Post on 16-Oct-2021
transcript
Manajemen Risiko Bank : Korelasi Faktor Internal dan Eksternal terhadap Aset Bank
Central Asia (BCA) 2010-2017
Bank Risk Management : Correlation of Internal and External Factors towards the Effect to Bank
Central Asia (BCA) Assets 2010 - 2017
Putri Dinah Husna Raswandi1), Prof. Dr. Candra Fajri Ananda, SE., M.Sc.2)
Jurusan Ekonomi Pembangunan, Universitas Brawijaya
Jl. Mayjen Haryono 167, Malang 65145, Indonesia
E-mail: email1@ti.ub.ac.id1), email2@ti.ub.ac.id2), email3@ti.ub.ac.id3)
ABSTRAK
Penelitian dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh kinerja bank, yang ditentukan oleh seberapa baik bank
dalam mengelola dananya sehingga dapat memperoleh laba maksimal. Dalam mengelola dana mereka harus
mendapatkan laba, itu bisa dilihat melalui indikator tingkat kesehatan yang akan menentukan kinerja bank dalam
memperoleh laba maksimal. Indikator-indikator ini adalah Non-Performing Loans (NPL), Loan to Deposit Ratio
(LDR), Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) dan Kurs, sedangkan untuk laba diukur dengan Return on
Asset (ROA). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Non-Performing Loans (NPL), Loan to Deposit (LDR),
Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO), Kurs terhadap Return on Assets (ROA) di Bank Central Asia
untuk periode 2010 - 2017 , baik secara parsial maupun simultan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan jenis penelitian asosiatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data Laporan Keuangan
Publikasi triwulanan Bank Sentral untuk periode 2010 - 2017. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah regresi linier berganda dengan memenuhi uji asumsi klasik, pengujian hipotesis, dan uji koefisien determinasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial Nilai Tukar berpengaruh positif signifikan terhadap Return on
Asset (ROA) Bank Central Asia. Non-Performing Loans (NPL) berpengaruh negatif signifikan terhadap Return on
Asset (ROA) Bank Central. Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return on Asset
(ROA) Bank Central Asia. Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap Return on Asset (ROA) Bank Sentral Asia. Nilai R Square sebesar 0.779456. menunjukkan bahwa kemampuan
variabel dependen yaitu kurs, Non-Performing Loans, Loan to Deposit Ratio dan Biaya Operasioanal Pendapatan
Operasional terhadap Return on Asset (ROA) Bank Central Asia sebesar 77.94% sisanya dipengaruhi oleh variabel
lain yang tidak diteliti.
Kata kunci: obyek penelitian, masalah, tujuan, metodologi
1. Pendahuluan
Bank adalah salah satu komponen penting
dalam keuangan suatu negara. Fungsi vitalnya dapat
menjadi dasar dalam memenuhi kebutuhan
pembangunan. Karena alasan ini, bagian ini akan
menjelaskan manfaat lembaga ini dalam
menjelaskan masalah yang ada.
Pendapatan pemerintah adalah kombinasi dari
pendapatan pajak, pendapatan bukan pajak dan
pendapatan hibah. Jika disetujui oleh pemerintah
tidak dapat disetujui, maka undurkan uang ini untuk
mengatasi defisit. Pemerintah membutuhkan dana
lain di luar pendapatannya untuk memenuhi
kebutuhan anggaran tahunan. Tabel di bawah ini
menggambarkan kondisi yang dialami Indonesia di
era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dari 2014
hingga 2019. Defisit dalam enam tahun terakhir
telah mempersulit pemerintah untuk menjalankan
fungsinya demi meningkatkan kesejahteraan
masyarakat untuk dilaksanakan. program yang
dijanjikan pada awal kampanye Presiden.
Tabel 1 Postur Anggaran Negara Indonesia (dalam
Triliun Rupiah)
Year Government
Revenue
State
Expenditure
Deficit
2019 2165.1 2461.1 296
2018 1894.7 2220.7 325.9
2017 1750.3 2080.5 330.2
2016 1822.5 2095.7 273.2
2015 1761.6 1984.1 222.5
2014 1667.1 1842.4 175.3
Defisit anggaran ini kemudian ditutupi oleh
hutang atau pengurangan pembiayaan investasi
negara. Alternatif lain selain meminjam dari bank
domestik adalah menjual surat berharga atau
memutuskan untuk meminjam uang dari luar negeri.
Semakin besar hutang akan membebani pembiayaan
yang mencakup bunga dengan perhitungan
tambahan nilai waktu di masa depan, pemerintah
akan memprioritaskan pinjaman berbunga terendah
dan akan lebih baik jika bank meminjamkan
pendapatan uang dari bank domestik, karena
manfaatnya memiliki pengganda berpengaruh pada
pertumbuhan domestik daripada meminjam uang
dari luar negeri. Namun, pada kenyataannya, bank
domestik Indonesia tidak dapat meminjamkan uang
mereka karena tingginya permintaan kredit di
masyarakat yang membutuhkan sejumlah besar
dana, sehingga tidak ada banyak dana cadangan
yang dapat dipinjamkan ke lembaga.
Dalam Tabel 1.2, dapat dilihat bahwa pada
tahun 2015 uang yang dipinjam dari dana asing jauh
lebih besar daripada bank domestik, tetapi ada
perubahan drastis pada tahun 2016. Situasi ini
menunjukkan bahwa kebutuhan keuangan Indonesia
dari pinjaman luar negeri sangat tidak terduga,
karena pada umumnya angka pada 2015 pemerintah
mampu secara dramatis mengubah kondisi pinjaman
harus sangat sedikit dari jumlah pada 2016.
Table 1 State Deficit Financing (in Trillion Rupiah)
Source: APBN 2014 – 2017 Kementrian Keuangan
Republik Indonesia
Menjual sekuritas kepada publik dan
mengurangi investasi pemerintah adalah strategi
yang sangat baik untuk menutupi defisit negara.
Dapat dicatat bahwa dana yang dikumpulkan pada
tahun 2017 dari surat berharga mencapai 0,4 Triliun
rupiah dan pada tahun 2014 mencapai 205 triliun
rupiah meskipun jumlah pinjaman yang dikirim ke
luar negeri tetap lebih besar daripada yang
disediakan di negara ini. Dari sudut pandang lain,
terlihat bahwa sejak 2014 dan 2017 pinjaman dalam
negeri tidak pernah melebihi 5 triliun rupiah,
meskipun mengandalkan sekuritas kami masih
sangat tergantung pada dana asing, bank lokal tidak
dapat menjadi fondasi yang kuat untuk mencapai
stabilitas keuangan.
Tingkat loan to deposit ratio (LDR) di bank
sangat mempengaruhi perkembangan di Indonesia.
Semakin sedikit LDR diterima oleh masyarakat,
perusahaan, atau lembaga non-pemerintah. Semakin
besar porsi pemerintah tergantung pada kredit dalam
negeri untuk menjalankan berbagai program
pembangunan juga menggambarkan perlunya dana
kebutuhan pemerintah. Semakin besar Rasio
Pinjaman terhadap Deposito menunjukkan bahwa
rasio antara pinjaman yang dikonsumsi oleh publik
lebih besar dari jumlah dana pihak ketiga yang
dikumpulkan oleh bank. Lalu, bagaimana kita bisa
mengurangi jumlah persentase LDR di pasar
domestik? Itu adalah dengan memiliki dana pihak
ketiga yang lebih besar dari pinjaman yang diberikan
kepada peminjam.
Rasio pinjaman terhadap simpanan bank
umum cukup tinggi berkisar antara 85% -90% pada
tahun 2017, mengurangi bagian bagi pemerintah
untuk meminjam hanya sekitar 15% - 10% dari dana
yang dapat dipinjamkan. Data ini juga
menggambarkan bahwa Bank Patungan dan Bank
Milik Asing bahkan mencapai rasio lebih dari 100%.
Kondisi ini menggambarkan kebutuhan kredit di
pasar masih tinggi dibandingkan dengan
kemampuan bank untuk mencapai permintaan
maksimum dan berdampak pada bisnis bank untuk
menjadi tidak efisien untuk pasar. Ini akan
memperlambat perkembangan ekonomi, termasuk
pertumbuhan sektor swasta untuk memperluas bisnis
mereka dan mengurangi pendapatan pajak dari
bisnis domestik. Salah satu faktor utama yang
mendorong ekspor suatu negara adalah dengan
memiliki modal yang kuat, membuat peluang para
pelaku ekonomi sulit bersaing di pasar internasional.
Tabel 1.3 menggambarkan bahwa aset bank
terbesar di Indonesia pada tahun 2018 tidak dapat
bersaing dengan bank terbesar di Singapura,
Malaysia, dan Thailand, yang populasinya lebih
sedikit dibandingkan dengan Indonesia. Ini adalah
studi yang menarik untuk diperdalam; mencari tahu
faktor apa yang dapat mempengaruhi bank untuk
memiliki aset yang lebih besar.
Table 3 Largest Southeast Asian Bank by Total Asset 2018
Rank Bank Name Country Assets
(US$ billion)
1 DBS Bank Singapore 404.1
2 OCBC Bank Singapore 351.2
3 United Overseas Bank
Singapore 277.99
4 Maybank Malaysia 189.1
5 CIMB Malaysia 125.3
6 Public Bank Berhad
Malaysia 102.9
7 Bangkok Bank
Thailand 101.5
8 Siam Commercial Bank
Thailand 97.7
9 Kasikorn bank
Thailand 95.8
10 Krung Thai Bank
Thailand 92.3
11 Bank Mandiri Indonesia 81.2
12 Bank Rakyat Indonesia
Indonesia 81.1
13 RHB Bank Malaysia 56.9
14 Bank Central Asia
Indonesia 55.3
Year Budget
Deficit
Domestic
Bank
Non-
Domestic
Bank
Foreign
Financing
2016 273.2 5.5 267.3 (0.4)
2015 222.5 4.8 237.7 (20)
15 Bank Development of Vietnam
Vietnam 53.8
Source: Forbes, 2018
Bukan bank aset terbesar di Indonesia, Bank
Central Asia berhasil menjadi bank dengan
pengembalian aset terbesar kedua dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya. Meskipun
Deutsche Bank Indonesia berada di peringkat
pertama, bank ini tidak berasal dari Indonesia; itu
adalah bank Jerman yang memiliki cabang di
Indonesia. Data pada Tabel 1.4 menjelaskan
kondisinya.
Table 4 Top Returns on Assets ASEAN 2018
Rank Bank Country Return
on Assets
(%
Change)
1 Deutsche
Bank
Indonesia
Indonesia 4.56
2 Bank Central
Asia
Indonesia 3.82
3 Acleda Bank Cambodia 3.4 4 Bank Rakyat
Indonesia
Indonesia 3.39
5 Bank BTPN Indonesia 2.85
6 Kiatnakin
Bank
Thailand 2.78
7 Canadia Bank Cambodia 2.54
8 HSBC Bank
Vietnam
Vietnam 2.53
9 Bank
Danamon
Indonesia
Indonesia 2.52
10 Bank Negara
Indonesia
Indonesia 2.37
Source: The Bankers, 2018
Bank Central Asia memiliki kekuatan modal
terkuat di Indonesia. Pada 2018, dengan Market Cap
US $ 40,2 Juta, tempat ketiga setelah bank-bank dari
Singapura, yaitu DBS dan OCBC. Ini adalah alasan
mengapa Bank Central Asia memiliki potensi untuk
menjadi bank yang lebih besar di Indonesia,
meskipun aset bank tidak terbesar dibandingkan
dengan Bank Rakyat Indonesia dan Bank Mandiri.
Dengan aset yang kuat dan pertumbuhan modal,
bank ini harus memiliki lebih banyak kekuatan
untuk menarik lebih banyak dana ketiga.
2. Isi Naskah
Untuk mengukur ukuran bank, peneliti
menggunakan Return of Asset (ROA) sebagai rasio
yang pengaruhnya tergantung pada beberapa
variabel independen. Ada banyak faktor penentu
dalam kesehatan bank, tetapi peneliti hanya memilih
beberapa indikator faktor internal dan eksternal yang
terkait dengan pembangunan ekonomi dan
pengaruhnya terhadap aset di bank. Peneliti memilih
Bank Central Asia untuk penelitian ini.
Penelitian ini membahas sejauh mana
pengaruh faktor ROA. Dalam penelitian ini,
berdasarkan penelitian sebelumnya dan juga pada
teori-teori yang telah diteliti, peneliti ingin menguji
pengaruh Loan-to-Deposit (LDR), Non-performing
loan (NPL), Biaya Operasional Pendapatan
Operasional (OEOI) dan Nilai Tukar (USD / IDR)
sebagai faktor yang mempengaruhi Return on Asset
(ROA) untuk periode 2010-2017, sebuah studi kasus
Bank Central Asia.
Bank Central Asia adalah bank swasta tunggal
terbesar di Indonesia yang terus bersaing dengan
bank-bank BUMN terbesar di Indonesia, yaitu BNI
dan Mandiri. Bank Central Asia menjadi bank
swasta Indonesia di peringkat ke-9 dalam
Pengembalian Modal, peringkat ke-2 dalam
Pengembalian Aset dan kapitalisasi pasar terbesar
ketiga di ASEAN. Untuk alasan ini, peneliti memilih
Bank Central Asia untuk menyelidiki lebih lanjut
pengaruh variabel yang mempengaruhi pertumbuhan
aset bank swasta ini. Dengan Return on Asset (ROA)
tertinggi di Indonesia dan kedua di ASEAN pada
2018, menurut bankir, itu menunjukkan bahwa bank
ini berjalan cukup efektif dibandingkan dengan bank
lain dalam menggunakan profitabilitas.
A. LDR (Pinjaman ke Deposit)
LDR (Loan-to-Deposit) adalah peran penting
dalam pertumbuhan ekonomi negara, oleh karena
itu, variabel ini menjadi aspek penting. Meskipun
jumlah LDR yang lebih kecil yang beredar
merupakan peluang bagi pemerintah dalam
pembangunan ekonomi, di sisi lain, LDR yang tinggi
menunjukkan bahwa permintaan pinjaman di
Indonesia sangat besar.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kasmir (2011), Loan to
Deposit Ratio (LDR) adalah rasio untuk mengukur
komposisi jumlah kredit yang diberikan
dibandingkan dengan jumlah dana publik dan modal
yang digunakan. Rasio maksimum pinjaman
terhadap setoran menurut peraturan pemerintah
adalah 110%.
Rasio ini juga digunakan untuk menilai likuiditas
bank dengan membagi jumlah kredit yang diberikan
oleh bank kepada dana pihak ketiga. Semakin tinggi
rasio, semakin rendah kemampuan likuiditas bank
yang bersangkutan, sehingga kemungkinan bank
dalam kondisi bermasalah akan semakin besar.
Pinjaman yang diberikan tidak termasuk pinjaman
ke bank lain sementara dana pihak ketiga adalah
giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat
deposito. Semakin tinggi LDR, dan semakin tinggi
kemungkinan risiko kredit macet (Kasmir, 2004)
B. NPL (Kredit Bermasalah)
Jadi, jika kita ingin memperhatikan LDR dalam
kinerja bank-bank NPL, ada hubungan timbal balik
yang kuat. Kredit Bermasalah / NPL menurut Dunil
(2005) adalah debitur atau kelompok debitur yang
termasuk dalam kelompok kolektibilitas kelompok
kredit 3, 4, 5 dari 5, yaitu debitur yang kurang
lancar, diragukan dan macet. Harus selalu diingat
bahwa perubahan klasifikasi kredit dari kredit saat
ini ke NPL secara bertahap melalui proses
penurunan kualitas kredit. NPL / Non-Performing
Loan adalah rasio yang menunjukkan kemampuan
manajemen bank dalam mengelola kredit
bermasalah yang disediakan oleh bank. Sehingga
semakin tinggi rasionya, semakin buruk kualitas
kredit bank, semakin besar jumlah kredit
bermasalah, semakin besar kemungkinan bank
dalam kondisi bermasalah. Jumlah yang
diperbolehkan oleh Bank Indonesia mengenai rasio
Non-Performing Loans maksimum 5%. Jika
melebihi 5%; itu akan mempengaruhi kesehatan
bank yang bersangkutan (Harun, 2016).
C. BOPO (Beban Operasional, Pendapatan
Operasional)
Selain itu, variabel BOPO (Beban Operasional
Biaya Operasional) adalah gambaran umum tentang
cara bank mengelola biaya operasional dan
pendapatan operasional. Biaya operasional adalah
biaya yang dikeluarkan oleh bank untuk
menjalankan kegiatan bisnis utamanya seperti biaya
bunga, biaya pemasaran, biaya tenaga kerja, dan
biaya operasional lainnya. Semakin kecil rasionya,
semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan
oleh bank bersangkutan. Mengenai peraturan Bank
Indonesia, efisiensi operasi diukur oleh BOPO
dengan batas BOPO maksimum 90%. Efisiensi
operasional juga mempengaruhi kinerja bank. BOPO
menunjukkan apakah bank telah menggunakan
semua faktor produksinya dengan tepat dan berhasil.
Ketika sesuai dengan standar, bank mampu
menyalurkan kredit yang sesuai karena kinerja
keuangan bank yang lancar.
Rasio BOPO menunjukkan efisiensi dalam
menjalankan bisnis utamanya, terutama kredit
berdasarkan jumlah dana yang terkumpul. Dalam
mengumpulkan dana, terutama di masyarakat, biaya
bunga diperlukan. Rasio BOPO adalah rasio antara
biaya operasional dan pendapatan operasional. Biaya
operasional adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank
dalam konteks menjalankan aktivitasnya sedangkan
pendapatan operasional adalah semua bentuk
pendapatan yang diperoleh dari aktivitas bank.
Pengaruh BOPO Ratio terhadap perubahan Profit
dimana rasio BOPO menunjukkan pengaruh negatif,
semakin kecil BOPO menunjukkan semakin efisien
bank dalam mengelola kegiatannya, sehingga ROA
akan meningkat. BOPO memiliki efek negatif pada
ROA (Harun, 2016).
D. Nilai Tukar dan Perbankan di Indonesia
Aktivitas perbankan sangat dipengaruhi oleh
kondisi ekonomi yang baik dan buruk. Nilai tukar
dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur
stabilitas ekonomi, karena nilai tukar mata uang
suatu negara sering meningkat atau menurun.
Akibatnya, jika nilai tukar mata uang asing (dolar
AS) berfluktuasi, minat publik untuk memiliki mata
uang asing, terutama dolar AS, akan meningkat, dan
kemungkinan bahwa masyarakat akan mengurangi
tabungan bahkan dana mereka yang disimpan di
bank akan sebagian ditarik. Dengan demikian,
kegiatan operasional bank akan terganggu karena
bank kesulitan mendapatkan dana (Emile et al.,
2011).
Table 5 Exchange Rate USD/IDR
Year USD/IDR % change
2011 9068 0.85%
2012 9670 6.63%
2013 12189 26.04%
2014 12440 2.05%
2015 13795 10.89%
2016 13436 (2.60%)
2017 13548 0.833%
Source : fxtop.com
Jika nilai tukar lebih tinggi, maka distribusi dana
Bank melalui pembiayaan akan lebih rendah. Dari
Tabel 1.5 dapat dilihat, nilai tukar mengalami
fluktuasi dan perubahan yang berbeda setiap tahun
dari 2011 hingga 2017. Ketika nilai tukar meningkat,
pembiayaan juga akan meningkat sementara nilai
tukar hanya turun pada tahun 2016 saja dan hanya
dengan minus 2,6 persen.
2.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakangnya, masalah
tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
A. Efek Eksternal
Apakah ada pengaruh signifikan kurs USD /
IDR terhadap ROA Bank Central Asia?
B. Efek Internal
a. Apakah ada pengaruh signifikan NPL
terhadap ROA Bank Central Asia?
b. Apakah ada pengaruh signifikan LDR
terhadap ROA Bank Central Asia?
c. Apakah ada pengaruh signifikan OEOI
terhadap ROA Bank CentralAsia?
2.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk menguji pengaruh kurs USD / IDR
pada ROA Bank Central Asia
2. Untuk menguji efek NPL pada Bank Central
Asia ROA
3. Untuk menguji pengaruh LDR pada ROA
Bank Central Asia
4. Untuk menguji pengaruh OEOI pada ROA
Bank Central Asia
2.3 Teori Pendukung
Pada dasarnya, "bank" dapat didefinisikan sebagai
entitas bisnis yang mengumpulkan dana dari publik
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kembali ke masyarakat untuk meningkatkan
kehidupan banyak orang. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Perbankan No.7 Tahun 1998
(Undang Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1998),
yang menjelaskan arti bank sebagai perusahaan jasa
dan memiliki kegiatan utama dengan tiga fungsi
utama:
• Menerima penyimpanan dana publik dalam
berbagai bentuk
• Mendistribusikan dana dalam bentuk pinjaman
bagi masyarakat untuk mengembangkan bisnis
• Melakukan berbagai layanan dalam transaksi
perdagangan dan pembayaran di dalam dan luar
negeri, serta berbagai layanan lain di sektor
keuangan, dalam transfer penagihan, cek perjalanan,
kartu kredit, brankas, pembelian dan penjualan
sekuritas dan sebagainya. (Kasmir, 2014)
2.3.1 Sistem Penilaian CAMELS
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
30/2 / UPPB pada 30 April 1998 tentang cara
menilai tingkat kesehatan bank umum, penilaian
tingkat kesehatan oleh bank Indonesia dilakukan
dengan melihat faktor-faktor: Modal, Kualitas Aset,
Manajemen, Penghasilan dan Likuiditas atau biasa
disingkat CAMEL.
Teknik analisis CAMEL yang digunakan untuk
penilaian kinerja keuangan bank mengacu pada
ketentuan penilaian yang diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia nomor 30/2 / UPPB / tanggal
30/4/1997 junto. Surat Edaran Bank Indonesia
nomor 30 / UPPB / tanggal 19/03 / 1998.
Berdasarkan penjelasan surat edaran BI, penerapan
analisis CAMEL dilakukan dengan langkah-langkah
berikut:
1. Tinjau data laporan keuangan (Neraca dan
Laporan Laba Rugi) dengan sistem akuntansi yang
berlaku dan penjelasan pendukung lainnya.
2. Hitung rasio masing-masing aspek CAMEL.
3. Hitung nilai kotor setiap rasio.
4. Hitung nilai bersih setiap rasio dengan
mengalikan nilai kotor masing-masing dengan bobot
standar masing-masing rasio.
5. Tambahkan nilai bersih rasio CAMEL.
6. Membandingkan hasil penjumlahan rasio CAMEL
keseluruhan dengan standar Bank Indonesia
Kerangka kerja CAMELS merupakan salah
satu metode paling populer untuk analisis dan
evaluasi tingkat kesehatan perbankan. Kerangka
kerja ini, pertama dikenal sebagai CAMEL,
diciptakan pada tahun 1979 di AS oleh badan
pengatur bank, dan penggunaannya telah
diperpanjang sejak saat itu, dianggap sebagai alat
yang berguna bagi otoritas regulasi dari berbagai
negara untuk menilai kesehatan keuangan. institusi
(Roman & Şargu, 2013). Faktanya, regulator A.S.
mengakui bahwa pasar kompetitif global saat ini
belum difaktorkan secara memadai ke dalam
CAMEL dan, pada tahun 1997, menambahkan faktor
keenam yang dirancang untuk menangkap risiko
sistemik. Komponen sistemik ini, S, berupaya
menangkap sensitivitas bank terhadap faktor-faktor
pasar yang mencakup tingkat bunga, nilai tukar mata
uang asing, dan risiko harga (Gasbarro, Sadguna, &
Zumwalt, 2002
A. Kecukupan modal (C) adalah salah satu
indikator paling penting untuk kesehatan
keuangan sektor perbankan karena
menjamin kapasitas sektor ini untuk
menyerap kerugian yang diakibatkan oleh
manifestasi risiko tertentu atau
ketidakseimbangan ekonomi makro tertentu
yang signifikan (Roman & Şargu, 2013).
B. Kualitas aset (A) adalah parameter penting
untuk menguji tingkat kekuatan keuangan.
Pemeliharaan kualitas aset adalah fitur
mendasar dari perbankan. Moto utama di
balik pengukuran kualitas aset adalah untuk
memastikan komponen aset berkinerja
buruk sebagai persentase dari total aset
(Altan et al., 2014).
C. Kualitas Manajemen (L) tidak hanya
tergantung pada kinerja keuangan saat ini.
Komponen ini terdiri dari sejumlah besar
masalah seperti tingkat pendidikan dan
keahlian manajemen. Dengan demikian, itu
yang paling sulit untuk diukur jika
dibandingkan dengan yang lain (Dincer,
Gencer, Orhan, & Sahinbas, 2011)
D. Penghasilan Kuat (E) dan profil
profitabilitas bank mencerminkan
kemampuannya untuk mendukung operasi
saat ini dan masa depan. Lebih khusus lagi,
ini menentukan kapasitas untuk menyerap
kerugian dengan membangun basis modal
yang memadai, membiayai ekspansi, dan
membayar dividen yang memadai kepada
pemegang sahamnya (Nimalathasan, 2008).
E. Likuiditas (L) manajemen bank telah
dianggap penting karena tekanan kompetitif
dan aliran modal asing yang mudah di pasar
domestik. Dampak dari krisis likuiditas di
bank dapat berdampak buruk pada kinerja
keuangan bank (Kumar, Harsha, Anand, &
Dhruva, 2012).
F. Sensitivitas terhadap risiko pasar (S) adalah
ketika bank komersial semakin terlibat
dalam operasi yang beragam seperti
peminjaman dan pinjaman, transaksi dalam
valuta asing, penjualan aset yang dijaminkan
untuk sekuritas dan sebagainya. Semua ini
tunduk pada risiko pasar seperti risiko suku
bunga, risiko nilai tukar mata uang asing,
dan risiko finansial dan risiko harga
komoditas (Baral, 2005)
2.3.2 Peringkat Bank Berbasis Risiko (RBBR)
Bank dapat menilai kesehatan banknya
dengan menggunakan metode baru yang baru
saja dikeluarkan oleh pemerintah dalam PBI
nomor 12/1 / PBI / 2011 pascal 2, menyatakan
bahwa bank diharuskan menilai kesehatan bank
menggunakan pendekatan risiko. (Peringkat
Bank Berbasis Risiko) baik secara individu atau
konsolidasi. Peraturan tersebut menggantikan
metode penilaian sebelumnya, yaitu CAMEL.
Metode RBBR menggunakan penilaian empat
faktor berdasarkan Surat Edaran BI No. 13/24 /
DPNP, yang terdiri dari Profil Risiko, Tata
Kelola Perusahaan yang Baik, Penghasilan, dan
Modal.
Dari faktor profil risiko menggunakan
perhitungan risiko kredit, risiko pasar, dan risiko
likuiditas. Faktor GCG memperhitungkan
penilaian penerapan penilaian mandiri. Faktor
Penghasilan / Rentabilitas diukur dengan
indikator laba sebelum pajak untuk total aset
(ROA). Pendapatan bunga bersih atas total aset
(NIM). Faktor modal diukur dengan rasio CAR.
Dengan metode RGEC secara keseluruhan
memiliki predikat sangat sehat dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 13/1 / PBI / 2011 Pasal 2,
dinyatakan bahwa bank diharuskan menilai
tingkat kesehatan bank dengan menggunakan
pendekatan Peringkat Bank Berbasis Risiko.
secara individual atau konsolidasi. Dalam
metode ini, ada beberapa indikator sebagai
referensi:
A. Profil Risiko
Risiko kredit dengan menggunakan rasio Non-
Performing Loans (NPL) yang dihitung dengan
rumus :
NPL = (Kredit Bermasalah) / (Total Kredit) x
100%
Tabel 6 Risk Profile Ranking Criteria (NPL)
B. Profil Likuiditas
Risiko Likuiditas dengan menggunakan rasio
Loan to Deposit Ratio (LDR):
LDR = (Jumlah Kredit yang diberikan) / (Dana
Pihak Ketiga) x 100%
Rating Description Criteria
1 Very Healthy NPL < 2%
2 Healthy 2% ≤ NPL < 5%
3 Quite Healthy 5% ≤ NPL < 8%
4 Unwell 8% ≤ NPL < 12%
5 Not Healthy NPL ≥ 12%
Tabel 7 Criteria for Establishing Risk Profile Ranking (LDR)
C. Good Corporate Governance (GCG)
Dengan menganalisis laporan Good
Corporate Governance (tata kelola) yang
dipandu oleh Peraturan Bank Indonesia No. 13/1
/ PBI / 2011 dengan mencari laporan tahunan
yang diterbitkan dan menetapkan penilaian yang
dibuat oleh bank berdasarkan sistem penilaian
mandiri
Tabel 8 Criteria for Determining GCG Ranking
(self-assessment)
D. Penghasilan
Penilaian penghasilan diukur menggunakan
rasio Pengembalian Aset (ROA) dengan
menggunakan rumus berikut:
ROA = (laba sebelum pajak) / (rata-rata total
aset) x100%
Tabel 9 Criteria for Determining Ranking of
Rentability (ROA)
Rating Description Criteria
1 Very Healthy ROA < 1.5%
2 Healthy 1.25% ≤ LDR <
1.5%
3 Quite Healthy 0.5% ≤ LDR <
1.25%
4 Unwell 0% ≤ LDR<
0.5%
5 Not Healthy LDR ≥ 0%
E. Modal
Riyadi (2006) menjelaskan bahwa setiap
bank yang beroperasi di Indonesia diharuskan
untuk mempertahankan kewajiban penyediaan
modal minimum (KPMM). Kewajiban
kecukupan modal yang tinggi atau rendah atau
CAR dari suatu bank akan dipengaruhi oleh dua
faktor utama, yaitu jumlah modal yang dimiliki
oleh bank dan jumlah aset risiko-seimbang
(ATMR) yang dikelola oleh bank. Hal ini
disebabkan penilaian faktor modal berdasarkan
rasio modal terhadap aset tertimbang menurut
risiko (ATMR). Penilaian faktor modal diukur
menggunakan Capital Adequacy Ratio (CAR)
dengan rumus berikut:
CAR = (Modal Bank) / (aset seimbang risiko) x
100%
Kurs
A. Nilai tukar uang konvensional
Nilai tukar adalah kutipan harga pasar mata
uang asing dalam harga mata uang domestiknya atau
kebalikan dari harga mata uang asing dalam suatu
mata uang (Greenwald, 1982). Nilai tukar mata uang
dapat ditentukan oleh pemerintah sebagaimana
Rating Description Criteria
1 Very Healthy LDR < 75%
2 Healthy 75% ≤ LDR <
85%
3 Quite Healthy 85% ≤ LDR <
100%
4 Unwell 100% ≤ LDR<
120%
5 Not Healthy LDR ≥ 120%
Rating Description
1 Very Healthy
2 Healthy
3 Quite Healthy
4 Unhealthy
5 Not Healthy
diterapkan di negara dengan sistem nilai tukar tetap
atau ditentukan oleh komoditas antara kekuatan
pasar yang berinteraksi (bank komersial -
perusahaan multinasional - perusahaan manajemen
aset - perusahaan asuransi - bank valuta asing - pusat
bank) dan kebijakan pemerintah tentang negara yang
menerapkan sistem nilai tukar yang fleksibel
(Karim, 2010).
Dalam teori Neoklasik, tingkat harga di
suatu negara dapat berubah karena perubahan
jumlah uang beredar atau karena faktor-faktor yang
mendahului perubahan dalam output negara seperti
kebijakan fiskal, teknologi, perang, cuaca, dll. Jika
ada peningkatan signifikan dalam uang pasokan,
maka akan ada juga kenaikan harga yang signifikan
(inflasi), tingkat harga melonjak karena penurunan
permintaan uang, juga lonjakan depresiasi uang
(Krugman, 1991). Paritas daya beli dalam nilai tukar
mata uang
Persamaan e P / (P ')
Di mana: e: Nilai Tukar
P: Tingkat Harga Domestik
P ’: Tingkat Harga Asing
P dan P 'ditentukan oleh interaksi permintaan dan
penawaran uang di masing-masing negara,
kemudian tawar-menawar dari peluang arbitrase
akan membahas nilai tukar di mana persamaan
paritas daya beli P = e P apply berlaku (Karim,
2010).
B. Teori nilai tukar uang Islam
Menurut Karim (2010), pembahasan nilai tukar
menurut Islam akan menggunakan dua skenario:
Skenario 1: perubahan harga terjadi di negara yang
mempengaruhi nilai tukar (faktor asing dianggap
tidak berubah / berpengaruh).
Fluktuasi Nilai Tukar Alamiah
Fluktuasi Nilai Tukar Kesalahan Manusia
Korupsi, Administrasi Buruk dan Pajak Berlebihan
Skenario 2: perubahan harga terjadi di luar negeri;
faktor domestik dianggap tidak berubah /
berpengaruh.
Nilai tukar mata uang akan mempengaruhi
harga barang / komoditas dan layanan yang
digunakan oleh bank dan pendapatan dalam kegiatan
operasionalnya. Jika kembali ke persamaan
persamaan paritas daya beli e P / (P ') di mana P dan
P' ditentukan melalui interaksi permintaan dan
penawaran uang di masing-masing negara maka, P =
e P 'misalnya, pelemahan dari nilai tukar rupiah
terhadap dolar telah menghasilkan harga domestik
yang lebih tinggi. Efeknya sedangkan jika harga
mengalami kenaikan ini akan mengakibatkan
penurunan daya beli konsumen barang / komoditas
dan jasa maka kemampuan masyarakat untuk
berinvestasi dan menabung juga menurun
Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara
versus mata uang negara lain atau zona ekonomi.
Ada beberapa jenis nilai tukar (Investopedia):
• Mengambang gratis
Nilai tukar mengambang bebas naik dan turun
karena perubahan pasar valuta asing.
• Mata Uang Terbatas
Beberapa negara telah membatasi mata uang,
membatasi pertukaran mereka ke dalam batas
negara. Juga, mata uang yang dibatasi dapat
memiliki nilainya yang ditentukan oleh pemerintah
• Pasak Mata Uang
Terkadang suatu negara akan mematok mata
uangnya dengan mata uang negara lain. Misalnya,
dolar Hong Kong dipatok ke dolar AS dalam kisaran
7,75 hingga 7,85. Ini berarti nilai dolar Hong Kong
ke dolar AS akan tetap dalam kisaran ini.
• Onshore Vs. Di lepas pantai
Nilai tukar juga bisa berbeda untuk negara yang
sama. Dalam beberapa kasus, ada tarif darat dan
lepas pantai. Secara umum, nilai tukar yang lebih
menguntungkan sering dapat ditemukan di dalam
perbatasan suatu negara versus di luar
perbatasannya. Cina adalah salah satu contoh utama
dari negara yang memiliki struktur nilai ini. Selain
itu, Yuan Cina adalah mata uang yang dikendalikan
oleh pemerintah. Setiap hari, pemerintah Cina
menetapkan nilai titik tengah untuk mata uang
tersebut, memungkinkan Yuan untuk
diperdagangkan dalam pita 2% dari titik tengah
• Spot vs. Forward
Nilai tukar dapat memiliki apa yang disebut kurs
spot, atau nilai tunai, yang merupakan nilai pasar
saat ini. Atau, nilai tukar mungkin memiliki nilai ke
depan, yang didasarkan pada ekspektasi untuk mata
uang naik atau turun versus harga spotnya. Nilai
forward rate dapat berfluktuasi karena perubahan
harapan untuk suku bunga di masa depan di satu
negara dibandingkan yang lain. Misalnya, mari kita
katakan bahwa pedagang memiliki pandangan
bahwa Zona Euro akan melonggarkan kebijakan
moneter versus A. Dalam kasus ini, pedagang dapat
membeli dolar versus euro, sehingga menghasilkan
nilai euro yang jatuh.
Kutipan
Biasanya, nilai tukar dikutip menggunakan akronim
untuk mata uang nasional yang diwakilinya.
Misalnya, akronim USD mewakili dolar AS,
sedangkan EUR mewakili euro. Mengutip pasangan
mata uang untuk dolar dan euro, itu adalah EUR /
USD. Dalam hal ini, kuotasi adalah euro ke dolar
dan diterjemahkan menjadi 1 perdagangan euro
untuk setara dengan $ 1,13 jika nilai tukar adalah
1,13. Dalam kasus yen Jepang, itu adalah USD /
JPY, atau dolar ke yen. Nilai tukar 100 akan berarti
bahwa 1 dolar sama dengan 100 yen.
2.3.3 Pengukuran Kesehatan Bank
Mengacu pada ketentuan PBI Bank
Indonesia No. 5/8 / PBI / 2003 dan perubahan pada
ketentuan No. 11/25 / PBI / 2009 tentang penerapan
manajemen risiko untuk bank umum; delapan risiko
harus dikelola oleh bank. Kedelapan jenis risiko
tersebut adalah risiko kredit, risiko pasar, risiko
operasional, risiko likuiditas, risiko kepatuhan,
risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko strategis.
Setiap aktivitas atau produk bank
mengandung setidaknya satu jenis risiko atau lebih.
Karenanya, untuk menghindari potensi kerugian,
bank perlu mengelola risiko ini. Manajemen risiko
pada dasarnya adalah serangkaian metodologi dan
prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memitigasi, memantau, dan
mengendalikan risiko yang timbul dari semua
aktivitas bisnis bank. Manajemen risiko adalah
upaya mengelola risiko sehingga peluang untuk
mendapatkan laba dapat direalisasikan secara
berkelanjutan karena risiko untuk
mempertimbangkan aktivitas bank.
Bank Indonesia menyatakan bahwa esensi
penerapan manajemen risiko adalah kecukupan
prosedur dan metodologi manajemen risiko sehingga
kegiatan bisnis bank dapat dikelola pada batas yang
dapat diterima, serta memberikan manfaat kepada
bank sesuai dengan tingkat risiko yang dapat
diterima.
Mengingat perbedaan dalam kondisi pasar,
struktur, ukuran, dan kompleksitas bisnis bank, tidak
ada sistem manajemen risiko universal untuk semua
bank. Dengan demikian setiap bank harus
menetapkan sistem manajemen risiko sesuai dengan
fungsi dan kompleksitas bank, dan menyediakan
sistem organisasi manajemen risiko di bank sesuai
dengan kebutuhannya. (Ikatan Bankir Indonesia,
2015)
Berikut ini adalah penjelasan berbagai risiko sesuai
dengan definisi Bank Indonesia:
1. Risiko Kredit
Risiko kredit adalah risiko kerugian karena
kegagalan rekanan untuk memenuhi kewajibannya.
Risiko kredit mencakup risiko akibat kegagalan
debitur untuk membayar kewajiban kepada bank,
risiko kredit karena kegagalan rekanan untuk
memenuhi kewajiban, misalnya dalam perjanjian
kontrak derivatif, dan risiko kredit karena risiko
penyelesaian, misalnya dalam perjanjian jual beli
valuta asing.
Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas
fungsional bank, seperti aktivitas kredit dan aktivitas
tresuri. Dalam kegiatan treasury, misalnya, bank
membeli obligasi korporasi, berinvestasi dalam
membeli sekuritas, melakukan trade finance (trade
finance), keduanya dicatat dalam buku perbankan
dan buku perdagangan (Ikatan Bankir Indonesia,
2015). Misalnya, risiko kredit akan muncul jika:
A. Bank memberikan kredit kepada pelanggan
B. Bank menempatkan dana pada bank lain
sebagai penempatan antar bank
C. Bank melakukan transaksi derivatif seperti
forward atau swap kontrak berjangka
dengan pelanggan atau bank lain
D. Bank membeli sekuritas perusahaan
2. Risiko Pasar
Risiko pasar adalah risiko perubahan harga
pasar dalam posisi portofolio dan akun administratif,
termasuk transaksi derivatif. Perubahan harga terjadi
karena perubahan faktor pasar, termasuk risiko
perubahan harga opsi.
Yang dimaksud dengan faktor pasar adalah
nilai tukar, suku bunga, harga saham, dan harga
komoditas (Ikatan Bankir Indonesia, 2015).
Misalnya, risiko pasar dapat timbul jika:
A. Bank membeli obligasi negara dengan
kupon tetap ketika harga pasar obligasi turun
jika suku bunga pasar naik
B. Bank membeli mata uang USD, yang
nilainya dalam mata uang Rupiah akan
menurun jika nilai tukar USD melemah
terhadap rupiah
C. Bank melakukan transaksi swap suku bunga
derivatif yang dapat menyebabkan liabilitas
derivatif bagi pihak lawan
D. Bank melakukan kegiatan perdagangan atau
membeli dan menjual sekuritas
3. Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas adalah risiko karena
ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban
yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas
dan / atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang
dapat dijaminkan, tanpa mengganggu aktivitas dan
kondisi keuangan bank.
Risiko likuiditas dapat dikaitkan dengan aktivitas
kredit fungsional (penyediaan dana), aktivitas
treasuri dan investasi, dan aktivitas hubungan
koresponden dengan bank lain (Ikatan Bankir
Indonesia, 2015) misalnya:
A. Bank tidak dapat memenuhi penarikan kredit
oleh pelanggan karena dana yang tersedia
tidak mencukupi
B. Bank mengalami kerugian kliring dan tidak
dapat memenuhi kekurangan dan di Bank
Indonesia atau bank sentral
C. Bank tidak dapat memenuhi permintaan
untuk penarikan dana publik yang terjadi
secara tiba-tiba
D. Bank tidak dapat memperoleh pinjaman dari
bank lain ketika bank membutuhkan
likuiditas
4. Risiko Operasional
Risiko Operasional adalah risiko karena
proses internal yang tidak memadai atau tidak
berfungsi karena tidak adanya atau tidak
berfungsinya prosedur kerja, kesalahan manusia,
kegagalan sistem, dan peristiwa eksternal yang
memengaruhi operasi bank.
Risiko operasional dapat menyebabkan
kerugian finansial secara langsung atau tidak
langsung dan menimbulkan potensi kehilangan
peluang untuk mendapatkan keuntungan (Ikatan
Bankir Indonesia, 2015), misalnya:
A. Pemalsuan tagihan setoran oleh karyawan
bank yang kemudian digunakan sebagai
jaminan untuk kredit
B. Kesalahan memasukkan uang karena
karyawan yang ditunjuk kurang
berpengalaman
C. Bencana alam terjadi dalam bentuk banjir
besar sehingga bank tidak dapat beroperasi
secara normal
D. Kejahatan keuangan seperti penipuan sering
dilakukan oleh orang luar bekerja sama
dengan karyawan bank
5. Risiko Hukum
Risiko hukum adalah risiko karena kelalaian
bank, yang dapat menyebabkan kelemahan dalam
aspek peradilan, dalam menghadapi tuntutan hukum
dari pihak lain. Penyebab risiko hukum adalah,
antara lain, hukum dan peraturan pendukung yang
tidak tersedia, kelalaian bank dalam proses
pengikatan agunan sehingga perjanjian seperti
persyaratan validitas kontrak tidak kuat, pengikatan
agunan kredit tidak sempurna (Ikatan Bankir
Indonesia, 2015). Sebagai contoh:
A. Bank tidak dapat melakukan agunan untuk
kredit macet karena agunan tidak tepat
waktu, dan pemilik agunan menolak upaya
bank untuk menjual agunan
B. Bank mengalami kesulitan menagih
kewajiban kredit pelanggan karena
perjanjian kredit ditandatangani oleh pejabat
yang tidak sah menurut anggaran dasar
perusahaan dan pelanggan menggunakan
kelemahan ini untuk tidak membayar
kewajiban mereka kepada bank
C. Pelanggan menuntut bank karena pelanggan
merasa mereka membeli produk bank yang
tidak transparan, mengingat bank tidak
menjelaskan risiko dari produk tersebut.
6. Risiko Reputasi
Risiko reputasi adalah risiko suatu peristiwa
yang menimbulkan persepsi negatif terhadap
bank, yang dapat mengakibatkan menurunnya
tingkat kepercayaan pemangku kepentingan
terhadap bank (Ikatan Bankir Indonesia, 2015),
Misalnya:
A. Pengumpulan kartu kredit bank dilakukan
oleh pihak ketiga yang tidak memperhatikan
etika metode penagihan sehingga reputasi
bank umumnya berkurang di mata publik.
B. Ada kerugian besar bagi bank karena
penipuan oleh karyawan bank
C. Banyak produk kartu kredit mengalami
kejahatan keuangan sehingga reputasi bank
sebagai bank yang aman telah menurun, dan
berpotensi berdampak pada penurunan
bisnis kartu kredit.
7. Risiko Strategis
Risiko stratejik adalah risiko yang terjadi karena
ketidaktepatan dalam membuat atau
mengimplementasikan keputusan strategis, serta
kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan dalam lingkungan bisnis (Ikatan
Bankir Indonesia, 2015). Sebagai contoh:
A. Bank mengikuti aliran pengembangan
bisnis.
B. Bank memutuskan untuk bersaing dengan
bank asing dengan meluncurkan bisnis
produk terstruktur yang kompleks, meskipun
bank belum memiliki infrastruktur yang
memadai sehingga bank mengalami
kerugian.
C. Bank memutuskan untuk melakukan bisnis
tertentu yang ternyata membawa kerugian
besar bagi bank.
8. Risiko Kepatuhan
Risiko kepatuhan adalah risiko yang terjadi
akibat bank tidak mematuhi atau tidak
menerapkan peraturan internal dan peraturan
perundang-undangan tidak berlaku, seperti
ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM), penilaian kualitas aset
produktif, Pembentukan Cadangan Kerugian
Nilai (CKPN), Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK), ketentuan Posisi Devisa Neto
(PDN), risiko strategis terkait dengan ketentuan
Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) dan
risiko lain terkait ketentuan tertentu (Ikatan
Bankir Indonesia, 2015). Sebagai contoh:
A. Bank tidak mengirim laporan harian wajib
ke Bank Indonesia sehingga mereka harus
membayar denda
B. Bank melanggar ketentuan batas posisi
devisa neto dan mendapat teguran dan denda
dari regulator.
C. Sebagai hasil dari kompetisi, bank tidak
sepenuhnya mengikuti prosedur yang
ditentukan oleh regulator.
2.4 Kerangka Berfikir
Eksposisi:
H1: Efek negatif dari Nilai Tukar terhadap
Pengembalian Aset (ROA)
Mata uang yang menurun jelas akan mengurangi
daya beli pendapatan dan modal yang diperoleh dari
semua jenis investasi. Pengurangan investasi ini
akan meningkatkan efisiensi operasional bank.
Dengan penurunan investasi, permintaan untuk
pembiayaan di bank juga akan menurun dan
selanjutnya akan mempengaruhi rasio keuangan
bank, salah satunya adalah rasio profitabilitas yang
diwakili oleh ROA (Sukirno, 2006) penurunan nilai
tukar atau pertukaran dolar ke rupiah. rate akan
berdampak pada perusahaan dan bank untuk
kesulitan dalam pembiayaan proyek mereka.
H2: Efek Negatif dari Non-Performing Loan on
Return on Asset (ROA)
Dalam penelitian ini, rasio keuangan yang
digunakan sebagai proksi untuk nilai risiko kredit
adalah rasio Non-Performing Loans (NPL). Rasio ini
menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam
mengelola kredit bermasalah yang disediakan oleh
bank. Sehingga semakin tinggi rasionya, semakin
buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan
jumlah kredit bermasalah meningkat, semakin besar
kemungkinan bank dalam kondisi bermasalah.
Kredit, dalam hal ini, adalah kredit yang diberikan
kepada pihak ketiga tidak termasuk kredit ke bank
lain. Kredit macet adalah kredit dengan kualitas
kurang lancar, diragukan, dan macet. Standar yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia kurang dari 5%,
dengan rasio di bawah 5%, Penyisihan Aktiva
Produktif yang harus disediakan bank untuk
menutup kerugian yang ditimbulkan oleh aktiva
produktif tidak lancar (dalam hal ini kredit macet)
menjadi kecil.
Non-Performing Loans (NPL)
mencerminkan jumlah risiko kredit yang dihadapi
bank, semakin kecil NPL, semakin kecil risiko kredit
yang ditanggung bank. Bank dalam memberikan
kredit harus menganalisis kemampuan debitur untuk
membayar kembali kewajibannya. Setelah kredit
diberikan, bank harus memantau penggunaan kredit
dan kemampuan serta kepatuhan debitur dalam
memenuhi kewajiban.
Penelitian tentang risiko kredit dilakukan oleh
Wisnu M (2004) yang menyatakan bahwa kondisi
Non Performing Loan (NPL) yang tinggi akan
meningkatkan biaya penyediaan aset produktif dan
biaya lainnya, sehingga berpotensi menyebabkan
kerugian bagi bank, atau pada kata-kata Non
Performing Loans (NPL) mengurangi profitabilitas
bank. Ini menunjukkan bahwa Non-Performing
Loan (NPL) berpengaruh negatif terhadap
profitabilitas.
H3: Pengaruh Positif Loan-to-Deposit (LDR)
pada Return on Asset (ROA)
Peningkatan LDR berarti bahwa distribusi dana
untuk pinjaman semakin besar sehingga keuntungan
akan meningkat. Peningkatan laba menunjukkan
ROA yang lebih tinggi. Standar LDR yang baik
adalah 85% hingga 110%. Oleh karena itu,
manajemen harus dapat mengelola dana yang
dikumpulkan dari masyarakat dan kemudian
menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit.
Logika teori ini didukung oleh hasil 20 penelitian
oleh Ahmad Buyung (2009), yang menyatakan
bahwa secara parsial variabel LDR memiliki efek
positif terhadap ROA.
Budi Ponco (2008), dalam studinya,
menyimpulkan bahwa LDR memiliki efek positif
dan signifikan terhadap ROA. Jika rasio LDR bank
berada pada standar yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, maka laba yang diperoleh bank akan
meningkat (dengan asumsi bank mampu
menyalurkan kredit secara efektif). Peningkatan laba
menyebabkan ROA meningkat karena laba
merupakan komponen yang membentuk ROA.
H4: Pengaruh Negatif Biaya Operasional
Pendapatan Operasional (BOPO) pada
Pengembalian Aset (ROA)
Bahtiar Usman (2003) dan Wisnu Mawardi
(2004) dalam penelitian mereka menyatakan bahwa
di perbankan dan industri, secara umum, ada
hubungan negatif antara beban operasional biaya
operasional (BOPO) dan profitabilitas. BOPO
menunjukkan seberapa banyak bank dapat
mengurangi biaya operasional mereka di satu sisi,
dan seberapa besar kemampuan untuk meningkatkan
pendapatan operasional di sisi lain. BOPO
memengaruhi kinerja perbankan karena
menunjukkan seberapa besar bank dapat melakukan
efisiensi dalam biaya operasional yang dikeluarkan.
Semakin kecil rasio BOPO, berarti semakin efisien
biaya operasional yang dikeluarkan oleh bank yang
bersangkutan sehingga semakin besar kemungkinan
bagi bank untuk mendapatkan lebih banyak
keuntungan dan menunjukkan bahwa bank tersebut
tidak dalam kondisi buruk.
2.5 Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan
kuantitatif disebut metode positivistik karena
didasarkan pada filsafat positivisme. Metode ini
merupakan metode ilmiah karena memenuhi aturan
ilmiah, yaitu konkret / empiris, objektif, terukur,
rasional, dan sistematis. Metode ini juga disebut
metode penemuan karena metode ini dapat
ditemukan dan dikembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi baru. Metode ini disebut metode
kuantitatif karena data penelitian dalam bentuk
angka dan analisis menggunakan statistik (Sugiyono,
2012).
Pendekatan kuantitatif adalah salah satu jenis
kegiatan penelitian yang sistematis, terencana, dan
terstruktur dengan jelas dari awal hingga pembuatan
desain penelitian, baik tentang tujuan penelitian,
subyek penelitian, objek penelitian, sampel data,
sumber data, dan metodologi (mulai pengumpulan
data untuk menganalisis data) (Puguh Suharso,
2009).
Pendekatan kuantitatif menekankan adanya
variabel sebagai objek penelitian dan variabel harus
didefinisikan dalam bentuk operasionalisasi masing-
masing variabel. Tujuan akhir yang ingin dicapai
dalam melakukan penelitian menggunakan
pendekatan kuantitatif adalah menguji teori,
membangun fakta, menunjukkan hubungan dan
pengaruh serta perbandingan antar variabel,
memberikan deskripsi statistik, memperkirakan dan
memprediksi hasil (Sofian Siregar, 2014).
Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang
menekankan pengujian teori melalui pengukuran
variabel penelitian dengan angka dan melakukan
analisis data dengan prosedur statistik.
Menggunakan pendekatan kuantitatif karena data
dimanifestasikan dalam bentuk numerik dan
dianalisis berdasarkan analisis statistik untuk
menunjukkan Analisis Pengaruh Tingkat USD / IDR,
NPL (Non-Performing Loan), LDR (Loan-to-
Deposit Ratio), dan BOPO ( biaya operasional untuk
pendapatan operasional) terhadap Aset / ROA Bank
Central Asia.
Jenis penelitian ini adalah asosiatif;
Penelitian asosiatif adalah penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau
lebih. Dengan penelitian, ini akan dapat membangun
teori yang dapat berfungsi untuk menjelaskan,
memprediksi dan mengendalikan gejala (Sofian
Siregar, 2014).
Dalam penelitian ini, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dan dependen, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui Pengaruh Tingkat USD / IDR,
NPL (Non-Performing Loan), LDR (Loan-to-
Deposit Ratio), dan OEOI (biaya operasional untuk
pendapatan operasional) menuju Aset / ROA Bank
Central Asia (pengembalian Aset).
Populasi adalah jumlah total unit atau individu
yang karakteristiknya harus dipelajari. Selain itu,
unit-unit ini disebut unit analisis dan bisa orang,
institusi, benda, dll. (Djawranto, 1994 Dikutip dari
buku Metode Penelitian Drs. Kuntjojo, 2009:
halaman 32).
Populasi adalah "alam semesta", yang
merupakan area generalisasi yang terdiri dari subjek
atau objek yang memiliki jumlah dan karakteristik
tertentu, yang ditentukan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.
Populasinya tidak hanya dalam bentuk manusia,
tetapi juga bisa menjadi objek lain (Nurhayati,
2012).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua data
laporan keuangan Bank Central Asia yang telah
dipublikasikan, dari kuartal keempat tahun 2001
hingga kuartal ketiga tahun 2018.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi. (Sugiyono,
2012) Sampel adalah bagian dari populasi yang
mewakili subjek dan objek penelitian. Pengambilan
sampel harus mengikuti kualitas dan karakteristik
suatu populasi. Pengambilan sampel yang tidak
sesuai dengan kualitas dan karakteristik populasi
akan menyebabkan penelitian menjadi tidak dapat
diandalkan dan kesimpulannya bisa salah.
Alasannya adalah karena ia tidak bisa menjadi
representasi populasi yang baik. Sampel dalam
penelitian ini adalah data dari data laporan keuangan
triwulanan Bank Central Asia, 8 tahun dari 2010
hingga 2017. Untuk mendapatkan sampel yang
memadai, peneliti mengambil langkah-langkah
untuk menganalisis laporan keuangan triwulanan.
Sampling adalah teknik pengambilan sampel
dengan metode tertentu untuk menentukan sampel
yang akan digunakan dalam penelitian (Sugiyono,
2012). Teknik pengambilan sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling.
Sampling non-probabilitas adalah setiap elemen
dalam populasi tidak memiliki peluang atau peluang
yang sama untuk dipilih sebagai sampel, bahkan
probabilitas anggota tertentu yang terpilih tidak
diketahui (Sofian Siregar, 2014).
Teknik pengambilan sampel dengan tidak
memberikan peluang yang sama untuk setiap elemen
atau anggota populasi dipilih sebagai sampel.
Nonprobability Sampling adalah teknik pengambilan
sampel yang tidak memberikan peluang atau
peluang yang sama untuk setiap elemen atau anggota
populasi untuk dipilih sebagai sampel. Teknik
pengambilan sampel ini termasuk pengambilan
sampel sistematis, kuota, disengaja, sengaja, jenuh,
bola salju (Sugiyono, 2012). Metode pengambilan
sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive
sampling atau sampel dengan niat. Sampel bertujuan
untuk mengambil subjek tidak berdasarkan strata,
acak atau regional tetapi berdasarkan tujuan tertentu.
Sampel sumber data yang mengikuti tujuan
penelitian adalah USD / IDR Rate, NPL (Non-
Performing Loan), LDR (Loan-to-Deposit Ratio)
dan BOPO (biaya operasional terhadap pendapatan
operasional) dan ROA (pengembalian Aset) Bank
Laporan keuangan triwulanan Asia Tengah selama 8
tahun yaitu tahun 2010 hingga 2017.
2.6 Teknik Analisa Data
A. Analis Perbankan Internal dan Eksternal
Analisis kinerja perbankan dilakukan
dengan menghitung rasio keuangan NPL (Non-
Performing Loans), LDR (Loan to Deposit
Ratio), BOPO (biaya operasional terhadap
pendapatan operasional), dan faktor nilai tukar
eksternal yang kemudian memengaruhi masing-
masing variabel tersebut pada rasio ROA
(Pengembalian Aset).
B. Uji Asumsi Klasik
Dengan menggunakan metode Ordinary
Least Squared (OLS), untuk menghasilkan
nilai-nilai parameter model penduga yang lebih
akurat, perlu untuk mendeteksi apakah model
menyimpang dari asumsi klasik atau tidak;
deteksi terdiri dari:
1) Uji Stasioner
Stationaritas adalah salah satu prasyarat
penting dalam model ekonometrik untuk data
deret waktu. Data stasioner adalah data yang
menunjukkan rerata, varians, dan autokovarian
(dalam variasi lag) tetap sama setiap saat data
dibentuk atau digunakan, artinya bahwa dengan
data stasioner model deret waktu dapat
dikatakan lebih stabil. Jika data yang digunakan
dalam model tidak stasioner, maka data tersebut
dipertimbangkan kembali dalam hal validitas
dan stabilitasnya, karena hasil regresi dari data
non-stasioner akan menyebabkan regresi palsu.
Regresi palsu adalah regresi yang memiliki R2
tinggi, tetapi tidak ada hubungan yang
bermakna antara keduanya. Salah satu konsep
formal yang digunakan untuk menentukan
stasioneritas data adalah melalui uji unit root
(unit root test). Tes ini adalah tes populer, yang
dikembangkan oleh David Dickey dan Wayne
Fuller sebagai Tes Augmented Dickey-Fuller
(ADF). Jika data deret waktu tidak stasioner
dalam urutan nol, I (0), maka stasioneritas data
dapat dicari melalui urutan berikutnya sehingga
level stasioner diperoleh pada urutan ke-n
(perbedaan pertama atau I (1) ), atau perbedaan
kedua atau I (2)), dll.
2) Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji
apakah variabel bebas, variabel tidak bebas atau
keduanya memiliki distribusi normal atau tidak.
Salah satu cara untuk melihat normalitas
residual adalah dengan menggunakan metode
sidik jari (JB). Jika nilai JB kurang dari 2 maka
data terdistribusi secara normal, atau jika
probabilitas lebih besar dari 5% maka data
terdistribusi secara normal.
Menurut Ajija, Shochrul Rohmatul et al. (2011),
uji normalitas hanya digunakan jika jumlah
pengamatan kurang dari 30, untuk menentukan
apakah istilah kesalahan dekat dengan distribusi
normal. Jika jumlah pengamatan lebih dari 30,
uji normalitas tidak diperlukan. Karena
distribusi istilah kesalahan sampling mendekati
normal.
3) Uji Multikolinearitas
Multicollinearity dapat diartikan sebagai
situasi di mana satu atau lebih variabel
independen dapat dinyatakan sebagai
kombinasi dari variabel lain. Tes ini bertujuan
untuk mengetahui apakah regresi ini
menemukan korelasi antara variabel
independen. Jika ada korelasi, maka ada
masalah multikolinieritas. Cara mendeteksi
keberadaan multikolinieritas dilakukan dengan
uji Variance Inflation Factor (VIF), yang
dihitung dengan rumus berikut: Jika VIF> 10,
maka antara variabel independen terjadi
masalah multikolinieritas (Gujarati, 1993).
Menurut Rosadi (2011), ada cara untuk
mengetahui multikolinieritas dalam suatu
model. Salah satunya adalah dengan melihat
koefisien korelasi dari output komputer. Jika
ada koefisien korelasi lebih besar dari 0,9, ada
gejala multikolinieritas.
Untuk mengatasi masalah multikolinearitas,
variabel independen yang berkorelasi dengan
variabel independen lainnya harus dihilangkan.
Dalam kasus metode GLS, model ini telah
diantisipasi dari multikolinieritas.
4) Uji heteroskedastisitas
Model regresi dikatakan terkena
heteroskedastisitas jika ada ketidaksamaan
varian dari residu dari pengamatan ke
pengamatan lain. Jika varians dari residual dan
satu pengamatan dengan pengamatan lain tetap,
itu disebut homokedastisitas. Juga, perbedaan
varian disebut heteroskedastisitas.
Keberadaan heteroskedastisitas dapat
membuat estimasi dalam model tidak efisien.
Secara umum, masalah heteroskedastisitas lebih
sering terjadi pada data penampang
dibandingkan dengan deret waktu (Gujarati,
1978).
Untuk mengetahui apakah ada
heteroskedastisitas, dalam hal ini, itu akan
dilakukan dengan melihat grafik sebar. Jika
dalam grafik, ada pola tertentu seperti titik yang
ada membentuk pola reguler tertentu
(bergelombang, melebar, lalu menyempit),
maka itu menunjukkan bahwa
heteroskedastisitas telah terjadi. Jika tidak ada
pola yang jelas, dan poin menyebar di atas dan
di bawah angka 0 pada pertumbuhan Y, tidak
ada heteroskedastisitas (Ghozali, 2001).
5) Uji Autokorelasi
Pengujian asumsi ketiga dalam model
regresi linier klasik adalah uji autokorelasi. Uji
autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi linier ada korelasi antara
kesalahan interupsi dalam periode t-1
(sebelum). Jika ada korelasi, maka ada masalah
autokorelasi. Tes autokorelasi dapat dilihat dari
nilai Durbin Watson. Jika nilai Durbin Watson
berada di wilayah dU ke 4-dU, dapat
disimpulkan bahwa model regresi tidak
mengandung autokorelasi.
C. Pengujian Signifikan
1. Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik
t)
Pengujian hipotesis secara parsial bertujuan
untuk mengetahui pengaruh dan signifikansi masing-
masing variabel independen terhadap variabel
dependen. Pengujian parsial dari koefisien regresi
secara parsial menggunakan uji-t pada tingkat
kepercayaan 95% dan tingkat kesalahan dalam
analisis (α) 1%, 5% atau 10% dengan ketentuan
tingkat kebebasan (df) = nk, di mana n adalah
ukuran sampel, k adalah jumlah variabel.
2. Uji Signifikansi Simultant (Uji F Statistik)
Tes ini untuk mengetahui apakah variabel
independen yaitu Non-Performing Loan (NPL),
Loan-to-Deposit Ratio (LDR), Biaya Operasional
Pendapatan Operasional (BOPO), dan Nilai Tukar
secara simultan memiliki pengaruh signifikan
terhadap variabel dependen. Tes ini dilakukan
dengan uji F pada tingkat kepercayaan 95% dan
tingkat kesalahan (α) 5% dengan derajat kebebasan
(df1) = k-1, derajat kebebasan (df2) = n-k.
3. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi R2 pada dasarnya
mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam
menjelaskan variasi dalam variabel independen.
Koefisien determinasi antara 0 dan 1 (0 <R2 <1),
nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel
independen untuk menjelaskan variasi dalam
variabel independen sangat terbatas. Nilai mendekati
1 berarti bahwa variabel independen memberikan
hampir semua informasi yang diperlukan untuk
memprediksi variasi model dependen (Gujarati,
2003).
Kelemahan mendasar menggunakan koefisien
determinasi adalah bias terhadap jumlah variabel
independen yang dimasukkan ke dalam model.
Untuk mengatasi masalah ini, langkah kelayakan
lain yang sesuai telah dikembangkan. Ukuran ini,
yang merupakan modifikasi dari R2, memberikan
penalti untuk menambahkan variabel penjelas yang
tidak secara signifikan mengurangi residu. Ukuran
ini disesuaikan menurut R2 (Doddy, 2012).
2.7 Hasil Penelitian
A. Instrumen Data Uji
1) Tes Stationary - Augmented Dicky-Fuller
Dengan menggunakan alpha 0,05 atau 5%,
ditemukan bahwa ROA, NPL dan OEOI lulus tes
stasioner pada 2nd Difference . Variabel lain yaitu
USD dan LDR lulus pada 1ST Difference yang
membuat semua variabel lulus tes stasioner
menggunakan Augmented Dicky-fuller.
Tabel 10 Stationary Test Result
Variable Test Probability
ROA Level 0.7930
1st Difference 0.2900
2nd Difference 0.0000
USD
Level 0.8405
1ST Difference 0.0002
NPL Level 0.6788
1st Difference 0.5752
2nd Difference 0.0005
LDR Level 0.2499
1st Difference 0.0000
OEOI Level 0.1243
1st Difference 0.0778
2nd Difference 0.0000
2) Uji Normalitas
Tes normalitas adalah tes yang digunakan untuk
memeriksa apakah data penelitian kami berasal dari
populasi yang distribusinya normal. Uji normalitas
bertujuan untuk mengetahui apakah data yang
diperoleh dari hasil penelitian berdistribusi normal
atau tidak dengan kondisi yang diuraikan di bawah
ini:
Tabel 11 normal Data Determination
Result Description
If probability >sig If Probability < Sig If Probability < Sig Abnormal Data
Saya mengambil signifikansi 5% atau 0,05 dan
kemudian mendapat probabilitas 0,674342, nilai
probabilitas lebih besar dari alpha dan mengambil
data tersebut dianggap normal.
Tabel 12 Normality Test Result
Probability Description
0.674342 Normal
3) Uji Multikolinearitas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji
apakah model regresi menemukan korelasi antara
variabel independen. Model regresi yang baik,
seharusnya tidak ada korelasi antara variabel
independen.
Salah satu cara untuk mengetahui
multikolinearitas dalam suatu model adalah dengan
melihat koefisien korelasi jika matriks korelasi tidak
memiliki nilai> 0,90 maka tidak ada
multikolinearitas dalam model.
Tabel 13 Multicollinearity Determination
Result Description If Value > 0.90 No Multicollinearity If Value < 0.90 Multicollinearity
Kita dapat melihat hasil uji multikolinearitas
pada variabel USD, NPL, LDR dan OEOI tidak ada
hubungan antar variabel sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak ada multikolinearitas dalam model
penelitian.
Tabel 14 Multicollinearity Result
USD NPL LDR OEOI
USD 1 0.573619 0.866971 (0.263174)
NPL 0.573619 1 0.296389 (0.285680)
LDR 0.866971 0.296389 1 (0.291756)
OEOI (0.263174) (0.285680) (0.291756) 1
4) Uji Heteroscedasticity
Tabel 15 Heteroscedasticity Determination
Result Description
Obs*R-squared > Sig
No Heteroscedasticity
Obs*R-squared < Sig
Heteroscedasticity
Jika probabilitas obs * R-squared> 0,05 maka
heteroskedastisitas tidak terjadi. Hasil yang muncul
adalah 13.13727 dimana nilainya lebih besar dari
0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
heteroskedastisitas dalam penelitian ini.
Tabel 16 Heteroscedasticity Result
Result Description
Obs*R-squared 13.13727 > 0.05
There is no heteroscedasticity
5) Uji Autokorelasi
Tabel 17 Heteroscedasticity Determination
Result Description
Obs*R-squared > Sig
No Autocorrelation
Obs*R-squared < Sig
Autocorrelation
Jika probabilitas obs * R-squared> 0,05 maka
autokorelasi tidak terjadi. Hasil yang diperoleh
adalah 3,101840 dimana nilainya jauh lebih besar
sehingga dapat disimpulkan bahwa autokorelasi
tidak terjadi
Tabel 18 Autocorrelation Result
Result Description
Obs*Squared 3.101840 > 0.05
There is no autocorrelation
2.7 Analisa Data
1) Regresi Linier Berganda
Regresi linier berganda dilakukan pada data dan
kemudian hasil koefisien diperoleh untuk setiap
variabel. Hanya variabel USD yang memiliki efek
positif sementara variabel lainnya yaitu NPL, LDR
dan BOPO memiliki efek negatif yang nilainya
dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 19 Multiple Linear Regression Result
Variable Coefficient Description
USD 0.000136 Positive
NPL (0.183510) Negative
LDR (0.014456) Negative
BOPO (0.067987) Negative
2) Uji-T
Jika probabilitas variabel y kurang dari 0,05
maka variabel independen memiliki pengaruh
signifikan terhadap variabel dependen. Dapat dilihat
pada tabel di bawah ini bahwa variabel USD, LDR
dan OEOI memiliki nilai probabilitas di bawah alpha
10% atau 0,10, membuat efek pada ROA signifikan.
NPL merupakan pengecualian karena memiliki nilai
di atas signifikansi sehingga membuatnya tidak
signifikan
Tabel 20 T-Test Result
Variable Probability Description
USD 0.0007 Significant
Effect
NPL 0.0764 Significant
Effect
LDR 0.0485 Significant
Effect
OEOI 0.0000 Significant
Effect
3) Uji-F
Jika nilai F-statistik di bawah alpha 0,10 atau
10%, maka semua variabel independen secara
simultan mempengaruhi variabel dependen, nilai
yang diperoleh adalah 0,0000.
Tabel 21 F-Test Result
Probability Description
0.000000 Significant influence
between independent
variables (X) together on
the dependent variable
(Y)
4) Penentuan Koefisien
Ini menunjukkan bahwa persentase kontribusi
variabel independen terhadap variabel dependen
adalah 77,94%. Atau, dapat diartikan bahwa variabel
independen yang digunakan dalam model mampu
menjelaskan 77,94% dari variabel dependen.
Sisanya 22,06% dipengaruhi oleh faktor lain di luar
model regresi
Tabel 22 Coefficient Determination
Result Description
R-squared
0.779456
77.94%
influence by
independent
variable in this
research
2.8 Hasil Penelitian
Setelah melakukan tes statistik dan tes
asumsi klasik, fungsi baru profitabilitas Bank
Central Asia diperoleh ROA = f (Nilai Tukar, NPL,
LDR, BOPO)
atau dapat ditulis dengan model ekonometrik:
ROA = α + β1(USD) + β2(NPL) + β3(LDR) +
β4(OEOI)
Dalam penelitian ini kami mengubah angka
beta dengan hasil koefisien penelitian sehingga kami
mendapatkan persamaan di bawah ini:
ROA = 7.57773959082 + 0.000136202870345USD
- 0.183510016552NPL - 0.0144564614845LDR -
0.0679866404277OEOI
Tabel 23 Research Result
Variable Coefficient Probability Description
USD 0.000136 0.0007 Positive
Significant
NPL (0.183510) 0.0764 Negative
Significant
LDR (0.014456) 0.0485 Negative
Significant
OEOI (0.067987) 0.0000 Negative
Significant
H1: Efek negatif dari Nilai Tukar terhadap
Pengembalian Aset (ROA)
Menyatakan bahwa pertumbuhan nilai tukar
berpengaruh positif dan signifikan terhadap
profitabilitas Bank Central Asia. Hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Ragil (2016) yang menyatakan
bahwa nilai tukar ROA memiliki hubungan negatif
yang tidak signifikan.
Tabel 24 Exchange Rate Result
Source Result
The result of this study Positive Significant
Mulyani, Ragil Teki.
2016
Negative not
Significant
Penelitian ini didukung oleh argumen
Sukirno (2006) bahwa perubahan nilai tukar
akan mempengaruhi pendapatan bank karena
akan mempersulit keuangan bank atau
perusahaan, terutama jika lembaga tersebut
menempatkan banyak cadangannya dalam mata
uang asing. Tabel 5.3 menggambarkan
hubungan antara nilai tukar dan ROA.
Tabel 25 Δ% in Exchange Rate (USD/IDR)
towards changes of ROA
Source : Fxtop.com and BCA Annual Report 2010 – 2017
H2: Efek Negatif dari Non-Performing Loan
on Return on Asset (ROA)
Menyatakan bahwa pertumbuhan Non-
Performing Loans memiliki pengaruh negatif
signifikan terhadap profitabilitas Bank Central
Asia. Hasil penelitian ini tidak setuju dengan
penelitian Kartika dan Muhammad (2006),
Kuntari Dasih (2014) yang menyatakan bahwa
pengaruh Non-Performing Loans adalah positif
dan tidak signifikan. Namun, penelitian ini
didukung oleh dan Riski Agustiningrum yang
menyatakan hubungan antara Non Performing
Loans dan Return on Asset berpengaruh negatif
signifikan. Penelitian Pandu (2008) juga
menyatakan bahwa hasilnya negatif walaupun
tidak signifikan.
Tabel 26 Changes in Exchange Rate (USD/IDR)
towards ROA
Source Result
The result of this
study
Negative Significant
Kartika Wahyu
Sukarno, Muhamad
Syaichu (2006)
Positive not
Significant
Pandu Mahardian
(2008)
Negative not
Significant
Riski Agustiningrum Negative Significant
Meskipun pertumbuhan NPL di bank-bank
BCA setiap triwulan tidak mencapai tingkat siaga
yang direkomendasikan oleh Bank Indonesia, yaitu
5%, tingkat kredit macet tetap menjadi alasan
sulitnya bank memperoleh manfaat dari penelitian
ini yang didukung oleh penelitian Wisnu (2004).
yang menyatakan bahwa antara NPL dan ROA
memiliki pengaruh negatif.
H3: Pengaruh Positif Rasio Pinjaman terhadap
Deposito (LDR) terhadap Pengembalian Aset
(ROA)
Menyatakan bahwa pertumbuhan Loan-to-
Deposit memiliki efek Negatif dan signifikan
terhadap profitabilitas Bank Central Asia. Hasil
penelitian ini ditentang oleh lima studi dari Kartika
dan Muhammad (2006), Pandu Mahardian (2008),
Kuntari Dasih (2014), Ardi Sepiyanto (2018) dan
Riski Agustinigrum yang menyatakan bahwa
hubungan antara Loan-to-Deposit adalah positif dan
signifikan.
Tabel 27 LDR Result
Source Result
The result of this
study
Negative
Significant
Kartika Wahyu
Sukarno, Muhamad
Syaichu (2006)
Positive Significant
Pandu Mahardian
(2008)
Positive Significant
Kuntari Dasih
(2014)
Positive Significant
Ardi Sepiyanto
(2018)
Positive Significant
Riski Agustiningrum Positive
Standar LDR yang baik adalah 85% hingga
110%. Oleh karena itu, manajemen harus dapat
mengelola dana yang dikumpulkan dari masyarakat
dan kemudian menyalurkannya kembali dalam
bentuk kredit.
Loan Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara
jumlah total kredit yang diberikan oleh bank dan
dana yang diterima oleh bank. Rasio ini
menunjukkan tingkat likuiditas suatu bank.
Sulistiyono (2005) menyatakan bahwa semakin
tinggi LDR menunjukkan kondisi likuiditas bank
yang lebih berisiko, sebaliknya semakin rendah LDR
menunjukkan kurangnya efektivitas bank dalam
pemberian pinjaman. Semakin tinggi LDR, laba
perusahaan memiliki kemungkinan untuk meningkat
asalkan bank mampu menyalurkan kredit secara
optimal.
Ahmad Buyung (2009) dan Budi Ponco (2008)
menyatakan dalam penelitian mereka bahwa LDR
memiliki pengaruh positif terhadap ROA tetapi jika
kita melihat pertumbuhan antara LDR, OEOI dan
NPL di BCA dari 2010 - 2017 pada tabel 5.5 kita
dapat melihat dengan jelas alasan mengapa
pertumbuhan LDR Ini harus memiliki efek positif
pada pertumbuhan ROA menjadi pengaruh negatif
dalam penelitian ini. LDR BCA memiliki pola di
mana setiap kenaikan diikuti oleh peningkatan biaya
operasional (BOPO) yang lebih besar dan dengan
meningkatkan kredit bermasalah (NPL). Jadi dapat
disimpulkan bahwa pemberian pinjaman kepada
BCA tidak cukup efisien untuk memberikan
keuntungan kepada bank.
Table 28 Changes in Internal Effect (BCA)
-20
-10
0
10
20
30
20
10
/Q2
20
11
/Q1
20
11
/Q4
20
12
/Q3
20
13
/Q2
20
14
/Q1
20
14
/Q4
20
15
/Q3
20
16
/Q2
20
17
/Q1
20
17
/Q4
NPL LDR OEOI
Source : BCA Annual Report 2010 – 2017
*Table Data Detail is in the Attachment
H4: Pengaruh Negatif Biaya Operasional
Pendapatan Operasional (BOPO) pada
Pengembalian Aset (ROA)
Pertumbuhan Biaya Operasional Pendapatan
Operasional memiliki efek negatif dan tidak
signifikan terhadap profitabilitas Bank Central Asia.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Kartika
dan Muhammad (2006), Pandu Mahardian (2008),
Kuntari Dasih (2014) dan Aluisius Wishnu
Nugrohoa yang menyatakan hasilnya negatif tetapi
empat penelitian menemukan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara Biaya Operasional
Pendapatan Operasional dan Pengembalian Aset.
Table 29 BOPO Result
Source Result
The result of this study Negative Significant
Kartika Wahyu
Sukarno, Muhamad
Syaichu (2006)
Negative Significant
Pandu Mahardian
(2008)
Negative Significant
Kuntari Dasih (2014) Negative Significant
Aluisius Wishnu
Nugrohoa (2011)
Negative Significant
Penelitian ini didukung oleh pernyataan Wisnu
(2004) dan Bahtiar (2003) yang menyatakan bahwa
ada pengaruh negatif antara variabel BOPO terhadap
ROA.
3. Penutup
Berdasarkan hasil analisis data deret waktu dan
pengujian hipotesis dalam penelitian ini, kesimpulan
berikut diperoleh:
1. Variabel USD memiliki efek positif
signifikan pada ROA dengan koefisien
0,000136 dan probabilitas 0,0007, ini
berbeda dari hipotesis dalam penelitian ini
yang menyatakan bahwa hubungan USD
dengan ROA negatif. Nilai tukar
membuktikan bahwa nilai tukar sangat
penting untuk pendapatan bank. Hal ini juga
didukung oleh kondisi BCA pada 1997-1998
ketika mengalami bank rush selama krisis
ekonomi Indonesia. Pada tahun 1998 BCA
menjadi Bank Take Over (BTO) dan
ditempatkan di bawah program
rekapitalisasi dan restrukturisasi yang
dioperasikan oleh Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN), sebuah Badan
Pemerintah.
2. Variabel NPL memiliki pengaruh negatif
signifikan terhadap ROA dengan koefisien
(0,183510) dan probabilitas 0,0764, ini
konsisten dengan hipotesis dalam penelitian
ini. Semakin tinggi NPL suatu bank
menyulitkan bank untuk mendapatkan
keuntungan, karena ketidakmampuan
peminjam untuk membayar pinjaman.
3. Variabel LDR berpengaruh negatif
signifikan terhadap ROA dengan koefisien
(0,014456) dan probabilitas 0,0485, ini
berbeda dengan hipotesis dalam penelitian
ini yang menyatakan bahwa hubungan LDR
dengan ROA adalah positif. Meskipun
umumnya semakin tinggi LDR di bank
memberikan banyak keuntungan karena
jumlah yang dibagikan juga besar, kondisi
yang dialami BCA adalah ketika LDR
meningkat tetapi NPL dan OEOI juga
meningkat. Sehingga membuat distribusi
LDR tidak optimal.
4. Variabel OEOI memiliki hubungan negatif
yang signifikan terhadap ROA dengan
koefisien (0,067987) dan probabilitas
0,0000, ini mengikuti hipotesis dalam
penelitian ini. Semakin besar OEOI
menunjukkan bahwa semakin banyak bank
yang tidak efisien dalam memperoleh laba,
karena jumlah uang yang digunakan untuk
biaya operasional mengurangi laba yang
bias diperoleh oleh bank.
3.2 Limitasi Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini meliputi:
1. Ada rasio dan variabel keuangan lain yang
dapat mempengaruhi ROA, tetapi dalam
penelitian ini hanya memberikan nilai tukar
dan rasio NPL, LDR dan OEOI sebagai
indikator untuk perubahan profitabilitas
bank.
3.3 Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian,
peneliti memberikan saran sebagai berikut:
1. Untuk Akademisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk menambah wawasan pengetahuan dan dapat
menambah referensi untuk penelitian lebih lanjut,
terutama untuk mahasiswa Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, terutama untuk Departemen Ekonomi dan
Perbankan.
2. Untuk lembaga keuangan
Nilai ROA di Bank Central Asia diperkirakan
akan meningkat karena semakin besar ROA lembaga
keuangan syariah, semakin besar keuntungan yang
dicapai oleh lembaga, dan semakin baik posisi
keuangan lembaga dalam hal penggunaan asetnya.
3. Untuk peneliti selanjutnya
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat
memperbanyak sampel dan tidak hanya di satu bank,
tetapi bank di seluruh Indonesia, dan di lembaga
keuangan yang lebih besar. Selain itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
referensi khususnya mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi Return On Asset Bank Central Asia
Daftar Pustaka
Achmad,T. & Kusumo,W.K.2003 . Analisis Rasio-
Rasio Keuangan Sebagai Indikator Dalam
Memprediksi Potensi Kebangkrutan Perbankan Di
Indonesia. Media Ekonomi & Bisnis, Vol.XV,No.1
(Juni)
Adiningsih, sri dkk. 1998. Perangkat Analisis dan
Teknik Analisis di Pasar Modal Indonesia : PT.
Bursa Efek Jakarta.
Ahmad Buyung Nusantara. 2009. “Analisis
Pengaruh NPL, CAR, LDR, dan BOPO Terhadap
Profitabilitas Bank”. Tesis. Universitas Diponegoro.
Ali, Masyhud.2006. Manajemen Risiko:Strategi
Perbankan dan Dunia Usaha Menghadapi
Tantangan Globalisasi Bisnis.PT. RajaGrafindo
Persada. Jakarta
Almilia, 2005, Almilia, Luciana Spica, dan Winny
Herdiningtyas, 2005. “Analisa Rasio Camel terhadap
Prediksi Kondisi Bermasalah pada Lembaga
Perbankan Periode 2000-2002”. Jurnal Akuntansi
dan Keuangan . Volume 7 Nomor 2, STIE Perbanas,
Surabaya, hal 12.
Altan, M., Yusufazari, H., & Bedük, A. (2014).
Performance Analysis of Banks in Turkey Using
CAMEL Approach. Paper presented at the
Proceedings of International Academic Conferences.
Annual Report. PT Bank Central Asia Tbk Year 2010
– 2017
Bank Indonesia. 1997. Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor : 30/2/UPPB tanggal 30 April 1997 tentang
Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank.
Jakarta:
Bank Indonesia
- 1997. SK DIR BI Nomor : 30/11/KEP/DIR tanggal
30 April 1997 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank. Jakarta: Bank Indonesia.
- 1997. SK DIR BI Nomor : 30/21/KEP/DIR tanggal
30 April 1997 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank. Jakarta: Bank Indonesia.
- 1998. UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun
1998. Jakarta: Bank Indonesia.
- 2008. UU RI No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia.2009. Peraturan Bank Indonesia
No.11/25/PBI/2009 – Perubahan atas PBI NO.
11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bank Umum. Jakarta:Bank Indonesia
Bank Indonesia. 2004. Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 6/23/DPNP Perihal Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank. Jakarta: Bank Indonesia
Baral, K. J. (2005). Health check-up of commercial
banks in the framework of CAMEL: A case study of
joint venture banks in Nepal. Journal of Nepalese
Business Studies, 2(1), 41-55.