanah longsor menjadi kawasan

industri, hal ini menyebabkan berkurangnya luas hutan di Indonesia.

Pembukaan hutan dilakukan oleh penduduk lokal dan para pekerja konsesi

atas permintaan perusahaan dan di bawah pengawasan mereka. Perusahaan

menyediakan peralatan yang diperlukan dan benih untuk menanami

perkebunan kelapa sawit. Contoh lain dari alih fungsi hutan, di daerah

Sumatera, lahan hutan berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, satu

unit perkebunan kelapa sawit milik perusahaan konsesi kemudian akan

meminta izin resmi untuk membudidayakan kelapa sawit di kawasan tersebut.

Kedua, terjadinya pembalakan liar secara luas dan sistematis di banyak

wilayah Indonesia seperti di Kalimantan, pembalakan liar ini memasok sekitar

50 sampai 70 persen kebutuhan kayu Indonesia. Pembalakan liar dilakukan

oleh suatu bisnis kegiatan kriminal yang dikelola dengan baik dan memiliki

pendukung yang kuat dan suatu jaringan kerja yang sangat ekstensif, sangat

86

mantap dan kokoh sehingga sulit ditolak, diancam, dan sebenarnya secara

fisik mengancam otoritas penegakan hukum kehutanan. Dengan adanya

pembalakan liar, akan mengurangi luas hutan di Indonesia, dan akibatnya

akan mempengaruhi produksi kayu olahan dan nilai ekspor kayu olahan di

Indonesia.

Pemerintah hendaknya dapat menggalakkan program reboisasi atau

penghijauan, karena kawasan hutan memiliki daya jual berupa sumber daya

alam yaitu kayu yang berfungsi sebagai sumber pendapatan negara (devisa),

dan berfungsi sebagai hutan lindung.

4. Pengaruh Kebijakan Ekspor Kayu Gelondongan Terhadap Ekspor Kayu Olahan di Indonesia Tahun 1985 – 2005

Hipotesis ketiga menyatakan bahwa kebijakan ekspor kayu gelondongan

berpengaruh terhadap nilai ekspor kayu olahan di Indonesia tahun 1985-2005.

Dalam hipotesis di atas dinyatakan bahwa penerapan kebijakan ekspor kayu

gelondongan mempengaruhi ekspor kayu olahan. Dalam kenyataanya

kebijakan pelarangan ekspor kayu gelondongan berpengaruh terhadap nilai

ekspor kayu olahan.

Hasil analisis uji t untuk variabel kebijakan ekspor kayu gelondongan

nilai signifikansi sebesar 0.05. Karena tingkat signifikasi 0,05 > tingkat

signifikasi t sebesar 0,044 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti

bahwa variabel kebijakan ekspor kayu gelondongan secara parsial

berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor kayu olahan. Hasil uji t ini

87

mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan kebijakan ekspor kayu

gelondongan berpengaruh positif terhadap nilai ekspor kayu olahan.

Berdasarakan pada data di bawah ini, dengan adanya penetapan kebijakan

ekspor kayu gelondongan maka ekspor kayu gelondongan dapat ditekan atau

dikurangi sehingga ekspor kayu non gelondongan dapat ditingkatkan, dengan

tujuan untuk menambah devisa negara.

Tabel IV.13 Volume Ekspor Kayu Gelondongan

Tahun  Volume Ekspor Juta  M3 

1985 600,01 1986 598,39 1987 589,82 1988 588,92 1989 572,79 1990 570,25 1991 568,29 1992 560,70 1993 555,92 1994 582,20 1995 475,18 1996 480,25 1997 490,13 1998 365,15 1999 356,20 2000 355,19 2001 352,86 2002 343,61 2003 342,72 2004 340,80 2005 339,72

Sumber:Dephut, 2007

Dari tabel di atas terlihat bahwa kebijakan ekspor kayu gelondongan mulai

berlaku sejak tahun 1998, maka nilai ekspor kayu gelondongan mengalami

penurunan, misalnya pada tahun 1995, nilai ekspor kayu gelondongan sebesar

475,18 juta per m3, dan pada tahun 1998 sebesar 365,15 juta m3.

88

Hal ini dapat terjadi karena penerapan kebijakan ekspor kayu gelondongan

akan banyak membantu perusahaan - perusahaan mendapatkan bahan baku

kayu gelondongan di mana pasokan kayu gelondongan akan stabil, dan harga

kayu gelondongan akan stabil di pasar dalam negeri, maka akan mendorong

meningkatnya nilai ekspor kayu olahan.

Situasi ini menjadikan industri pengolahan kayu dalam negeri bekerja

seefisien mungkin dengan diterapkannya pelarangan ekspor kayu

gelondongan, sehingga produk yang dihasilkannya mampu bersaing karena

akan menimbulkan persaingan antar industri untuk mendapatkan bahan baku

kayu gelondongan.

Esensi dari kebijakan pelarangan ekspor kayu gelondongan diharapkan

dapat meningkatan pendapatan dari sektor kehutanan sebagai upaya

peningkatan pendapatan pemerintah, hasil hutan tersebut sangat terkait dengan

semakin terbatasnya pasokan bahan baku kayu dari hutan produksi alam.

Berdasarkan pada penjelasan di atas terlihat bahwa penerapan kebijakan

ekspor kayu gelondongan mempunyai dampak yang sangat positif, yaitu

mendorong ekspor kayu olahan .

89

5. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat Terhadap Ekspor Kayu Olahan di Indonesia Tahun 1985 – 2005

Hipotesis keempat menyatakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar

Amerika Serikat berpengaruh terhadap nilai ekspor kayu olahan di Indonesia

tahun 1985-2005. Dalam hipotesis di atas dinyatakan bahwa nilai tukar

rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tahun 1985-2005, mempengaruhi

ekspor kayu olahan. Dalam kenyataanya nilai tukar rupiah terhadap dolar

Amerika Serikat berpengaruh terhadap ekspor kayu olahan di Indonesia.

Hasil analisis uji t untuk variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar

Amerika Serikat, nilai signifikansi sebesar 0.05. Karena tingkat signifikasi

0,05 > tingkat signifikasi t sebesar 0,001 maka Ho ditolak dan Ha diterima.

Hal ini berarti bahwa variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika

Serikat secara parsial berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor kayu

olahan. Hasil uji t ini mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan

bahwa nilai tukar berpengaruh terhadap berpengaruh terhadap nilai ekspor

kayu olahan.

Hal ini dapat terjadi karena campur tangan pemerintah di dalam penentuan

nilai kurs, di mana pemerintah dan bank sentral dapat menetapkan kebijakan

nilai tukar yang sesuai kebutuhan pasar. Misalnya, penerapan kebijakan nilai

tukar mengambang pada saat depresiasi (penurunan harga dalam valuta

domestik dari valuta luar negeri sesuai dengan mekanisme pasar).

90

Pada saat depresiasi (penurunan harga dalam valuta domestik dari valuta

luar negeri) maka akan menyebabkan nilai ekspor naik dan menurunkan

impor, hal ini dapat terjadi karena harga kayu olahan di dalam negeri menjadi

lebih murah bila dibeli oleh pihak luar negeri dengan mata uang asing,

misalnya; nilai kayu olahan di dalam negeri Rp10.000,00 per meter kubik dan

nilai kayu olahan di luar negeri Rp15.000,00 per meter kubik, maka akan

menaikan ekspor kayu olahan di dalam negeri, hal ini dapat terjadi karena

produsen kayu olahan lebih memilih mengekspor ke luar negeri karena akan

mendapatkan devisa yang lebih tinggi dibandingkan dengan melakukan

impor. Berdasarkan pada uraian di atas, maka depresiasi nilai tukar rupiah

terhadap dolar Amerika Serikat mempengaruhi ekspor kayu olahan.

Pengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dapat dilihat dalam

tabel di bawah ini;

Tabel IV. 14 Nilai Ekspor Kayu Olahan Terhadap Nilai Tukar US Dolar

Tahun Volume (juta m3) Nilai tukar Rp Terhadap

Dolar AS

1985 10,10 3110 1986 10,00 3425 1987 9,85 3425 1988 9,82 3810 1989 9,52 3750 1990 8,51 3725 1991 8,97 3720 1992 9,78 3500 1993 9,71 3850 1994 8,92 12675 1995 8,75 15350 1996 8,57 16500 1997 8,75 16750 1998 8,04 16300 1999 7,77 16320

91

Tahun Volume (juta m3) Nilai tukar Rp Terhadap

Dolar AS

2000 6,97 9290 2001 6,01 8940 2002 5,96 8465 2003 5,95 9150 2004 5,93 9595 2005 5,92 10400

Sumber: Deperindag, 2007

Berdasarkan pada data di atas, dapat digambarkan bahwa pengaruh nilai

tukar rupiah terhadap dolar mempengaruhi ekspor kayu olahan, misalnya pada

tahun 1996, volume ekspor kayu olahan sebesar 8,57 juta per m3, dengan

nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp16.500, sedangkan pada tahun

1997, volume ekspor sebesar 8,75 per m3, dengan nilai tukar terhadap dolar

Rp 16750.

Pemerintah bersama dengan Bank Sentral, hendaknya dapat menstabilkan

nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dengan cara

menjaga tingkat inflasi, kondisi sosial dan politik di suatu negara, agar nilai

ekspor kayu olahan dapat meningkat dan disatu sisi juga tidak menjadi beban

pemerintah yang masih mengimpor komoditi dari luar negeri.

92

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil analisis data penelitian yang telah

diuraikan pada bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. Ekpor kayu olahan merupakan sumber pendapatan negara

sejak tahun 1985, karena pada tahun 1985 produksi kayu

di Indonesia sangat melimpah baik itu kayu gelondongan

maupun kayu olahan. Namun seiring dengan berjalannya

waktu, nilai ekspor kayu di Indonesia mulai menurun.

Penurunan nilai ekspor kayu di Indonesia pada umumnya

disebabkan oleh faktor-faktor seperti semakin

berkurangnya luas hutan di Indonesia yang disebabkan

oleh masalah-masalah seperti konversi hutan ke non hutan

yang dapat berdampak langsung pada penurunan produksi

kayu, dan masalah ilegal loging yang dilakukan secara

membabibuta oleh orang-orang yang tidak bertanggung

jawab dan kurang tegasnya pemerintah terhadap para

pengusaha kayu yang memiliki hak penggunaan hutan

yang sering menyalah gunakan kebebasan yang diberikan

92

93

oleh pemerintah. Maka ketegasan dari pemerintah sangat

diperlukan agar nilai ekspor kayu olahan dapat

ditingkatkan lagi dengan membuat kebijakan yang tegas

bagi para penerima izin pengelolaan hutan yang

melakukan pelanggaran, misalnya dengan pencabutan izin

pengelolaan hutan.

2. Dari analisis data menunjukan tingkat signifikansi

sebesar 0,05 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat

signifikansi sebesar 0,001, berarti harga kayu olahan

mempengaruhi nilai ekspor kayu olahan, sehingga harga

kayu olahan berpengaruh atau searah dengan nilai

ekspor kayu olahan. Pada saat harga kayu olahan naik

maka nilai ekspor juga mengalami kenaikan.

3. Dari analisis data menunjukan tingkat signifikansi

sebesar 0,05 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat

signifikansi sebesar 0,017, berarti luas hutan

mempengaruhi nilai ekspor kayu olahan, sehingga luas

hutan berpengaruh atau searah dengan nilai ekspor kayu

olahan. Pada saat luas hutan mengalami penyempitan

maka nilai ekspor kayu olahan juga mengalami

penurunan.

94

4. Dari analisis data menunjukan tingkat signifikansi

sebesar 0,05 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat

signifikansi sebesar 0,044, berarti kebijakan pelarangan

ekspor kayu gelondongan mempengaruhi nilai ekspor

kayu olahan, sehingga kebijakan pelarangan ekspor kayu

gelondongan berpengaruh atau searah dengan nilai

ekspor kayu olahan, pada saat pemberlakuaan pelarangan

ekspor kayu gelondongan maka nilai ekspor kayu

gelondongan mengalami penurunan sedangkan ekspor

kayu olahan mengalami kenaikan.

5. Dari analisis data menunjukan tingkat signifikansi

sebesar 0,05 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat

signifikansi sebesar 0,001, berarti nilai tukar rupiah

terhadap dolar Amerika Serikat mempengaruhi nilai

ekspor kayu olahan, sehingga nilai tukar rupiah terhadap

dolar Amerika Serikat berpengaruh atau searah dengan

nilai ekspor kayu olahan, pada saat nilai tukar rupiah

terhadap dolar Amerika Serikat naik maka nilai ekspor

kayu olahan juga mengalami kenaikan.

95

A. Saran

Ekspor kayu olahan merupakan salah satu sumber devisa

negara, karena Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang

melimpah, khusunya dari sektor kehutanan, maka hal yang perlu

diperhatikan oleh negara adalah:

1. Pemerintah hendaknya dapat menjaga kestabilan harga

kayu olahan di dalam negeri, dengan melakukan

pengawasan terhadap ketersediaan kayu olahan di pasar

dalam negeri, baik dari segi permintaan maupun penawaran

kayu olahan di dalam negeri.

2. Pemerintah hendaknya dapat menggalakkan program

reboisasi atau penghijauan, karena kawasan hutan memiliki

daya jual berupa sumber daya alam yaitu kayu yang

berfungsi sebagai sumber pendapatan negara (devisa), dan

berfungsi sebagai hutan lindung.

3. Pemerintah hendaknya dapat mempertahankan dan

memperketat pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor

kayu gelondongan, karena dengan adanya kebijakan

pelarangan ekspor kayu gelondongan dapat menekan atau

mengurangi nilai ekspor kayu gelondongan sehingga dapat

96

meningkatkan ekspor kayu olahan, dan membantu

perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan bahan baku

kayu gelondongan di mana pasokan kayu gelondongan dan

harga kayu gelondongan akan stabil di pasar dalam negeri.

4. Pemerintah bersama dengan Bank Sentral, hendaknya

dapat menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar

Amerika Serikat dengan cara menjaga tingkat inflasi,

kondisi sosial dan politik di Indonesia, agar nilai ekspor

kayu olahan dapat meningkat dan disatu sisi juga tidak

menjadi beban pemerintah yang masih mengimpor

komoditi dari luar negeri.

LAMPIRAN


Recommended