Post on 16-Oct-2021
transcript
i
IMPLIKATUR TUTURAN GURU
DALAM PEMBELAJARAN DI SMK PUTRA TAMA BANTUL DAN SMA
PANGUDI LUHUR YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2017/2018
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Program Magister
Oleh:
EKA TANJUNG PRIPAMBUDI
NIM: 151232021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
JULI 2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tulisan ini saya persembahkan kepada Allah SWT sebagai bentuk syukur
saya atas rahmat yang telah diberikan, Kedua orang tua saya, Bapak
Soewarno dan Ibu Erentina Moerwani, dan seluruh keluarga. Tidak lupa
kepada teman-teman saya yang telah mendukung saya dalam penyelsaian
penulisan tesis ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN MOTTO
Selamat Sejahtera Atasmu Karena Kesabaranmu, Maka Alangkah
Nikmatnya Tempat Kesudahan Itu
Ar-Ra’d (13:24)
Orang Yang Nasih Terganggu Dengan Hinaan Dan Pujian Manusia,
Berarti Ia Masih Hamba Amatiran
Gus Dur
Apa Gunanya Ilmu Kalau Tidak Memperluas Jiwa Seseorang
Sehingga Ia Berlaku Seperti Samudera Yang Menampung Sampah-
Sampah?
Apa Gunanya Kepandaian Kalau Tidak Memperbesar Kepribadian
Manusia Sehingga Ia Makin Sanggup Memahami Orang Lain?
Cak Nun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Pripambudi, Eka Tanjung. 2018. “Implikatur Tuturan Guru Dalam Pembelajaran
Di SMK Putra Tama Bantul Dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta
Tahun Ajaran 2017/2018”. Tesis. Yogyakarta: MPBSI, FKIP, USD.
Penelitian ini mengkaji perihal implikatur yang terdapat dalam proses
percakapan antara guru dan murid dalam pembelajaran. Penelitian ini bertujuan
(1) mendeskripsikan wujud implikatur tuturan guru dalam pembelajaran, (2)
mendeskripsikan implikatur tuturan guru dalam pembelajaran.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data
pada penelitian ini adalah tuturan guru yang berada di SMK Putra Tama Bantul
dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Data dalam penelitian ini adalah tuturan-
tuturan guru yang berada di SMK Putra Tama Bantul dan SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta yang diindikasikan mengandung implikatur. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah teknik simak bebas libat cakap dan teknik catat.
Kemudian, metode analisis data dalam penelitian ini adalah metode padan dengan
teknik dasar pilih unsur penentu. Teknik PUP tersebut akan dikembangkan
dengan daya pilah pragmatis. Pemilahan unsur sesuai dengan wujud-wujud
tuturan yang diindikasikan mengandung implikatur, selanjutnya dipilah atas dasar
jenis-jenis implikatur.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan menjadi beberapa hal sebagai
berikut. Pertama, wujud tuturan yang terdapat dalam tuturan guru sesuai dengan
fungsi komunikatifnya adalah (1) Berwujud perintah/imperatif, (2) berwujud
pernyataan/deklaratif, dan (3) berwujud pertanyaan/interogatif. Kedua, implikatur
yang terdapat dibalik wujud tuturan adalah (1) memerintah, (2) melarang, (3)
menasihati, (4) menyindir, (5) memotivasi, dan (6) ngelulu.
Kata kunci: pragmatik, implikatur, guru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Pripambudi, Eka Tanjung. 2018. "Implicature Speech of Teacher's in Learning at
SMK Putra Tama Bantul And SMA Pangudi Luhur Yogyakarta
Academic Year 2017/2018 ". THESIS. Yogyakarta: MPBSI, FKIP, USD.
This study examines the implicatures contained in teacher's speech to
students in learning. This study aims to (1) describe the implicature form of
teacher's speech in learning, (2) to describe the implicatur purpose of teacher's
speech in learning.
This type of research is qualitative descriptive research. The data source
in this research is teacher's speech which is in SMK Putra Tama Bantul and SMA
Pangudi Luhur Yogyakarta. The data in this research are teacher's speeches that
are in SMK Putra Tama Bantul and SMA Pangudi Luhur Yogyakarta which is
indicated to contain implicatur. Data collection techniques in this research is a
technique of free libat ably proficient and technique of note. Then, method of data
analysis in this research is method of padan with basic technique select element
determinant. The PUP technique will be developed with pragmatic powers.
Segregation of elements in accordance with the forms of speech indicated
contains implicatures, then sorted on the basis of the types of implicatures.
From the results of this study can be summed up into several things as
follows. First, the form of speech contained in the teacher's speech in accordance
with its communicative function is (1) Tangible command / imperative, (2)
tangible statement / declarative, and (3) intangible question / interrogative.
Second, the implicatur's purpose behind the speech is (1) to rule, (2) forbid, (3) to
advise, (4) insinuate, (5) to motivate, and (6) ngelulu.
Keywords: Pragmatic, implicatures, teacher
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul
Implikatur Tuturan Guru dalam Pembelajaran di SMK Putra Tama Bantul Dan
SMA Pangudi Luhur Yogyakarta Tahun Ajaran 2017/2018. Tesis ini disusun
untuk melengkapi syarat memperoleh gelar Magister Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa selama proses pelaksanaan penelitian yang telah
penulis lakukan telah melibatkan berbagai pihak, untuk itu ijinkalah penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Dr. R. Kunjana Rahardi M.Hum., Ketua Program Studi Universitas Sanata
Dharma Program Magister dan dosen pembimbing kedua saya yang telah
memberikan waktu, masukan, saran, kritikan, dan bimbingan, serta motivasi
bagi saya dalam penyelesaian tesis ini.
3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., dosen pembimbing pertama yang telah bersedia
meluangkan waktu, dan pikirannya untuk membimbing, memberikan saran,
memotivasi serta kritikan yang membangun dalam proses penyusunan tesis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
4. Dr. Emanuel Sunarto, M.Hum., dosen triangulator yang telah bersedia
meluangkan waktu dan pikirannya untuk memvalidasi hasil analisis data
dalam penelitian ini.
5. Keluarga besar SMK Putra Tama Bantul yang telah memperkenankan peneliti
untuk melakukan penelitian di SMK Putra Tama Bantul.
6. Keluarga besar SMA Pangudi Luhur Yogyakarta yang telah memperkenankan
peneliti untuk melakukan penelitian di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.
7. Bapak Widi, staf sekretariat prodi MPBSI yang selama ini telah banyak
membantu dan memberikan berbagai kemudahan untuk memenuhi berbagai
keperluan administratif.
8. Orang tua saya, Bapak Soewarno dan Ibu Erentina Moerwani yang telah
memberikan segalanya bagi saya, baik dukungan moril, materi, dan nasihat-
nasihatnya.
9. Teman-teman Magister PBSI angkatan kedua, Bapak Agung Siswanto,
Elizabet Oktaviani, Caecilia Syahdu, Maria Dina, Melyda Rahman, dan Marta
Susanti yang telah memberikan waktu berdiskusi dan memberikan semangat
bagi penulis.
10. Teman-teman Magister PBSI angkatan pertama yang selalu memberikan
nasihat-nasihat, saran, dan kritik bagi saya dalam menyelesaikan penulisan ini.
11. Teman-teman Magister PBSI angkatan ketiga yang selalu memberikan
semangat dan informasi-informasi terbaru kepada penulis.
12. Teman dekatku, Alfiyatun Nasiroh yang selalu memberikan semangat,
bantuan, dan dukungan untuk segera menyelesaikan tulisan ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. iv
HALAMAN MOTTO ................................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..................................................... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 5
1.5 Batasan Istilah ......................................................................................... 6
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................. 7
BAB II: LANDASAN TEORI .................................................................... 9
2.1 Pragmatik ................................................................................................ 9
2.2 Ruang Lingkup Pragmatik ...................................................................... 11
2.2.1 Praanggapan ................................................................................. 11
2.2.2 Tindak Tutur ................................................................................. 12
2.2.3 Entailment..................................................................................... 13
2.3 Fenomena-fenomena Pragmatik ............................................................. 14
2.3.1 Fenomena Deiksis ........................................................................ 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
2.3.2 Fenomena Kesantunan Berbahasa ................................................ 16
2.3.3 Fenomena Ketidaksantunan Berbahasa ........................................ 17
2.3.4 Fenomena Kefatisan Berbahasa ................................................... 19
2.3.5 Fenomena Implikatur .................................................................... 20
2.4 Implikatur ................................................................................................ 21
2.4.1 Implikatur Percakapan .................................................................. 22
2.4.1.1 Implikatur Percakapan Umum ........................................ 31
2.4.1.2 Implikatur Percakapan Berskala ..................................... 32
2.4.1.3 Implikatur Percakapan Khusus ....................................... 32
2.4.2 Implikatur Konvensional ........................................................... 33
2.5 Konteks dalam Pragmatik ....................................................................... 34
2.6 Bahasa Guru dan Bahasa Murid ............................................................. 39
2.6.1 Bahasa Guru .............................................................................. 39
2.6.2 Bahasa Murid............................................................................. 44
2.7 Kerangka Berpikir ................................................................................... 46
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 47
3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................ 47
3.2 Sumber Data, Data Penelitian, dan Objek Penelitian.............................. 48
3.3 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 49
3.4 Instrumen Penelitian ............................................................................... 51
3.5 Teknik Analisis Data ............................................................................... 52
3.6 Triangulasi Data ...................................................................................... 54
BAB IV: HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ................... 55
4.1 Deskripsi Data ......................................................................................... 55
4.2 Hasil Analisis Data ................................................................................. 56
4.2.1 Wujud Implikatur dalam Pembelajaran ........................................ 56
4.2.1.1 Wujud Implikatur Konvensional ..................................... 57
4.2.1.2 Wujud Implikatur Percakapan ........................................ 64
4.2.2 Implikatur dalam Pembelajaran .................................................... 84
4.2.2.1 Implikatur Konvensional ................................................ 85
4.2.2.2 Implikatur Percakapan .................................................... 91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian .................................................................. 110
4.3.1 Wujud Implikatur Tuturan Guru di dalam Pembelajaran ............. 110
4.3.1.1 Wujud Implikatur Konvensional ..................................... 111
4.3.1.2 Wujud Implikatur Percakapan Umum ............................ 113
4.3.1.3 Wujud Implikatur Percakapan Berskala ......................... 116
4.3.1.4 Wujud Implikatur Percakapan Khusus ........................... 117
4.3.2 Implikatur Tuturan Guru di dalam Pembelajaran ....................... 119
4.3.2.1 Implikatur Konvensional ................................................ 120
4.3.2.2 Implikatur Percakapan Umum ........................................ 122
4.3.3.3 Implikatur Percakapan Berskala ..................................... 123
4.3.3.4 Implikatur Percakapan Khusus ....................................... 124
BAB V: PENUTUP ..................................................................................... 128
5.1 Simpulan ................................................................................................. 127
5.2 Saran ....................................................................................................... 130
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 132
LAMPIRAN ................................................................................................. 136
BIOGRAFI PENULIS ................................................................................ 177
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu kemampuan berbahasa manusia adalah berbicara. Berbicara
memiliki maksud untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain. Suatu
tuturan dapat terjadi pada individu satu dengan individu lainnya, atau individu
dengan kelompok, maupun antarkelompok. Permasalahan yang terjadi kini sering
tidak tercapainya maksud dari penutur kepada mitra tuturnya. Hal ini disebabkan
oleh ketidakpahaman maksud mitra tutur terhadap tuturan dari penuturnya. Secara
umum, kemampuan berbicara merupakan salah satu bentuk komunikasi yang
sering digunakan oleh penutur untuk menyampaikan berbagai maksud.
Melalui pengkajian studi pragmatik dalam pembelajaran di kelas ini
diharapkan gap pemahaman suatu makna yang ada pada suatu komunikasi dapat
dihindari. Kajian pragmatik menilik suatu persoalan yang terjadi dalam lingkup
pembelajaran dapat memberikan gambaran nyata tentang seringnya tidak terjadi
pemahaman suatu makna komunikasi. Diungkapkan oleh Yule (2006:5) perihal
manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa seseorang dapat bertutur
kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud atau tujuan
mereka, dan jenis-jenis tindakan yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang
berbicara.
Kasus mengenai ketidaklancaran dari suatu komunikasi dalam interaksi
antara guru dan siswa terjadi di SMA N 1 Kendari, Sulawesi Tenggara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Ditelusuri melalui berita online yang dikutip dari laman
https://news.okezone.com/read/2017/10/23/340/1800393/astaga-guru-sma-di-
kendari-dihajar-orangtua-siswa-ini-sebabnya dan diakses pada tanggal 19 November
2017, pukul 07:32 WIB), bahwa telah terjadi kasus penganiayaan yang dilakukan
oleh salah satu orang tua siswa dari SMA tersebut. peristiwa tersebut terjadi
dilatarbelakangi tidak terimanya salah satu siswa yang diberikan nasihat oleh guru
yang bernama Hayari. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Jumat, 20 Oktober 2017
pukul 10 WITA di sekolah. Teguran yang tidak diterima oleh siswa berinisial
CHD berupa teguran lisan dengan tuturan "Jangan begitu dengan gurumu (sambil
mengibaskan empat lembar kertas ke wajah CHD), sopan," jelas Hayari. Akan
tetapi siswa tersebut tetap melaporkan perihal kejadian tersebut kepada ayahnya
yang berinisial SD. Peristiwa pemukulan kepada Hayari yang dilakukan oleh SD
pun terjadi. Kasus ini kini tengah diselidiki oleh Mapolres Kendari. Peristiwa
tersebut seakan menjadi bom waktu yang akan terjadi di kemudian hari. Hal ini
harus menjadi perhatian khusus bagi dunia pendidikan.
Hal serupa terjadi di SMK N 2 Makasar Sulawesi Selatan pada periode 10
Agustus 2016. Dikutip dari laman http://regional.liputan6.com/read/2575357/5-
konflik-pelik-guru-versus-siswa-berujung-pidana yang diakses pada tanggal 19
November 2017 (pukul 08:35 WIB) menginformasikan bahwa terjadi tindak
kekerasan oleh oknum orang tua siswa yang melakukan pemukulan terhada guru
dari anaknya sendiri. Peristiwa tersebut terjadi dilatar belakangi oleh tidak
terimanya salah satu siswa yang dinasehati sembari ditepuk pundaknya karena
tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah. Akan tetapi murid tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
melaporkan kejadian tersebut kepada ayahnya, sehingga sang ayah menyusul
anaknya di sekolah untuk menyelsaikan masalah tersebut. Namun, ketika ayah
dan anak tersebut berpapasan dengan sang guru, sang ayah langsung menghantam
wajah korban dan si anak atau murid tersebut turut menghakimi sang guru.
Beruntung, kejadian tersebut diketahui para murid lainnya yang segera
menyelamtkan sang guru. Peristiwa ini pun sempat viral di sosial media saat itu
dan kasus tersebut telah diselesaikan secara kekeluargaan. Dua kasus yang
melibatkan guru, siswa, hingga orang tua siswa tersebut menjadikan cambukan
bagi dunia pendidikan untuk selalu memperbaiki komunikasi terhadap siswa
maupun terhadap guru. Apabila komunikasi yang secara frontal atau terasa kasar
dapat membuahkan bencana bagi si penutur.
Secara khusus dalam dunia pendidikan, komunikasi lisan sering digunakan
antara guru dengan peserta didik pada jenjang SMA/K. Hal ini tentu sangat
penting untuk diketahui, karena siswa dan guru harus saling memahami
komunikasi yang sering terjadi. Hal itu untuk menghindarkan dari
kesalahpahaman dan demi kesuksesan dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan
bagi siswa. Hal ini memberikan pandangan bahwa siswa harus memiliki
kemampuan untuk memahami bentuk-bentuk pragmatik dalam pembelajaran
bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan untuk melancarkan proses kegiatan belajar
mengajar. Hal tersebut tentu tidak hanya sebatas mengetahui saja, namun juga
dapat menerapkan aspek-aspek pragmatik yang dihasilkan oleh para guru. Akan
tetapi, masih banyak peserta didik yang belum memahami bentuk-bentuk aspek
pragmatik khususnya dalam pembelajaran. Permasalahan ini otomatis akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berdampak pada siswa yang tidak menerapkan konsep pragmatik dalam setiap
pembelajaran.
Penelitian ini merujuk pada salah satu fenomena pragmatik, yakni
implikatur yang terjadi di SMK Putra Tama Bantul dan SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta. Pemilihan kedua sekolah tersebut dilatarbelakangi oleh konteks
budaya peserta didik yang berbeda. Perbedaan tersebut adalah peserta didik dari
SMK Putra Tama Bantul mayoritas berasal dari Indonesia bagian timur,
sedangkan peserta didik SMA Pangudi Luhur Yogyakarta mayoritas berasal dari
pulau Jawa atau Yogyakarta khususnya. Maka dari itu, dari penelitian ini dapat
menghasilkan wujud-wujud implikatur dan maksud implikatur yang berasal dari
dua sekolah berbeda kultur peserta didik. Implikatur memberikan pandangan
bahwa suatu maksud dari tuturan tidak tampak pada tuturan tersebut, dengan kata
lain bahwa suatu maksud yang diharapkan oleh penutur terkadang tidak tersurat
secara fisik atau gramatikal. Akan tetapi melalui penanda-penanda yang
melingkupinya, yakni konteks yang menaungi tuturan tersebut. Konteks dalam
implikatur memiliki fungsi untuk menjembatani pemahaman penutur dengan
mitra tutur, sehingga komunikasi dapat terjalin dengan baik. Diharapkan melalui
penelitian ini dapat membantu para guru untuk dapat menggunakan implikatur
pada waktu dan situasi yang tepat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah besar,
yakni bagaimana implikatur tuturan guru dalam pembelajaran di SMK Putra Tama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Bantul dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta? Adapun dari rumusan masalah
tersebut menghasilkan sub pertanyaan, sebagai berikut:
1. Apa saja wujud implikatur guru di dalam pembelajaran SMK Putra Tama
Bantul dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta?
2. Apa saja implikatur guru di dalam pembelajaran SMK Putra Tama Bantul dan
SMA Pangudi Luhur Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat ditemukan tujuan yang
hendak dicapai dari penelitian ini, yakni untuk mendeskripsikan implikatur guru
SMK Putra Tama Bantul dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta? Kemudian dibuat
menjadi sub-sub tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan wujud implikatur guru di dalam pembelajaran SMK Putra
Tama Bantul dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.
2. Mendeskripsikan implikatur guru di dalam pembelajaran SMK Putra Tama
Bantul dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi banyak khalayak baik manfaat secara praktis dan teoretis
a. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah berupa deskripsi mengenai wujud-
wujud implikatur dan maksud yang tersembunyi atau implikatur yang
terkandung dalam tuturan guru, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu
referensi pemikiran atau bakal teori baru dalam kajian implikatur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangsih strategi
berkomunikasi guru kepada peserta didik dalam pembelajaran. Maka dari itu,
selain kecakapan berkomunikasi, guru dapat meningkatkan rasa humanis
dalam setiap bertutur kepada peserta didik, sehingga dapat menghindarkan
interaksi dari kekerasan dalam bentuk verbal.
1.5 Batasan Istilah
1. Pragmatik
Levinson (1983: 7) mengungkapkan bahwa Pragmatics is the study of
those relations between language and context that are grammaticalized, or
encoded in the structure of a language. Pendapat tersebut juga didukung oleh
Yule (2006:5) yang menyatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang hubungan
antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Dari kedua
pendapat tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pragmatik adalah hubungan
antara aspek-aspek linguistik dengan konteks yang melingkupi suatu peristiwa
tutur.
2. Konteks
Yule (1996: 21) menyatakan bahwa konteks berarti fisik lingkungan
tempat kata digunakan. Finnegan dkk. (1997: 345) menyatakan bahwa unsur
penting dalam penafsiran suatu ujaran adalah konteks di mana itu diucapkan.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa konteks adalah unsur-unsur
keadaan di luar bahasa yang melingkupi suatu tuturan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
3. Implikatur
Brown dan Yule (1996) mengungkapkan bahwa istilah implikatur dipakai
untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan
oleh penutur yang berbeda dengan apa yang sebenarnya yang dikatakan oleh
penutur. Selain itu perihal pengertian implikatur, Grice (1975) dalam artikel yang
berjudul Logic and Conversation menyatakan bahwa maksud tidak tampak
dalam tuturan yang dilisankan atau dituliskan oleh penutur. Maka dari itu,
implikatur merupakan kajian perihal apa yang dituturkan atau dituliskan berbeda
dengan maksud yang diinginkan oleh penutur.
4. Bahasa guru
Rod Ellis (1985) mengungkapkan bahwa bahasa guru atau teacher talk
adalah bahasa khusus yang digunakan oleh guru saat mengatasi pembelajar
bahasa kedua di kelas.
1.6 Sistematika Penelitian
Laporan penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan
pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan enam hal yaitu: (1) latar belakang
penelitian , (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5)
batasan istilah, dan (6) sistematika penelitian. Bab II merupakan kajian pustaka
yang terdiri atas (1) pragmatik (2) fenomena-fenomena pragmatik, (3) Implikatur
sebagai fenomena pragmatik (4) Konteks dalam pragmatik, (5) bahasa guru, dan
(6) kerangka berpikir. Bab III merupakan metodologi penelitian. Dalam bab tiga
dipaparkan (1) jenis penelitian, (2) sumber data, data, dan objek penelitian, (3)
teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data dan (6)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
triangulasi data. Bab IV merupakan pembahasan, yang berisi deskripsi data dan
hasil analisis data serta pembahasan. Bab V merupakan penutup yang terdiri atas
simpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pragmatik
Pragmatik sering sekali dipadupadankan dengan kajian semantik yang
memiliki concern dalam menelaah suatu makna dalam tuturan komunikasi. Akan
tetapi, Leech (1993:8) memberikan perbedaan mengenai kedua kajian linguistik
sebagai berikut, semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang
melibatkan dua segi (dyadic), seperti dalam pertanyaan “Apa artinya X?”,
sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang
melibatkan tiga segi (triadic) seperti dalam pertanyaan “Apa maksudmu dengan
X?” Maka dari itu dapat diambil suatu benang merah mengenai pemahaman awal
pragmatik yang maknanya diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur.
Leech (1993:8) menjelaskan secara gamblang perihal pengertian pragmatik,
bahwa pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-
situasi ujar (speech situations). Hal ini kembali menambahkan pemahaman awal
perihal aspek dasar yang ada pada pragmatik, yakni selain makna juga ada situasi
dalam suatu komunikasi yang memiliki suatu maksud yang lain.
Cruse (2000: 16) dalam Cummings (2007:2) menyatakan bahwa pragmatik
dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang
paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh
konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang
digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks
tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut. Levinson (1983:9) menyatakan
pragmatik merupakan studi linguistik yang mempelajari hubungan antare bahasa
dengan konteks. Unsur-unsur luar bahasa yang menjadi bagian dari konteks
saling berhubungan dengan pembentukan atau pengkodean bahasa yang
digunakan oleh penutur dengan mitra tutur dalam mencapai pemahaman maksud.
Levinson (1983: 9) menyatakan pragmatics is the study of those relations
between language and context that are grammaticalized, or encoded in the
structure of a language. Pada penjelasan tersebut merujuk pada bentuk atau
kemasan suatu tuturan yang mengandung pragmatik, sehingga tampak bahwa
suatu topik pembicaraan memiliki suatu makna yang lain dari arti yang
sesungguhnya, bahkan arti dalam tuturan belum jelas. Yule (2006:5)
berpendapat bahwa pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-
bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Pendapat tersebut memberikan
penegasan perihal aspek pragmatik dalam suatu bentuk linguistik, baik verba
maupun nonverba yang berlatar belakang dari pemakainya atau penuturnya.
Maka dari itu pemahaman mengenai linguistik tidak hanya melalui pemahaman
secara gramatikal saja untuk mengetahui makna suatu struktur bahasa, melainkan
juga memahami suatu konteks dan latar belakang pembicara atau penutur.
Putrayasa (2014:14) mengungkapkan bahwa pragmatik merupakan telaah
penggunaan bahasa untuk menuangkan maksud dalam tindak komunikasi sesuai
dengan konteks dan keadaan pembicaraan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
2.2 Ruang Lingkup Pragmatik
Setelah mengetahui mengenai kajian pragmatik pada bahasan sub bab
sebelumnya, selanjutnya akan dibahas secara singkat perihal ruang lingkup dan
fenomena yang ada pada kajian pragmatik. Ruang lingkup tersebut ialah
praanggapan, tindak tutur, dan entailment.
2.2.1 Praanggapan
Praanggapan atau presuposisi berasal dari perdebatan dalam ilmu filsafat,
khususnya tentang hakekat rujukan (apa-apa, benda/keadaan, dan sebagainya)
yang dirujuk atau ditunjuk oleh kata, frasa, atau kalimat dan ungkapan-ungkapan
rujukan (Nababan, 1987) dalam Putrayasa (2015: 77). Secara gramatikal,
presuposisi memiliki arti “menduga sebelumnya”. Yule (2006:43) menyatakan
bahwa praanggapan adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai
kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Prinsip yang harus dipegang
bahwa pranggapan adalah penutur, bukan kalimat. Secara garis besar,
praanggapan memiliki kekhususan pada bagian asumsi-asumsi yang menjadi
anggapan terhadap suatu objek tuturan. Berikut adalah contoh yang dapat
menunjukkan suatu praanggapan, yakni:
Tuturan
Guru : “Gimana mas? Sen, gimana sen?”
Murid : ”Iya bu, lanjut saja bu” (3/4/SMA)
Konteks: situasi terasa sedikit santai karena guru selesai menjelaskan materi,
sehingga beberapa murid ramai. Maksud yang terdapat dalam pertuturan tersebut
adalah memerintah murid untuk tenang dan murid tersebut paham akan maksud
dari pertanyaan guru tersebut. Bentuk tuturan berupa pertanyaan. Nada bicara
terdengar meninggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Dari contoh tuturan tersebut, dapat diketahui bagian praanggapannya. Hal
ini dilihat dari jawaban murid atas pertanyaan dari guru. Murid menyadari dan
beranggapan bahwa guru sekadar memerintahkan dia untuk tenang dan kembali
memperhatikan guru.
2.2.2 Tindak Tutur
Chaer dan Agustina (2004:40) menjelaskan bahwa tindak tutur merupakan
gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh
kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Maka dari itu,
proses tindak tutur membutuhkan kemampuan psikologis seorang penutur
maupun mitra tutur dalam berkecimpung pada suatu situasi tertentu. Hal ini akan
memberikan pemahaman bahwa suatu proses interaksi bahasa akan berjalan
lancar bila antara penutur dan mitra tutur memahami situasi atau bahasan suatu
percakapan dengan sama. Penjabaran mengenai tindak tutur atau speech act
digambarkan seperti kata “baik” yang ditujukan kepada seseorang dapat
memiliki makna memuji, tetapi juga dapat memiliki makna sebaliknya yang
mengacu pada konteks sesuatu hal yang rusak. Tindak tutur sendiri menjadi
sebuah unsur kebahasaan kebermaknaan yang lahir dari sosial masyarakat
penutur, sehingga suatu tuturan lahir dari suatu interaksi sosial.
Tindak tutur dibagi atas 3 jenis, yakni lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Searle
(1975) memberikan paparan mengenai jenis tindak tutur menjadi 3 jenis, yakni
tindak lokusioner, ilokusioner, dan perlokusioner. Didukung oleh Austin yang
juga merumuskan jenis tindak tutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak
ilokusi (ilocutionary act) dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Lokusi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
merupakan suatu tuturan atau ujaran oleh penutur kepada mitra tutur yang
langsung dapat dipahami oleh mitra tutur, sehingga tidak ada yang perlu
pemikiran yang lebih untuk memahami maksud atau makna dari penutur dan
efek yang yang ditimbulkan dari informasi tersebut. Ilokusi adalah maksud yang
ada di dalam diri penutur. Hal ini terjadi ketika suatu tuturan dituturkan kepada
mitra tutur yang masih sebatas sebuah motivasi, niat, atau hal-hal yang masih
mengandung maksud namun sebatas masih dalam pikiran penutur. Perlokusi
adalah suatu tuturan yang menimbulkan efek dari hasil pemahaman makna dan
tuturan dari seorang penutur kepada mitra tutur.
2.2.3 Entailment
Crystal (1998: 136) mengungkapkan bahwa entailment a term refers to a
relation between a pair of sentences such that the truth of the second sentence
necessarily follows from the truth of the first. Dari pendapat tersebut, dipahami
bahwa setiap pola tuturan terdapat sebuah relasi yang terikat. Relasi tersebut
menjadi suatu kebenaran yang mengikuti kebenaran maksud yang menyertainya.
Selain itu, pemikiran yang logis perihal entailment telah dijabarkan terlebih
dahulu oleh Lyons (1977: 85) yang menjelaskan bahwa entailment is a relation
that holds between P and Q where P and Q are variables standing for
propositions such that if the truth of Q necessarily follows from the truth of P
then P entails Q. Hal ini tentu membawa suatu pemahaman mengenai relasi yang
terdapat dalam suatu tuturan dengan pemahaman mitra tutur saling
membutuhkan keterkaitannya. Rahardi (2005: 43) memaparkan perihal
penafsiran harus didasarkan pada latar belakang pengetahuan yang sama (the
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
same background knowledge) antara penutur dan mitra tutur tentang sesuatu
yang sedang dipertuturkan itu. Maka dari itu, dapat dipahami secara mendasar
bahwa entailment merupakan suatu penafsiran tuturan yang bersifat mutlak dan
linear dengan maksud tuturannya. Dengan kata lain tidak ada unsur-unsur lain di
luar tuturan yang mempengaruhi maksud dari penutur untuk menyampaikannya
kepada lawan tutur. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah contoh dari
entailment yang terjadi di dalam pembelajaran.
Tuturan
Guru : “KD selanjutnya adalah wawancara”
Murid : “Waduh”. (10/2/SMA)
Konteks : Situasi pertuturan tersebut tampak santai, maksud dari tuturan tersebut
adalah mengimbau perihal aspek-aspek yang akan dilakukan pada KD
wawancara. Bahwa KD wawancara mengharuskan para murid untuk keluar
sekolah untuk berpraktik berwawancara kepada wisatawan atau kepada
masyarakat yang memiliki nilai atau keunikan tersendiri.
2.3 Fenomena-fenomena Pragmatik
2.3.1 Fenomena Deiksis
Deiksis adalah bentuk bahasa baik berupa kata maupun lainnya yang
berfungsi sebagai penunjuk hal atau fungsi tertentu di luar bahasa (Putrayasa,
2015: 38). Kata-kata yang dimaksud oleh pengertian tersebut mengacu pada
suatu fungsi penunjuk suatu referen-referen yang tidak tetap, karena hanya
penutur dan mitra tutur yang dapat memahami maksud tuturan yang
mengandung deiksis. Sejalan dengan Nadar (2009:55) yang mengungkapkan
bahwa kata-kata yang lazim disebut dengan deiksis tersebut berfungsi
menunjukkan sesuatu, sehingga keberhasilan suatu interaksi antara penutur dan
lawan tutur akan tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh
penutur. Deiksis terdiri atas tiga jenis, yakni (1) deiksis persona, (2) deiksis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
tempat, dan (3) deiksis waktu. Deiksis persona menerapkan tiga pembagian
dasar, yang dicontohkan dengan kata ganti orang pertama (saya), orang kedua
(kamu), dan orang ketiga (“dia” laki-laki atau perempuan, atau “dia” barang).
Maka dari itu, ketika suatu tuturan mengandung beberapa kata penunjuk
seseorang atau sesuatu persona dengan penanda kata ganti seperti penjelasan
tersebut, dapat dipastikan bahwa itu adalah deiksis persona. Contoh dari
penerapan deiksis persona adalah;
Tuturan
Guru : “Saya mulai bicara, kamu juga mulai bicara, siapa dulu yang ngomong?”
(3/2/SMA)
konteks: situasi yang terasa dalam tuturan tersebut adalah suasana yang tegang
dan sedikit marah dari sang guru. Keadaan kelas sangat ribut, padahal guru
sedang menjelaskan materi. Maksud guru menuturkan pertanyaan tersebut
adalah meminta atau memerintah para siswa untuk memperhatikan guru yang
sedang menjelaskan materi. Kemudian brntuk tuturan berupa pertanyaan kepada
para murid. Nada bicara guru terdengar meninggi.
Jenis deiksis kedua yakni deiksis tempat. Deiksis tempat menunjukkan
pronomina penunjuk tempat yang akan digunakan. Pronomina penunjuk tempat
dalam bahasa Indonesia ialah sini, situ, atau sana (Putrayasa, 2015: 48).
Putrayasa menambahkan, bahwa deiksis tempat dan deiksis ruang berkaitan
dengan spesifikasi tempat relatif ke titik labuh dalam peristiwa tutur. Maka dari
itulah, sebagai pronomina penunjuk arah menghasilkan di/ke/dari sebagai
pronomina yang mengacu pada arah, sehingga akan menghasilkan ujaran-ujaran
di sini, ke situ, dari sana yang menunjukkan suatu tempat ataupun arah yang
diujarkan oleh penutur. Kembali pada keterangan awal deiksis yang mengacu
referen-referen yang terikat atau tergantung pada konteks, maka dalam melihat
pronomina- pronomina tersebut perlu diketahui konteks atau situasi ujaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
tersebut dilakukan. Contoh dari deiksis tempat, yakni;
Tuturan
Guru : “Bagaimana yang sana, diam tahu ndak?” (3/3/SMA)
Konteks: Situasi yang terasa dalam tuturan tersebut terkesan tegang. Maksud
dari tuturan tersebut adalah memerintah beberapa murid yang tidak aktif untuk
ikut berpartisipasi dalam pembelajaran. Bentuk ujaran dalam implikatur tersebut
berupa pertanyaan. Nada bicara terdengar meninggi.
Setelah mengulas mengenai deiksis persona dan tempat, selanjutnya
adalah jenis deiksis waktu. Putrayasa (2015: 50) mengungkapkan bahwa deiksis
waktu yaitu pengungkapan kepada titik atau jarak waktu dipandang dari saat
suatu ujaran terjadi, atau pada saat seseorang berujar. Sama seperti sifat deiksis
yang memiliki jenis kata yang tidak memiliki ketetapan dan harus terikat dengan
konteks, maka dalam deiksis waktu ini menunjuk pada kata-kata seperti besok,
lusa, kelak, nanti yang digunakan oleh penutur untuk menunjukkan waktu
sebelum peristiwa terjadi. Kemudian juga ada kata-kata seperti tadi, kemarin,
minggu lalu, ketika itu, dahulu kala, barusan menunjukkan waktu setelah
peristiwa terjadi. Selain itu juga terdapat kata-kata sekarang, saat ini, kini yang
menunjukkan waktu ketika peristiwa tuturan sedang berlangsung.
2.3.2 Fenomena Kesantunan Berbahasa
Berbahasa merupakan aktivitas manusia untuk menunjukkan
ekstistensinya dalam berkomunikasi. Kemampuan tersebut mencerminkan
kepribadian, sifat, atau cara pikir seseorang dalam bersikap. Karena berbahasa
juga menjadi langkah awal seseorang untuk menjalin relasi dengan orang lain.
Berbahasa harus memiliki pada kaidah-kaidah yang baku dan harus memenuhi
syarat isi dari setiap konten yang hendak dimasukkan dalam tuturan baik lisan
maupun tertulis. Namun, hal tersebut belumlah cukup. Karena masih ada satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan (Pranowo, 2009: 4-5).
Pranowo (2009:14-15) menyatakan terdapat tiga alasan berbahasa secara
santun dalam interaksi penutur dan mitra tutur. Pertama, mitra tutur diharapkan
dapat memahami maksud penutur. Kedua, setelah mitra tutur memahami maksud
penutur, mitra tutur akan mencari aspek tuturan yang lain. Ketiga, tuturan
penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain yang sebenarnya tidak
berkaitan dengan komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Berikut ini adalah
contoh berkaitan dengan kesantunan berbahasa yang terjadi dalam proses
pembelajaran.
Tuturan
Guru : “Yang tiduran atau yang sakit silahkan ke UKS saja!” (10/4/SMA)
Konteks: Situasi terasa santai dan terjadi di lapangan indoor. Maksud dari
tuturan tersebut adalah memerintah siswa yang tidak memperhatikan tuturan
guru dan tiduran untuk memperhatikan guru. Nada tuturan tersebut bernada
rendah dan santai. Penggunaan “UKS” menjadi pengetahuan perihal siswa yang
sakit akan ditempatkan di UKS.
2.3.3 Fenomena Ketidaksantunan Berbahasa
Pada kegiatan berbahasa penutur, terkadang tampak atau mengandung
makna yang membuat lawan tutur merasa tidak dihormati atau tidak dihargai.
Hal ini merujuk pada bahasa yang digunakan oleh penutur dalam
mengkomunikasikan berbagai hal yang memiliki unsur negatif. Maka dari itu,
ketidaksantunan tersebut muncul dalam tuturan dapat bersifat secara pragmatik
dan secara gramatikal atau linguistik. Locher dan Watts (2008) berpendapat
bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap
negatif. Ketidaksantunan dalam berbahasa memiliki dampak untuk
medegradasikan nilai-nilai kesantunan yang telah ada, sehingga dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
memperburuk komunikasi antara penutur dengan mitra tutur.
Bousfield (2008) mengemukakan bahwa ketidaksantunan berbahasa
adalah the issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening
acts (FTA) that are purposefully performed. Pada pendapat tersebut ditekankan
pada aspek “kesembronoan” dan aspek konfliktif pada aktivitas berbahasa yang
tidak santun. Maka dari itu segala aktivitas kebahasaan yang mempermainkan
perasaan dari mitra tutur, kemudian terdapat unsur kesembronoan dalam
tuturannya, sehingga menyebabkan konflik terjadi itulah yang dapat dijadikan
sebagai penanda bahwa kegiatan berbahasa tersebut tidak santun. Hal ini tampak
pada contoh tuturan di bawah ini.
Tuturan
Murid 1 : Ambilin buku tow!
Murid 2 : Waduh, Enggak sampai je.
Murid 1 : Halah! Ambilin tow! (10/5/SMA)
Konteks : percakapan terjadi pada dua murid. Murid satu memohon untuk
mengambilkan buku yang jatuh di dekat meja murid 2. Akan tetapi murid 2
enggan untuk membantunya. Kemudian murid 1 mencoba merajuk paksa dengan
kata “Halah”. Peristiwa tutur terjadi di dalam kelas. Dua murid berasal dari
Jawa. Situasi kesal ditunjukkan oleh penutur murid 1.
Penanda ketidaksantunan yang terdapat dalam tuturan di atas ditandai
oleh kata “Halah”. Kesembronoan yang membuat tidak santun disebabkan oleh
kata tersebut. hal ini sejalan dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh
Rahardi, dkk tahun 2014 yang berjudul “Kata Fatis Penanda Ketidaksantunan
Pragmatik Dalam Ranah Keluarga” bahwa “kata halah memiliki makna
menyepelekkan atau dapat juga digunakan untuk menyampaikan maksud
„kesembronoan‟”. Hal ini tentu dapat memberikan kesan yang kurang santun
dalam suatu tuturan, sehingga akan membuat komunikasi menjadi kurang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
terlaksana maksud yang diinginkan oleh mitra tutur.
2.3.4 Fenomena Kefatisan Berbahasa
Fenomena kefatisan berbahasa atau basa basi merupakan suatu fenomena
penggunaan bahasa yang sangat dekat dan hampir selalu terjadi di dalam
bersosial dengan orang lain. Kefatisan berbahasa menurut Jacobson (1980)
adalah sebagai tuturan yang digunakan untuk memulai, mempertahankan, atau
memutuskan komunikasi, untuk memastikan berfungsinya saluran komunikasi
dan untuk menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar lawan bicara tetap
memperhatikan. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa kefatisan
berbahasa dijadikan sebagai tanda dari penutur untuk memulai,
mempertahankan, atau memutuskan sesuatu perbincangan dengan mitra tutur.
Sejalan dengan Kridalaksana (1986: 111) yang menyatakan bahwa kefatisan atau
basa-basi adalah tuturan yang digunakan untuk memulai, mempertahankan, atau
mengukuhkan antara pembicara dan lawan bicara. Kridalaksana (1986, 113-116)
mengkategorikan kata-kata fatis menjadi berbagai macam, yakni (1) ah, (2)
ayo,(3) deh, (4) dong, (5) ding, (6) halo, (7) kan, (8) kek, (9) kok, (10) –lah, (11)
lho, (12) mari, (13) nah, (14) pun, (15) selamat, (16) sih, (17) toh, (18) ya, (19)
yah. Kata-kata penujuk kefatisan tersebut dapat dilihat pada contoh tuturan di
bawah ini.
Guru: Lho, kok mesti nganggo ngomong lho.
Konteks : penutur merupakan guru yang mennuturkan pada para muridnya.
Situasi terasa kesal. Keadaan terlihat guru sedang menulis rumus elektron di
papan tulis. Akan tetapi kondisi kelas ramai karena saling berbicara antarmurid.
Guru menuturkan hal tersebut, bermaksud untuk menenangkan kondisi kelas
yang ribut.
Pada contoh tuturan di atas, penutur menggunakan kata “Lho” yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
termasuk dalam kategori penanda kefatisan yang dicetuskan oleh Kridalaksana.
Penggunaan kata tersebut memiliki makna interjeksi yang menunjukkan sebuah
keterkejutan, karena terletak di awal kalimat. Namun, guru mengulangi kata lho
di akhir kalimat, sehingga sebuah penegasan suatu perintah yang memiliki wujud
sebuah pernyataan semakin kentara.
2.3.5 Fenomena Implikatur
Implikatur dicetuskan oleh Grice (1975) dalam artikel yang berjudul
Logic and Conversation bahwa maksud tidak tampak dalam tuturan yang
dilisankan atau dituliskan oleh penutur. Pada bagian inilah konteks akan
membantu mitra tutur untuk mengetahui makna dan maksud dari penutur. Hal ini
akan dibantu dengan latar belakang, keadaan, posisi, dan hal-hal yang
mengelilingi situasi dari percakapan tersebut. Brown dan Yule (1996)
mengungkapkan bahwa istilah implikatur dipakai untuk menerangkan apa yang
mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda
dengan apa yang sebenarnya yang dikatakan oleh penutur. Pendapat tersebut
mengantarkan kita bahwa implikatur merupakan proses menemukan makna dan
maksud dari suatu tuturan yang diungkapkan oleh penutur baik secara lisan
maupun tertulis tanpa terlihat secara langsung dalam tuturan tersebut. Nababan
(1987) menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi
kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep itu kemudian
dipajami untuk menerangkan perbedaan antara hal “yang diucapkan” dan hal
“yang diimplikasikan”. Diperkuat dengan pendapat Gazdar (1979: 38) bahwa
implikatur adalah proposisi yang tersirat oleh ucapan kalimat dalam konteks
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
meskipun itu proposisi bukan merupakan bagian dari atau sebuah entailment dari
apa yang benar-benar berkata. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa
implikatur adalah kajian mengenai maksud dari suatu tuturan yang tidak tampak
dalam tuturan penutur dan dapat diketahui melalui konteks yang melingkungi
tuturan tersebut.
2.4 Implikatur
Dari subbab awal perihal implikatur sebagai bentuk fenomena pragmatik
tampak perihal implikatur, yakni maksud tidak terlihat dalam ucapan maupun hal
yang diimplikasikan oleh penutur, sehingga mitra tutur dapat memahami maksud
di balik tuturan tersebut. Sejalan dengan Rahardi (2003: 85) bahwa di dalam
implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud tertentu
yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak. Rahayu (2011: 157) dalam
penelitiannya yang berjudul Implikatur Percakapan Dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia Di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten
Sukoharjo mengungkapkan bahwa alasan penggunaan implikatur dalam proses
pembelajaran adalah meningkatkan sopan santun dari guru pada para peserta
didik. Maka dari itu, harus disadari bahwa dalam penggunaan implikatur sangat
membantu penutur dalam bertindak sopan terhadap orang lain
menggunakan tuturan.
Grice (1975) menyatakan bahwa terdapat dua jenis implikatur, yaitu
implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional
menunjukkan maksud langsung dari tuturan yang diungkapkan oleh penutur,
sehingga ketika akan memunculkan suatu maksud, mitra tutur langsung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
mengetahui maksud dari tuturan secara langsung. Berbeda dengan implikatur
percakapan yang memunculkan makna dan maksud di balik dari suatu tuturan,
sehingga sangat bergantung pada konteks tuturan tersebut.
2.4.1 Implikatur Percakapan
Seperti dibahas sebelumnya perihal definisi implikatur, bahwa implikatur
berkaitan erat dengan percakapan atau kontak bahasa baik secara verba maupun
nonverba yang mengandung suatu konteks. Grice (1975) who defines
implicature for the case in which what speaker means or implies is different from
what is said. Dari pendapat tersebut, dipahami bahwa implikatur merupakan
suatu perstiwa dimana maksud penutur berbeda dengan apa yang dituturkan
kepada mitra tutur. Rusminto (2009: 70) menyatakan bahwa implikatur
percakapan adalah sesuatu yang disembunyikan dalam sebuah percakapan, yakni
sesuatu yang secara implisit terdapat dalam penggunaan bahasa secara aktual.
Putrayasa (2014: 65) menyatakan bahwa implikatur percakapan adalah suatu
bagian dari kajian pragmatik yang lebih mengkhususkan kajian pada suatu
percakapan yang berbeda dengan makna harfiah dari suatu percakapan. Hadiati
(2007:45) dalam penelitian yang berjudul Tindak Tutur dan Implikatur
Percakapan Tokoh Wanita dan Tokoh Laki-laki dalam Film The Sound of Music
mengungkapkan bahwa implikatur percakapan, di lain pihak memiliki makna
dan pengertian yang lebih bervariasi karena pemahaman terhadap hal‟ yang
dimaksud‟ sangat bergantung pada konteks terjadinya percakapan, di mana
dalam suatu percakapan ide prinsip-prinsip yang harus ditaati.
Mey (1993:99) mengungkapkan A conversational implicature is therefore
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
something which is implied in conversation that is something which is left
implicit in actual language use. Hal ini tentu semakin menjelaskan bahwa
implikatur percakapan merupakan suatu proses percakapan yang sengaja untuk
tidak menampakkan maksud yang dituturkan secara langsung oleh penutur.
Maka dari itu, Bilmes (1986:27) dalam Mey (1993: 99) menguatkan mengenai
implikatur percakapan bahwa This is the reason that pragmatics is interested in
this phenomenon: we seem to be dealing here with a certain type of regularity,
and one that cannot be captured in a simple syntactic or semantic rule, but
perhaps may be accounted for by 'some conversational principle.
Hal tersebut memberikan gambaran secara jelas mengenai implikatur
percakapan yang memiliki pengertian bahwa terdapat suatu maksud yang
implisit atau yang tidak terlihat dalam ujaran yang diutarakan oleh penutur
kepada mitra tutur dalam suatu percakapan secara lisan. Dengan demikian dapat
diambil kesimpulan bahwa implikatur percakapan merupakan suatu peristiwa
tutur antara penutur dan mitra tutur yang memiliki maksud tidak tampak dibalik
tuturan langsung dan membutuhkan penanda serta konteks guna memahami
maksud tersembunyi tersebut.
Levinson (1987: 114-117) menyatakan empat ciri utama dari suatu
implikatur percakapan. Pertama, Cancellability yakni sebuah kesimpulan yang
tidak mungkin bisa ditarik jika ada kemungkinan untuk menggagalkannya
dengan cara menambah beberapa premis/alasan tambahan pada premis-premis
asli. Bahwa suatu maksud yang terdapat dalam suatu tuturan dapat dibatalkan
dengan cara menambahkan kata atau frasa tambahan. Berikut merupakan salah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
satu contoh ciri dari cancellability.
Tuturan
Guru : “Gene bagus bajune dilebokke. Opo maneh nganggo tali rafia.” (ternyata
bagus bajunya dimasukkan, apalagi memakai tali rafia) (1/1/SMA)
Konteks: situasi menyenangkan atau tidak tegang pasca diberikan tugas. Guru
mengingatkan murid tersebut untuk lebih rapi lagi dan tidak nanggung dalam hal
merapikan pakaian yang digunakan. Karena murid tersebut memasukkan
pakaian, tetapi menggunakan sabuk tali plastik (rafia). Tuturan dinyatakan
dengan cara yang santai. Penutur dan mitra tutur berasal dari daerah jawa,
sehingga menggunakan tuturan bahasa Jawa.
Tuturan di atas merupakan sebuah wujud kalimat pernyataan berupa
komentar dari cara berpakaian dari guru kepada murid. Pada tuturan awal, guru
memuji cara berpakaian dari murid. Akan tetapi pujian tersebut berubah maksud
menjadi sebuah sindirian, akibat adanya penambahan tuturan di belakangnya.
Maka dari itu, ciri cancellability dipahami sebagai ciri yang menunjukkan bahwa
suatu kesimpulan suatu maksud tuturan dapat dibatalkan dengan penambahan
suatu frasa, klausa, ataupun tuturan tambahan.
Kedua, Non-detachability, yakni implikatur diletakkan pada isi semantik
dari apa yang dituturkan, tidak pada bentuk linguistik, maka implikatur tidak
dapat dipisahkan dari suatu tuturan. Ciri tersebut dimaknai bahwa maksud suatu
tuturan implikatur tidak dapat dipisahkan dari makna semantik yang terkandung
dalam tuturan. Hal ini menjadi acuan bagi mitra tutur untuk memahami maksud
yang dituturkan oleh penutur, yakni melalui makna semantik yang dituturkan.
Penggunaan kata atau penanda dalam tuturan yang dapat dipahami secara
langsung akibat dari makna semantik tampak dari makna kata atau frasa dalam
tuturan. Berikut adalah contoh tuturan yang menunjukkan ciri-ciri dari Non-
detachability:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Tuturan
Guru:“Utari, vokal dasarnya lembut, tapi kalau bercanda treble semua ya.”
(28/6/SMK)
Konteks: Situasi dari tuturan tersebut tampak santai. Pelaku adalah guru dan
salah satu siswi. Maksud dari tuturan tersebut menyuruh siswi tersebut membaca
berita dengan volume lebih keras. Bentuk tuturan menggunakan tuturan lisan dan
bernada tinggi. Penggunaan kata treble sebagai kata sindiran untuk siswi tersebut
adalah kesehariannya yang selalu bicara keras ketika kondisi kelas ramai.
Tuturan di atas dimaknai sebagai sebuah suatu sindiran dari guru kepada
salah satu murid. Hal ini sejalan dengan ciri implikatur yakni non-detachability,
bahwa maksud suatu implikatur tidak dapat dipisahkan dari suatu tuturan. Pada
contoh tuturan di atas, penanda yang dapat dijadikan sebagai maksud tuturan
implikatur adalah kata “trebel”. Melalui kata tersebut, maksud tuturan dapat
dipahami oleh mitra tutur. Maka dari itu, dalam memaknai suatu maksud tuturan
implikatur tidak dapat dipisahkan dari makna kata atau frasa yang digunakan
dalam tuturan tersebut.
Prinsip ketiga, Calculability, yakni untuk setiap implikatur yang diduga
harus memungkinkan untuk menyusun suatu argumen yang menunjukkan bahwa
makna harfiah suatu tuturan dipadu dengan prinsip kerja sama dan maksim-
maksimnya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa apa yang dituturkan berbeda
dengan apa yang dimaksud oleh penutur, karena memperhitungkan aspek-aspek
di luar kebahasaan yang dituturkan. Misalnya tampak pada contoh tuturan di
bawah ini.
Tuturan
Guru : “Gandhang udah selesai?” (5/2/SMK)
Konteks : Situasi terasa kesal. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh
murid untuk tenang dan fokus mengerjakan tugas. Nada suara tuturan terdengar
tinggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Pada tuturan di atas menunjukkan bahwa apa yang dikatakan tidak mutlak
yang dimaksudkan oleh penutur. Hal ini mengacu pada konteks yeng melingkupi
tuturan tersebut.Penutur atau sang guru memberikan pertanyaan yang sebenarnya
adalah sebuah masksud memerintah muridnya yang tidak segera menyelesaikan
tugas untuk segera diselesaikan. Oleh karena itu, implikatur memiliki ciri-ciri
calculability.
Prinsip keempat, Non-conventionality, yakni untuk mengetahui makna
harfiah, dapat diduga implikaturnya dalam suatu konteks, implikatur tidak dapat
sebagai bagian dari makna itu. Dalam memahami maksud suatu implikatur, mitra
tutur tidak serta merta memahami suatu maksud dari tuturan yang tampak. Hal
ini dikarenakan bertentangan dengan ciri ke tiga. Oleh karena itu, suatu
implikatur patutnya dipahami maksudnya melalui konteks-konteks yang
melingkupinya. Berikut contoh tuturan untuk menjelaskan ciri-ciri implikatur
non-conventionality.
Guru : “Ini ada yang piket enggak ya?” Murid : “Ada kok bu, ada” (11/2/SMA)
Konteks : Situasi pada tuturan tersebut terasa tegang. Penutur adalah guru dan
mitra tutur adalah para murid. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh
murid untuk menghapus tulisan-tulisan di papan tulis. Tuturan bersifat tuturan
lisan dua arah dan bernada tinggi.
Pada tuturan tersebut, tidak serta merta mengambil secara mutlak
maksudnya dalah hanya menanyakan ada tidaknya petugas piket saat itu.
Melainkan melihat konteks yang melingkupinya agar dapat mengetahui maksud
yang sebenarnya. Hal inilah yang menjadi pembeda antara implikatur pragmatik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
dengan semantik. Bahwa konteks memberikan peran yang sangat besar terhadap
pemahaman suatu maksud yang terkandung dalam sebuah tuturan.
Dari ciri-ciri implikatur percakapan di atas, dapat diperoleh suatu
gambaran utama yang dapat dijadikan sebagai suatu pegangan mengenai ciri-ciri
implikatur percakapan, yakni cancellability, nondetachable, nonconventional,
dan calcutable. Beberapa ciri tersebut tentu akan mengantarkan peneliti pada
pembedaan antara implikatur percakapan dan implikatur konvensional.
Penelitian yang relevan perihal dengan jenis-jenis implikatur ini seperti dalam
penelitian yang berjudul Implikatur dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Di
SMA Labschool Untad Palu yang dilakukan oleh Mursalim Tokuasa pada tahun
2015. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah pendekatan
penelitian deskriptif kualitatif. Kemudian teknik pengumpulan datanya dengan
metode simak dengan lanjutan teknik sadap, dilanjutkan dengan teknik simak
bebas libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Hasil penilitian tersebut adalah
beberapa implikatur ditemukan berupa pertanyaan, pernyataan, jawaban, saran,
sindiran, dan perintah. Kemudian juga ditemukan fungsi-fungsinya, yakni
memotivasi, memberi kaitan, mencegah pelanggaran, dan strategi implikatur
ditemukan, strategi marah secara langsung, melucu secara tidak langsung, hingga
mengharapkan informasi secara tidak langsung. Hasil yang telah ditemukan
dalam penelitian tersebut akan diberikan tambahan perihal jenis implikaturnya,
sehingga akan disebutkan juga jenis implikaturnya, seperti implikatur
percakapan (implikatur percakapan umum, implikatur percakapan berskala, dan
implikatur percakapan khusus) dan implikatur konvensional. Implikatur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
percakapan memiliki beberapa jenis, yakni implikatur percakapan umum,
implikatur percakapan berskala, dan implikatur percakapan khusus. Putrayasa
(2014: 67) mengemukakan contoh-contoh maksud implikatur percakapan, yakni:
1) Implikatur percakapan melarang
Implikatur percakapan melarang merupakan salah satu contoh implikatur
percakapan yang memiliki maksud untuk melarang. Akan tetapi tuturan tidak
secara harafiah menuturkan pelarangan. Seperti contoh percakapan kakak adik
berikut:
Sasa : “Kak, saya maun main dengan Roni boleh ya?” Mira : “Hujan nanti!”
Konteks: suatu hari saat cuaca mendung, Sasa yang masih kelas 2 SD minta izin
kepada kakaknya untuk bermain dengan Roni. Akan tetapi Mira tidak serta merta
melarang, namun hanya menjawab “Hujan nanti!” yang mengandung maksud
Sasa tidak boleh main, karena sebentar lagi turun hujan.
Contoh tuturan di atas menunjukkan bahwa implikatur harus melihat
konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Hal ini dilihat dari jawaban Mira,
bahwa nanti hujan, yang mana memiliki maksud untuk melarang Sasa bermain
keluar rumah. Nada suara yang dikeluarkan oleh Mira juga menunjukkan
maksud melarang untuk bermain, alas an keadaan yang sebentar lagi hujan
menjadi cukup logis untuk memahami tuturan tersebut untuk melarang.
2) Implikatur Percakapan Menyetujui
Implikatur percakapan menyetujui merupakan salah satu contoh implikatur
percakapan yang memiliki maksud untuk menyetujui. Akan tetapi tuturan tidak
secara harafiah menuturkan persetujuan. Seperti contoh percakapan Roni dan
Tomi yang merupakan teman sebaya berikut:
Tuturan:
Guru: “Satu jam pelajaran selesai ya?”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Murid: “satu setengah ya bu”
Guru: “Baik, tapi satu tulisan jadi semua ya”
Konteks: Situasi terasa menyenangkan. Maksud dari tuturan tersebut
menandakan bahwa guru sangat disiplin terhadap waktu dan proses.
3) Implikatur Percakapan Menolak
Implikatur percakapan menolak merupakan salah satu contoh implikatur
percakapan yang memiliki maksud untuk menolak. Akan tetapi tuturan tidak
secara harafiah menuturkan penolakan. Seperti pada contoh di bawah ini.
Tuturan
Guru : “Mas, apa kamu enggak nulis?”
Murid : “Bu, saya minta soft file” (11/6/SMA)
Konteks : Situasi dalam pertuturan tersebut terasa lebih santai. Maksud dari
tuturan tersebut adalah menunjukkan bahwa para murid mala untuk menulis
catatan yang berasal dari slide PPT sang guru. Tuturan bersifat lisan dan bernada
santai cenderung merajuk.
4) Implikatur Percakapan Memerintah
Implikatur percakapan memerintah merupakan salah satu contoh implikatur
percakapan yang memiliki maksud untuk memerintah. Akan tetapi tuturan tidak
secara harafiah menuturkan memerintah. Berikut contoh percakapan antarteman
di sekolah.
Tuturan
Guru :“Kamu bisa baca catatanmu sendiri?”
Siswa : “Bisa bu” (28/7/SMK)
Konteks: Situasi dari tuturan tersebut adalah tegang. Maksud dari tuturan
tersebut adalah memerintah siswa tersebut untuk mencatat, karena catatannya
kosong dan tidak pernah mencatat.
5) Implikatur Percakapan Meminta
Implikatur percakapan meminta merupakan salah satu contoh implikatur
percakapan yang memiliki maksud untuk meminta. Akan tetapi tuturan tidak
secara harafiah menuturkan persmintaan. Berikut contoh cuplikan implikatur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
percakapan meminta tersebut saat antarsiswa bercakap di luar kelas:
Tuturan
Guru : “Yang tidur apa sudah bisa ya?” (3/5/SMA)
Konteks:Situasi terasa menjenuhkan atau membosankan karena guru sedang
menjelaskan materi. Maksud dari pertanyaan tersebut adalah meminta perhatian
salah satu siswa yang tertidur di pojok kelas. Bentuk tuturan berupa pertanyaan.
Dirunut dari nada bicaranya sedikit keras dan secara tiba-tiba karena berada di
sela penjelasan materi.
6) Implikatur Percakapan Menegaskan
Implikatur percakapan menegaskan merupakan salah satu contoh implikatur
percakapan yang memiliki maksud untuk menegaskan. Akan tetapi tuturan tidak
secara harafiah menuturkan penegasan. Berikut contoh dari implikatur
percakapan menegaskan antarteman di tempat pemotongan hewan Kurban.
Bagus : “Bud, kau suka daging kurban enggak?”
Budi : “Kalau dikasih, aku mau.”
Bagus : “Kau suka sapi atau kambing?”
Budi : “Aku suka sapi. Kalau sate kambing mau juga.”
Konteks: Bagus dan Budi adalah sepasang teman. Situasi setelah shalat idul
Adha. Banyak sapi dan kambing yang dipersiapkan untuk disembelih. Situasi
percakapan tidak tegang, cenderung santai.
Percakapan tersebut menggunakan tuturan bermodus asertif menegaskan untuk
memberikan penjelasan kepada mitra tutur dari keragu-raguan terhadap
kesukaannya kepada daging sapi atau daging kambing.
7) Implikatur Percakapan Mengeluh
Implikatur percakapan mengeluh merupakan salah satu contoh implikatur
percakapan yang memiliki maksud untuk mengeluh. Akan tetapi tuturan tidak
secara harafiah menuturkan keluhan. Berikut contoh percakapan yang
mengindikasikan implikatur percakapan mengeluh
Tuturan:
Guru : “Saya akan ngecek PR mu”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Murid : “Waduh!” (3/15/SMA)
Konteks: Situasi yang terasa dalam lingkup pertuturan tersebut adalah tegang.
Maksud dari tuturan dari para murid adalah beberapa belum mengerjakan dan
belum selesai. Bentuk tuturan berupa satu kalimat deklaratif yang menjadi sinyal
ketegangan oleh beberapa siswa, khususnya yang belum mengerjakan.
8) Implikatur Percakapan Melaporkan
Implikatur percakapan melaporkan merupakan salah satu contoh implikatur
percakapan yang memiliki maksud untuk melaporkan. Akan tetapi tuturan tidak
secara harafiah menuturkan pelaporan. Berikut contoh kutipan percakapan
implikatur percakapan melaporkan antara ibu guru dan siswa.
Tuturan
Guru : “Ada film yang mengangkat rasisme.”
Murid : “nonton-nonton bu, nonton.”
Konteks: Situasi terasa menyenangkan saat pembelajaran. Maksud dari tuturan
para murid adalah untuk tidak ada pembelajaran konvensional. Akan tetapi, guru
menyadari keinginan lain dari para murid yang tidak ingin adanya pembelajaran,
sehingga penjelasan materu tetasp dilanjutkan dan maksud penyampaian film
adalah sebatas melaporkan. Nada yang terdengar dari tuturan para murid tersebut
adalah nada merajuk.
2.4.1.1 Implikatur Percakapan Umum
Yule (2006:70) menyatakan bahwa jika pengetahuan khusus tidak
dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, hal
ini disebut implikatur percakapan umum. Hal ini tentu dapat dipahami bahwa
implikatur percakapan umum tidak membutuhkan pengetahuan khusus atau
konteks yang spesifik dalam memahami suatu maksud tuturan. Sejalan dengan
Rustono (1999: 81) bahwa implikatur percakapan umum adalah implikatur yang
kehadirannya di dalam percakapan tidak memerlukan konteks khusus. Berikut
adalah contoh tuturan dari implikatur percakapan umum:
Tuturan
Guru : “Hey! Ada pertanyaan?”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Murid : “Tidak bu, tidak ada” (4/2/SMA)
Konteks: Situasi yang terasa pada tuturan tersebut adalah marah. Maksud dari
tuturan tersebut adalah memerintah diam para murid yang sedang ramai dan
menandakan bahwa sang guru adalah orang yang disiplin atau tegas. Bentuk
tuturan berupa pertanyaan yang bernada tegas.
2.4.1.2 Implikatur Percakapan Berskala
Implikatur percakapan berskala merupakan cara informasi tertentu selalu
disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu
skala nilai (Yule, 2006: 71). Pengertian tersebut menjelaskan bahwa implikatur
percakapan berskala selalu memberikan kata-kata yang menunjukkan kuantitas
dari suatu informasi yang disampaikan. Yule (2006: 72) memberikan beberapa
kata dan frase penentu implikatur percakapan berskala, yakni semua, sebagian
besar, beberapa, banyak, sedikit, selalu, sering, kadang-kadang. Berikut adalah
contoh perihal penggunaan implikatur percakapan berskala,
Guru: “Satu jam pelajaran selesai ya?”
Murid: “satu setengah ya bu”
Guru: “Baik, tapi satu tulisan jadi semua ya.” (4/3/SMK)
Konteks: Situasi terasa menyenangkan. Maksud dari tuturan tersebut
memerintah para murid untuk segera menyelesaikan dan menggunakan waktu
dengan seefektif mungkin dalam menulis artikel.
2.4.1.3 Implikatur Percakapan Khusus
Implikatur percakapan khusus merupakan implikatur percakapan yang
membutuhkan suatu konteks yang khusus atau lokal, artinya hanya dimengerti
oleh beberapa orang saja atau tidak bersifat umum. Yule (2006: 74) menyatakan
bahwa implikatur percakapan khusus sangat khusus di mana kita
mengasumsikan informasi kita ketahui secara lokal. Contoh percakapan di
bawah ini:
Guru : “Alhamdulillah, Pilipus tumben masuk ya.” (29/1/SMK)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Konteks : Situasi dalam pertuturan tersebut adalah santai. Maksud dari tuturan
tersebut adalah menyindir murid yang sangat jarang masuk, walaupun
dibubuhkan “Alhamdulillah” sebagai wujud syukur dan diikuti “tumben”.
2.4.2 Implikatur Konvensional
Implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau
maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan
dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya (Yule,
2006: 78). Dari penjelasan tersebut dapat dicermati bahwa implikatur
konvensional tidak mempertimbangkan konteks khusus dalam suatu tuturan.
Maka dari itu, pada implikatur konvensional segala interpretasi tuturan berasal
dari kalimat atau kata yang ada pada tuturan (secara harafiah). Mulyana (2001)
menyatakan bahwa implikatur konvensional merupakan implikasi atau
pengertian yang bersifat umum. Implikatur konvensional juga tidak memiliki
ciri yang tertunda dalam tujuan tuturan secara implisit, melainkan cara untuk
menunda atau membatalkan tujuan dengan memberikan tambahan berupa kata,
seperti kata “tetapi”, “namun”, “bahkan”,dll. Berikut adalah contoh dari
penggunaan implikatur konvensional:
Guru : “Bapak-bapak iki arisan ae.”
(Bapak-bapak ini arisan terus)
Konteks: Situasi terasa tegang karena guru sedang menjelaskan materi, namun
berubah ketika mengomentari aktivitas empat siswa yang sedang ribut sendiri.
Maksud dari pertuturan tersebut adalah untuk meminta para siswa yang
ribut untuk lebih kondusif. Bentuk tuturan tersebut adalah kalimat perintah yang
bersifat mengomentari aktivitas sekelompok siswa, bukan menyuruh untuk diam.
Tetapi melalui sindiran aktivitas yang dianalogikan sebagai aktivitas arisan
layaknya ibu-ibu yang ramai saling berbicara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Penjelasan lain terhadap implikatur konvensional adalah suatu implikatur
konvensional memiliki sifat yang berbeda dengan prinsip pragmatik lainnya
seperti maksim. Akan tetapi merujuk pada makna leksikal yang terdapat dalam
suatu tuturan. Levinson (1983: 127) mengungkapkan bahwa conventional
implicatures are non-truth-conditional inferences that are not derived from
superordinate pragmatic principles like the maxims, but are simply attached by
convention to particular lexical items.
2.5 Konteks dalam Pragmatik
Pemahaman mendasar perihal pragmatik telah diulas pada subbab di atas,
sesuai dengan berbagai pemahaman mengenai pragmatik yang erat kaitannya
dengan unsur kondisi atau keadaan suatu komunikasi, maka muncullah konteks.
Konteks dalam pragmatik memiliki spesifikasi khusus atau berbeda daripada
konteks linguistik. Dalam artikel seminar Pranowo (2015) menyatakan bahwa
konteks linguistik bersifat tekstual, artinya kalimat yang mengawali atau
mengikuti suatu teks sudah dapat disebut konteks. Konteks pragmatik bersifat di
luar teks atau ekstralingual tidak tampak pada tuturan penutur. Oleh karena itu,
maka hubungan antara bahasa dengan konteks inilah yang akan menjadi embrio
dari kajian pragmatik.
Rahardi (2008:17) menyatakan bahwa konteks pada hakikatnya adalah
latar belakang pengetahuan yang dapat dipahami penutur dan mitra tutur,
sehingga hubungan atau keterkaitan itu sendri terdapat pada masing-masing
ujaran. Hal tersebut mengacu pada kesepahaman pada suatu maksud atau tujuan
yang dipahami antara penutur dan mitra tutur. Hal ini tentu memberikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
pandangan bahwa maksud yang diinginkan penutur tidak diungkapkan secara
fisik, tetapi berdasarkan pada pengetahuan dan pemahaman yang sama dengan
mitra tutur. Konteks sendiri menurut Putrayasa (2014:5) merupakan sesuatu yang
ada sebelum dan atau sesudah sebuah kata, frasa, atau bahkan ujaran yang lebih
panjang (dari frasa, klausa, kalimat), atau teks. Jadi konteks sendiri bisa berarti
suatu keadaan atau situasi yang melingkungi suatu ujaran atau teks yang
diproduksi oleh penutur kepada mitra tutur. Dari pendapat awal tersebut, dapat
dipahami bahwa konteks memiliki peranan sebagai unsur eksternal dari
linguistik. Hal ini dilihat dari luar struktur gramatikal yang digunakan oleh
penutur, namun juga diperhatikan dari segi keadaan atau kondisi yang
mengiringi suatu bahasa yang digunakan. Putrayasa (2014:6) menambahkan
bahwa konteks verbal atau situasi dapat mempengaruhi makna sebenarnya dari
sebuah kata, frasa, kalimat atau ujaran. Semakin jelas keterkaitan antara unsur
gramatikal dengan konteks guna membentuk suatu bidang kajian pragmatik. Hal
ini memberikan gambaran bahwa unsur gramatikal yang memiliki makna
memiliki maksud yang berbeda karena dipengaruhi oleh konteks yang
membawanya baik dari keadaan atau penuturnya. Maka dari itu, dalam
memahami suatu kajian pragmatik haruslah memahami juga mengenai konteks.
Song (2010) dalam artikelnya yang berjudul The Role of Context in
Discourse Analysis mengungkapkan bahwa konteks adalah lingkungan (keadaan
atau faktor-faktor oleh beberapa ahli lain) di mana wacana terjadi. Maka dari
itulah, Song memberikan gagasan atau perspektif secara umum perihal
pengertian dari konteks dalam ranahnya, yakni pragmatik. Apabila merunut dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
berbagai pendapat seperti di awal, juga ditemukan bahwa pengertian konteks
sendiri adalah hal-hal baik keadaan sosial, budaya, pengetahuan, dll di luar aspek
kebahasaan tuturan itu sendiri. Perihal pembagian konteks, Song membedakan
atas 4 jenis, yakni:
1) Konteks linguistik
Song (2010) memaparkan bahwa konteks linguistik mengacu pada konteks di
wacana, yaitu hubungan antara kata-kata, frasa, kalimat, dan paragraf. Konteks
linguistik ini dapat dianalisis melalui tiga cara, yakni dengan deictic, ko- teks,
dan kolokasi. Aspek deictic mengacu pada unsur ruang dan waktu dari wacana
yang dituturkan. Hal ini mengacu pada keadaan lokasi, waktu, ekspresi, dll.
Aspek co-teks menilik perihal keterhubungan dari interpretasi wacana yang ada
dalam tuturan, sehingga pemahaman makna dan maksud suatu tuturan
merupakan hasil dari interpretasi secara langsung dalam teks itu baik teks yang
sebelumnya maupun saat dipahami. Maka dari itu bahwa konteks dapat diacu
pada teks berupa kata, frasa, kalimat, hingga paragraf. Hal ini juga merujuk pada
pemahaman mengenai ko-teks yang memiliki sifat tekstual. Paranowo (2015)
menyatakan bahwa sebuah kalimat yang mengawali atau mengikuti suatu teks
dinamakan ko-teks. Selanjutnya pada aspek kolokasi merujuk pada asosiasi
pemikiran pada suatu teks yang dipahami. Hal ini lebih mengacu pada ilmu
sintagmatik, yakni keterhubungan secara linear terhadap unsur-unsur bahasa
yang dituturkan oleh penutur. Misalnya pada kasus, kata “anjing” dan “digigit”,
lalu kata “tentara” dengan “perang”. Dari bahasan perihal konteks linguistik
tersebut, diperoleh gagasan bahwa konteks linguistik mengacu pada proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
memahami makna dan maksud berdasarkan teks atau tuturan yang diungkapkan
secara langsung.
2) Konteks situasional
Konteks situasional mengacu pada lingkungan, waktu, tempat, dll di mana
wacana tersebut terjadi seiring dengan hubungan antara pengguna tuturan
tersebut. Konteks ini merupakan konteks yang bersifat tradisional, tetapi
membantu penutur dalam memperjelas keterkaitan bahasa dengan konteks situasi
yang ada dalam lingkungan tuturan tersebut. Pranowo (2015) mengungkapkan
bahwa konteks dalam pragmatik diartikan sebagai keseluruhan situasi yang
melingkupi teks atau tuturan (konteks selalu berada di luar tuturan).
Konteks situasional dapat dikaji dalam tiga aspek, yakni aspek lapangan,
tenor, dan modus. Pada aspek lapangan, suatu tuturan tentu sangat erat di mana
proses komunikasi tersebut terjadi, sehingga dapat merepresentasikan situasi dan
hubungan yang mempengaruhi makna dan maksud dalam suatu tuturan. Lalu
aspek tenor, mengacu pada hubungan yang yang merujuk pada situasi
social dalam suatu wacana. Aspek ini memberikan rambu-rambu bahwa dalam
proses komunikasi tidak selalu berfokus pada aspek gramatikal linguistik, namun
juga mempertimbangkan aspek sosial yang mengikutinya. Hal ini tentu akan
membantu penutur dan mitra tutur untuk transfer informasi dengan baik dan
lancar. Selanjutnya pada aspek modus, yakni perihal bagaimana suatu tuturan
ditransferkan dengan media atau secara langsung. Hal ini mengacu pada sifat dan
isi suatu tuturan yang akan ditransferkan pada mitra tutur, baik secara personal
maupun secara masiv.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
3) Konteks budaya
Song (2010) mengungkapkan bahwa konteks budaya mengacu pada budaya,
adat istiadat, dan latar belakang dari zaman di masyarakat bahasa di mana
penutur berpartisipasi. Dilihat dari sifat bahasa, fenomena sosial merupakan
bagian yang tak dapat dipisahkan dengan bahasa. Maka dari itu, sangat penting
untuk mempertimbangkan aspek-aspek yang mengikuti dari fungsi budaya
seperti peran sosial, status sosial, jenis kelamin, usia, dll. Hal ini sangat penting
untuk diketahui bahwa beberapa daerah khususnya Indonesia sangat menjunjung
tinggi peran-peran sosial karena ada ikatan budaya di dalamnya. Misalnya saja
pada percakapan dengan orang yang lebih tua usianya di budaya Jawa yang
mana harus memiliki kemampuan untuk bertutur dengan sopan dan tidak
terburu-buru untuk memulai pembicaraan, sebelum diijinkan. Selain usia, juga
dipertimbangkan perihal status sosial yang dilingkupinya, sehingga tidak terjadi
ketimpangan dalam berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Jadi, pada konteks
budaya ini menekankan pada aspek-aspek budaya yang melingkupi penutur dan
mitra tutur yang saling berkomunikasi, selain itu juga mempertimbangkan
aspek sosial yang erat kaitannya dengan budaya yang berlaku.
Dell Hymes (1978) dalam Pranowo (2009: 14) menyatakan bahwa ketika
seseorang bertutur hendaknya memperhatikan beberapa komponen tutur yang
diakronimkan dengan istilah SPEAKING yang masing-masing hurufnya
merupakan inisial, yakni (S) Setting and Scene (latar), yakni mengklasifikasi
tuturan dari dimensi tempat dan waktu saat tuturan tersebut terjadi. (P)
Participants (pelaku), yakni mengklasifikasi dari orang yang terlibat dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
komunikasi. (E) Ends (tujuan komunikasi), yakni berdasar pada tujuan yang
diharapkan dalam percakapan atau komunikasi. (A) Act Sequence (pesan yang
ingin disampaikan) klasifikasi ini berdasar pada bentuk dan pesan yang akan
disampaikan. (K) Key (kunci) yakni berdasar pada cara penyampaian suatu
tuturan terhadap mitra tutur. Hal ini mengacu pada pengemasan penutur dalam
menyampaikan pesan yang dimaksudkan. (I) Instrument yakni media yang
digunakan untuk mengutarakan maksud yang ingin diungkapkan. (N) Norms
(norma) yakni mengacu pada norma perilaku dari pelaku dalam suatu
komunikasi atau percakapan yang berlaku di wilayah tersebut. (G) Genre
(ragam) yakni berdasarkan pada ragam bahasa yang digunakan, misalnya saja
ragam formal, ragam santai, dsb.
2.6 Bahasa Guru dan bahasa Murid
2.6.1 Bahasa Guru
Bahasa guru atau teachers talk merupakan istilah dari aktivitas bahasa
yang digunakan oleh guru untuk mengelola peserta didik di kelas melalui bahasa
lisan terhadap para peserta didiknya. Hal ini mengacu pada pendapat dari Rod
Ellis (1985) bahwa bahasa guru adalah bahasa khusus yang digunakan oleh guru
saat mengatasi pembelajar bahasa kedua di kelas. Hal ini dikaitkan pada proses
pembelajaran bahasa kedua peserta didik yang merujuk pada cara guru
menggunakan bahasa target dari pembelajaran tersebut. Berbeda dengan
penjelasan dari Yanfen dan Yuqin dalam jurnal A Study of Teacher Talk in
Interactions in English Classes (2010) menjelaskan bahwa Teacher Talk is an
indispensable part of foreign language teaching in organizing activities, and the
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
way teachers talk only determines how well they make their lectures, but also
guarantees how well students will learn. Maka dari itu dapat diperoleh
pengertian dari Teacher Talk atau bahasa guru adalah suatu bagian yang tidak
dapat terpisahkan dari pengajaran bahasa asing dalam mengorganisir kegiatan,
dan cara guru berbicara tidak hanya menentukan seberapa baik mereka membuat
ceramah mereka, tetapi juga seberapa baik siswa akan belajar. Hal ini
menunjukkan bahwa bahasa guru tidak hanya pada bagaimana tuturan guru
tersebut digunakan secara formal sebagai bagian interpretasi suatu bahasa target,
melainkan juga bagian dari suatu cara atau alat guru berupa tuturan yang
digunakan untuk mengorganisasikan proses pembelajaran di kelas, sehingga
menghasilkan proses belajar yang kondusif.
Beberapa jenis bahasa guru menurut beberapa ilmuwan seperti (Hu
Xuewen, 2003; Dai Weidong & Li Ming, 1998) dalam desertasi MA Xiao-yan
(2006) bahwa bahasa guru dianggap sebagai kode yang disederhanakan khusus
dengan fungsi ganda. Pertama, mengacu pada bentuk pembicaraan guru, seperti
kecepatan, jeda, pengulangan, dan modifikasi bahasa guru. Kedua, mengacu
pada fungsi dari bahasa yang digunakan guru untuk mengatur dan
mengendalikan kelas. Chaudron (1988: 85) melakukan penyelidikan perihal
bahasa guru dalam jangka waktu yang lama, sehingga menghasilkan beberapa
penemuan dalam bahasa guru yang dilakukan di dalam kelas, yakni (1) tingkat
bicara tampak lebih lambat, (2) jeda yang mungkin merupakan bukti
perencanaan pembicara lebih banyak dan mungkin lebih sering juga lebih lama,
(3) pengucapan cenderung dilebih-lebihkan dan disederhanakan, (4) tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
subordinasi lambat, (5) penggunaan kosakata lebih mendasar, (6) pernyataan dan
perintah lebih banyak digunakan daripada pertanyaan, (7) guru lebih sering
mengulangi sendiri.
Chaudron (1988; bagian 3) dalam Ellis (2012: 117) menyediakan hasil
survei perihal ciri-ciri bahasa guru dalam proses pembelajaran. Hasil temuan
tersebut adalah (1) guru mengambil alih proses pembelajaran sebesar 2/3 dari
total bicara di kelas. Hal ini dipahami bahwa dalam proses pembelajaran, guru
banyak memberikan tuturan-tuturan daripada muridnya sendiri. Akan tetapi,
penemuan ini terjadi pada tahun 1988, yang mana proses pembelajaran lebih
berpusat kepada guru. (2) Dominasi bertutur guru dalam pembelajaran
cenderung berwujud menjelaskan, pertanyaan, perintah, dan merespon murid.
Hal ini merujuk pada wujud-wujud tuturan yang guru gunakan dalam gunakan
dalam berututur di kelas. (3) Guru memperlambat kecepatan bicara ketika
berbicara di kelas. Hal tersebut berkaitan dengan tempo tuturan yang guru
lakukan ketika di dalam kelas. Hal ini mempengaruhi pemahaman murid
terhadap maksud suatu tuturan dari guru. (4) Guru sering menggunakan jeda
ketika berbicara. Selain guru memperlambat tempo saat bertutur di dalam
kelas, guru juga sering menjeda tuturannya agar tuturan terdengar lebih jelas dan
tentunya memudahkan murid untuk memahami maksud yang dikandung dalam
tuturan tersebut. (5) Guru cenderung berbicara dengan volume yang tinggi. Guru
memadukan tempo, jeda dan volume yang keras guna tuturan terdengar lebih
jelas dan tersampaikan secara sempurna kepada murid. Hal ini dilakukan untuk
menghindari dari ketidak jelasan informasi yang diterima oleh murid, sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
artikulasi tuturan serta volume suara harus tinggi dan jelas. (6) Guru
menggunakan kata-kata atau tuturan yang mudah dimengerti oleh murid.
Pemahaman antarmurid berbeda-beda sesuai dengan latar belakang para murid.
Hal ini menjadi alasan guru untuk menggunakan tingkatan tuturan yang sesuai
dengan para murid, sehingga murid tidak kesulitan dalam memahami makna kata
atau frasa yang dituturkan oleh guru. (7) Guru tidak terlalu langsung merujuk
pada arah ujaran. Hal ini dilakukan oleh guru guna dijadikan sebagai ukuran
kepahaman murid terhadap maksud yang guru sampaikan. (8) Pembicaraan guru
yang tidak teratur jarang terjadi. Hal ini tentu guna terjadinya struktur
pembelajaran yang padu dan mudah dipahami murid. Akan tetapi, guna
mencapai ikatan afektif terhadap murid, guru kerap memasukkan unsur-unsur
kefatisan guna mendekatkan diri kepada murid. (9) Guru sering melakukan
pengulangan tuturan. Guru melakukan pengulangan tuturan bertujuan untuk
membantu murid memahami sebuah maksud yang terkandung dalam tuturan.
Biasanya guru melakukannya kepada murid-murid yang kesulitan menangkap
informasi.
Dari beberapa poin di atas, dapat dipahami bahwa bahasa guru memiliki
sifat yang wujud deklaratif dan pertanyaan. Hal ini ditandai dengan guru selalu
memberikan jeda yang cukup lama untuk memberikan kesempatan peserta didik
untuk memikirkan materi atau informasi yang dituturkan oleh gurunya. Selain
itu, guru juga cenderung mengulang dan melambatkan jeda dari tuturan saat
menyampaikan informasi kepada peserta didik. Hal ini berhubungan dengan
kemampuan peserta didik dalam menguasai informasi. Penguasaan informasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
tersebut berhubungan dengan aktivitas penyimpanan memori jangka panjang
oleh para peserta didik. Pemilihan kata-kata yang akan digunakan oleh guru
dalam menyampaikan informasi kepada peserta didik juga dipertimbangkan,
karena tingkat pemahaman setiap peserta didik berbeda-beda, sehingga guru
akan menggunakan bahasa yang mendasar. Pujiastuti (2013) dalam penelitiannya
yang berjudul Classroom Interaction: An Analysis of Teacher Talk and Student
Talk in English for Young Learners (EYL) menemukan some categories of
teacher talk, beginning form the highest percentage to the lowest one: giving
directions, lecturing, asking questions, using or accepting ideas of students,
praising, criticizing and accepting feelings. Oleh karena itu, ternyata guru
memiliki karakteristik penggunaan bahasa yang khas, seperti telah dijelaskan di
atas. Guru menggunakan unsur memberi ceramah, mengajukan pertanyaan bagi
murid, menerima atau memberikan gagasan, baik mengapresiasi dan mengritik.
Dengan demikian tentunya menjadi satu poin penting yang dapat dihasilkan dari
bahasa guru, yakni guru sebagai pengontrol jalannya pembelajaran di kelas.
Sinclair & Brazil (1982) kembali menegaskan perihal bahasa guru yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari mengajar bahasa asing atau bahasa
kedua, bahasa guru memiliki fungsi tersendiri terkait dengan konten dan
medianya yang digunakan oleh guru di dalam kelas bahasa sebagai masukan
pengetahuan bahasa dan sebagai media intruksi komunikasi bahasa untuk
mengatur aktivitas kelas. Maka dari itu diambil pemahaman bahasa bahasa guru
memiliki dua peranan yang penting dalam jalannya proses pembelajaran di
dalam kelas, yakni sebagai transfer bahasa, sebagai pengetahuan, dan sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
media interaksi melalui lisan oleh guru kepada peserta didik, sehingga
menciptakan interaksi komunikasi yang diharapkan dalam proses pembelajaran
di kelas.
2.6.2 Bahasa Murid
Ruang kelas menjadi tempat bertemunya tuturan guru dan murid. Ellis
(2012: 192) mengungkapkan Classrooms are complex social context and they
vary enormously. Furthermore, they are not just fixed and static social contexts.
Pengertian tersebut menjadikan dasar atas pemahaman mengenai bahasa murid.
Bahwa ruang kelas terdapat berbagai variasi konteks yang berubah-ubah.
Apalagi murid-murid dalam skala yang besar memiliki keragaman latar belakang
yang lebih variatif, sehingga menimbulkan perbedaan cara atau aspek bahasa
murid. Hal inilah yang juga harus diperhatikan oleh guru perihal keragaman
sosial para murid, agar tidak terjadi gap saat proses pembelajaran di kelas
berlangsung.
Ellis (2012: 161) membuat beberapa aspek perihal bahasa murid di dalam
kelas. Aspek-aspek tersebut yakni (1) Silent period and private speech. Aspek
ini berkaitan perihal suatu periode siswa tidak ada ungkapan atau hanya diam.
Hal ini berhubungan dengan masalah pengenalan atau adanya permasalahan
pada suatu keadaan, sehingga menyebabkan siswa memilih diam. (2) Formulaic
speech, pada aspek ini siswa melakukan tahap belajar berbicara atau
mengungkapkan sesuatu berdasarkan rancangan tata bahasa terstruktur. Hal ini
biasanya tertuang pada bahan pidato atupun bahan pembelajaran bahasa lain. (3)
structural and semantic simplification, aspek ini ssiwa mulai menyederhanakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
tuturan dalam berkomunikasi. (4) use of the first language, aspek ini merupakan
bentuk pemilihan bahasa dalam berkomunikasi para siswa yang menggunakan
bahasa pertama. (5) use of metalanguage, aspek ini menunjukkan perihal
penggunaan ungkapan-ungkapan yang terkandung istilah-istilah asing atau untuk
tataran tinggi. (6) discourse features, aspek ini berhubungan dengan penggunaan
wacana-wacana di dalam proses pembelajaran di kelas. (7) uptake, aspek ini
merupakan penyediaan fitur-fitur wacana baik secara eksplisit maupun implisit
dalam memancing percakapan dengan siswa. (8) language play, aspek ini siswa
menggunakan bahasa secara fleksibel dengan istilah-istilah kekinian guna
melancarkan proses percakapan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Implikatur guru dalam
pembelajaran SMK Putra
Tama Bantul dan SMA
Pangudi Luhur Yogyakarta
Konteks
Pragmatik
Implikatur
Mendeskripsikan
implikatur guru di dalam
pembelajaran SMK Putra
Tama Bantul dan SMA
Pangudi Luhur
Mendeskripsikan wujud
implikatur guru di
dalam pembelajaran
SMK Putra Tama Bantul
dan SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta
2.7 Kerangka Berpikir
Penelitian ini menggunakan dasar teori dari pragmatik. Kemudian
bercabang dalam keterhubungannya implikatur dan konteks yang merupakan
satu kesatuan, sehingga dalam mengkaji implikatur harus ada juga konteks.
Peneliti akan melakukan penelitian berdasarkan pada implikatur-implikatur yang
ada pada bahasa guru saat pembelajaran di SMK Putra Tama Bantul dan SMA
Pangudi Luhur Yogyakarta. Dari hasil klasifikasi tuturan-tuturan guru mata
pelajaran yang mengandung implikatur seperti implikatur percakapan umum,
implikatur percakapan berskala, dan implikatur percakapan khusus akan
diperoleh wujud implikatur dan maksud implikatur yang terjadi pada tuturan
guru di dalam pembelajaran SMK Putra Tama Bantul dan SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan
oleh peneliti. Hal tersebut meliputi (1) jenis penelitian, (2) data dan sumber data,
(3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) metode dan teknik analisis data, dan
(5) triangulasi data.
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Moleong (2006:
6) menyatakan bahwa penelitian kualitatif bermaksud memahami fenomena apa
yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai
landasan bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian ini, karena peneliti akan
mendeskripsikan hasil pemahaman terhadap fenomena yang subjek yakni guru
beberapa mata pelajaran menghasilkan tuturan-tuturan yang diindikasikan
mengandung implikatur pada proses pembelajaran. Hal ini ditindaklanjuti dengan
proses pendeskripsian menggunakan konteks-konteks yang telah digunakan dalam
menganalisis bentuk-bentuk tuturan implikatur dari guru, sehingga akan diketahui
maksud-maksud dari tuturan berimplikatur tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
3.2 Sumber Data, Data Penelitian, dan Objek Penelitian
Sumber data menurut Mahsun (2005: 28) merupakan hal lain yang ada
kaitannya dengan data adalah menyangkut sumber data, yang di dalamnya terdapat
masalah yang berhubungan dengan populasi, sampel, dan informan. Sumber data
pada penelitian ini dibagi atas dua jenis, yakni sumber data lokasional dan sumber
data substantif. Sumber data lokasional berkaitan sumber partisipan atau informan,
lingkungan atau lokasi dari data ditemukan. Maka dari itu sumber data lokasional
dalam penelitian ini adalah guru di kelas XI SMK Putra Tama Bantul dan SMA
Pangudi Luhur, Yogyakarta dengan spesifikasi mata pelajaran Guru Matematika,
Guru Sejarah, Guru Geografi, Guru Bahasa Indonesia, Guru Sosiologi, Guru
Ekonomi, Guru Broadcasting, Guru Olahraga , dan Guru Kimia. Sumber data tersebut
dipilih untuk menghindari data yang kurang dan sekaligus menambah tuturan-tuturan
dari guru yang semakin banyak.
Sumber data substantif penelitian berasal dari tuturan-tuturan percakapan
langsung atau bersumber dari suatu dialog yang terindikasi mengandung implikatur
percakapan guru dan murid dalam pembelajaran di kelas. Data tersebut
diklasifikasikan sesuai dengan fungsi komunikatifnya. Fungsi komunikatif tersebut
meliputi memerintah, interogatif, dan penyataan. Maka dari itu objek penelitian ini
adalah implikatur-implikatur yang terkandung dalam tuturan dari para guru tersebut.
Selain itu, data tuturan akan dikategorikan sesuai dengan jenis implikatur yang
mengikutinya, yakni data tuturan yang termasuk implikatur konvensional dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
implikatur percakapan. Pada bagian jenis implikatur percakapan akan diklasifikasikan
kembali menjadi tiga jenis, yakni implikatur percakapan umum, implikatur
percakapan berskala, dan implikatur percakapan khusus. Data-data tersebut nantinya
akan dipilah sesuai dengan jenis implikaturnya untuk dianalisis. Secara umum, data
tuturan yang diindikasi mengandung implikatur adalah apa yang dituturkan tidak
sama dengan apa yang dimaksudkan. Hal ini tentu sesuai dengan konteks yang
melingkupi data tersebut.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini telah dikenalkan sebagai penelitian berjenis deskriptif kualitatif,
sehingga peneliti akan mendeskripsikan suatu peristiwa atau hasil pengamatan secara
natural tanpa ada unsur pengubahan sifat data. Maka dari itu, penelitian ini akan
menggunakan metode simak dalam proses pengumpulan data. Mahsun (2007: 92)
menjelaskan bahwa metode simak adalah cara yang digunakan untuk memperoleh
data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Oleh karena itu, peneliti
akan menyimak tuturan guru kepada para murid kelas XI SMK Putra Tama Bantul
dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Metode simak ini tentu memiliki teknik
sebagai wujud aktivitas pengumpulan data tersebut, yakni dengan teknik sadap.
Mahsun (2007: 92) menyatakan bahwa teknik sadap merupakan teknik dasar dalam
metode simak, karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan.
Maka dari itu peneliti akan menyadap percakapan yang dihasilkan oleh para guru
melalui tuturan-tuturannya di dalam kelas kepada para siswa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Teknik yang akan peneliti lakukan selanjutnya adalah teknik bebas libat cakap
dan teknik catat. Mahsun (2007: 93) menjelaskan bahwa teknik bebas libat cakap
menempatkan si peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh
para informannya. Maka dari itu, peneliti akan berperan hanya sebagai pengamat
dalam proses pembelajaran di kelas tersebut dalam usaha mengumpulkan data-data
berupa tuturan-tuturan yang mengandung implikatur dari para guru mata pelajaran
tersebut. Peneliti menggunakan teknik catat dalam mengumpulkan data. teknik catat
adalah teknik lanjutan yang dilakukan peneliti ketika menerapkan metode simak
(mahsun, 2012:93).
Peneliti akan menemui kepala sekolah dan bagian kurikulum dari SMK Putra
Tama Bantul dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta untuk menyampaikan maksud dan
tata cara penelitian yang akan dilakukan, serta meminta izin untuk melakukan
penelitian. Kemudian peneliti akan memohon izin kepada para guru yang
bersangkutan untuk melakukan pengambilan data dengan mencatat di dalam kelas.
Hal ini dilakukan agar proses pembelajaran berjalan dengan natural.
Peneliti melakukan coding pada data yang telah terkumpul. Hal ini dilakukan
untuk memudahkan peneliti dalam administrasi data. klasifikasi yang akan diadakan
coding adalah tanggal pengambilan data, urutan perolehan data pada tanggal tersebut,
dan kode SMA atau SMK sesuai dengan sekolah yang diambil data tersebut. proses
coding yang peneliti lakukan adalah berdasarkan tanggal/urutan data/ jenjang sekolah
(SMA atau SMK).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
3.4 Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini peneliti yang memiliki intuisi lingual dan berbekal teori
pragmatik berkedudukan sebagai instrumen penelitian. Peneliti merupakan
perencana, pelaksana pengumpul data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya
menjadi pelopor hasil penelitian (Moleong, 2006: 168). Peneliti mencoba untuk
memiliki sikap yang responsif, adaptif, menekankan kepada keutuhan, mendasarkan
diri atas pengetahuan, memproses dan mengikhtisarkan, dan memanfaatkan
kesempatan mencari respons yang tidak lazim atau idiosinkratik (Moleong,
2006:169).
Peneliti mencoba untuk menerima segala respon yang terjadi dalam proses
pembelajaran di kelas berkaitan dengan kefokusan peneliti yakni implikatur serta
konteks yang terjadi saat tuturan tersebut terjadi, sehingga peneliti akan mengamati
secara langsung situasi pembelajaran di dalam kelas. Adaptasi yang peneliti lakukan
harus berjalan dengan baik, agar proses pengamatan dapat berlangsung dengan baik
dan natural. Hal ini disadari bahwa peneliti sebagai instrumen, peneliti harus dapat
menyesuaikan diri pada keadaan atau situasi pengumpulan data. Aspek keutuhan data
menjadi poin penting yang peneliti harus lakukan dalam pengamatan dan
pengumpulan data, karena peneliti sebagai instrumen memiliki wewenang penuh
dalam menerima konteks-konteks di luar aspek kebahasaan, seperti penglihatan,
suara, dan bau dari proses yang sedang diamati oleh peneliti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan suatu proses mengatur dan menganalisis data,
mengorganisasikannya dalam suatu pola. Sudaryanto (2015:7) menyatakan bahwa
teknik analisis data merupakan upaya peneliti untuk menangani langsung masalah
yang terkandung pada data. Analisis data yang akan peneliti gunakan adalah dengan
metode padan ekstralingual. Mahsun (2007: 120) memaparkan bahwa metode padan
ekstralingual ini digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual,
seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa. Maka
dari itu, peneliti akan menghubungkan bahasa yang dituturkan oleh guru dengan
konteks di luar bahasa yang melingkupinya guna menemukan maksud yang
sebenarnya. Mahsun (2007: 121) menambahkan catatan khusus perihal metode padan
ekstralingual tersebut, yakni menghubungkan unsur bahasa yang berupa bentuk itu
dengan hal yang di luar bahasa, misalnya “baju” adalah kata benda karena
menunjukkan benda. Kemudian membandingkan hal di luar bahasa itu: makna
dengan makna.
Teknik dasar sebagai langkah pengembangan dari metode padan ekstralingual ini
adalah teknik dasar “pilah unsur penentu atau teknik PUP”. Teknik PUP ini
dipaparkan oleh Sudaryanto ( 2015: 25-26) bahwa sesuai dengan jenis penentu yang
akan dipilah-pilahkan atau dipisah-pisahkan atau dibagi menjadi berbagai unsur itu
maka daya pilah itu disebut “daya pilah referensial”, “daya pilah fonetis
artikulatoris”, “daya pilah translasional”, “daya pilah ortografis”, dan “daya pilah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
pragmatis”. Dasar pembagian dari pemilahan tersebut berasal dari sifat atau watak
unsur penentu masing-masing data. Peneliti akan menggunakan teknik dasar daya
pilah pragmatis, yang mana daya pilah akan menggunakan unsur-unsur pragmatik
seperti tuturan, penutur, mitra tutur, dan konteks.
Sudaryanto (2015: 32) memerikan tiga langkah teknik lanjutan, yakni teknik
hubung banding menyamakan (teknik HBS), teknik hubung banding membedakan
(teknik HBB), dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok (teknik HBSP).
Setiap teknik lanjutan tersebut memiliki kekhasan tersendiri, yakni daya banding
menyamakan, membedakan, dan menyamakan hal pokok yang kesemuanya memiliki
sifat yang mental. Landasan pembanding data akan menggunakan teori yang menjadi
acuan baku sebagai penerapan, sehingga standar pembandingan yang dibandingkan
tersebut adalah sebagai bentuk analisis. Sebagai tindak lanjut tersebut peneliti
menggunakan teknik analisis yang berdasarkan pada penelitian hibah kompetensi
tahun 2017 Prof. Pranowo dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi jenis-jenis implikatur tururan guru dalam berkomunikasi di
kelas. Jenis-jenis tersebut adalah implikatur konvensional, implikatur percakapan
umum, implikatur percakapan berskala, dan implikatur percakapan khusus.
2. Mengidentifikasi wujud-wujud implikatur tuturan guru dalam berkomunikasi di
kelas. Wujud-wujud implikatur berdasarkan pada fungsi komunikatif dalam data
tuturan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
3. Mengidentifikasi maksud implikatur yang terkandung dalam wujud tuturan guru
dalam berkomunikasi di kelas. Proses identifikasi maksud implikatur ini
berdasarkan pada hasil analisis data wujud implikatur. Maksud implikatur akan
diketahui melalui konteks dan koteks data tuturan.
3.6 Triangulasi Data
Untuk menguji dengan benar derajat keabsahan data digunkan trianggulasi.
Triangulasi adalah cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan
konstruksi kenyataan yang ada dalam kontak suatu studi sewaktu mengumpulkan data
tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan (Moleong, 1988:
332). Triangulasi data dilakukan untuk menguji data yang terkumpul kepada ahli, ahli
dalam kaitan dengan penelitian ini yang dimaksud adalah ahli pragmatik. Ahli
tersebut akan melihat bahwa data yang dikumpulkan sudah dapat dikatakan memadai
(representatif), dan untuk mengkonfirmasi bahwa data yang didapat sudah dikatakan
mencukupi hingga sudah tidak ditemukan data lagi.
Selain itu triangulasi data juga bukan semata-mata untuk mencari kebenaran data
penelitian tetapi juga untuk mengecek kredibilitas data dan keterpercayaan hasil
temuan yang diperoleh dari berbagai sumber. Triangulator yang akan peneliti
hubungi, yakni Dr. Emanuel Sunarto M.Hum yang bertugas sebagai pengajar di
program pascasarjana Kajian Bahasa Inggris dan pendidikan bahasa Inggris
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
BAB IV
HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bagian bab IV ini akan terdiri atas tiga bagian, yakni bagian deskripsi
data, bagian analisis data, dan bagian pembahasan. Pada bagian deskripsi data,
peneliti akan menguraikan data penelitian. Bagian selanjutnya, peneliti akan
menjelaskan hasil temuan-temuan dari analisis data yang berdasarkan dari rumusan
masalah awal, yakni mengkaji perihal (1) wujud implikatur tuturan guru di dalam
pembelajaran SMK Putra Tama Bantul dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, dan (2)
implikatur tuturan guru di dalam pembelajaran SMK Putra Tama Bantul dan SMA
Pangudi Luhur Yogyakarta.
4.1 Deskripsi Data
Data penelitian berupa tuturan-tuturan yang diindikasi mengandung
implikatur dari guru maupun murid kelas XI. Jumlah keseluruhan data yang peneliti
dapatkan berjumlah 62 data tuturan yang mengandung implikatur. Secara terperinci,
peneliti mendapatkan 36 data tuturan dari sumber data SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta, sedangkan 26 data tuturan didapatkan dari sumber data SMK Putra
Tama, Bantul. Secara keseluruhan data tersebut peneliti dapatkan berupa kata, frasa,
klausa, dan kalimat yang dituturkan. Tuturan yang mengandung implikatur, baik
implikatur konvensional dan implikatur percakapan tersebut mayoritas dituturkan
oleh guru daripada murid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Deskripsi data wujud implikatur yang peneliti dapatkan berupa wujud kalimat
yang memiliki fungsi komunikatif berwujud kalimat deklaratif atau pernyataan,
kalimat interogatif atau pertanyaan, dan kalimat imperatif atau perintah. Secara
keseluruhan, data yang berwujud kalimat deklaratif atau pernyataan berjumlah 23
tuturan. Untuk wujud kalimat interogatif atau pertanyaan berjumlah 32 tuturan
berasal dari kedua sekolah tersebut. Kemudian wujud tuturan yang berupa imperatif
atau perintah berjumlah 7 data tuturan.
Deskripsi data maksud implikatur didapatkan dari tindak lanjut atas analisis
data wujud implikatur sebelumnya. Pada tahap analisis data maksud implikatur,
peneliti berpegang atas konteks dan co-text yang melingkupi data tuturan. Hal ini
guna mengakomodasi peneliti dalam memaknai data tuturan secara gramatikal dan
tindak lanjut atas konteksnya. Konteks yang peneliti gunakan adalah kombinasi dari
konteks menurt Hymes yang terkenal dengan konsep SPEAKING dan konteks
menurut Leech. Secara menyeluruh, maksud-maksud yang peneliti dapatkan memiliki
kecenderungan untuk bermaksud memerintah. Akan tetapi, data yang peneliti
temukan memiliki maksud sampingan atau maksud sekunder seperti menyindir,
melarang, mengklarifikasi, dll.
4.2 Hasil Analisis Data
4.2.1 Wujud Implikatur dalam Pembelajaran
Wujud implikatur yang terdapat dalam tuturan-tuturan pembelajaran di SMK
Putra Tama Bantul dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta berupa kata, frasa, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
kalimat yang dituturkan oleh guru dan murid. Wujud-wujud implikatur yang
ditemukan tersebut memiliki sifat yang komunikatif terhadap maksud yang
diharapkan oleh penutur. Akan tetapi, wujud-wujud tersebut selain memiliki sifat
langsung dari bentuk gramatikalnya, ternyata juga memiliki maksud tersembunyi
yang mengimplikasikan hal-hal lain dari penutur. Wujud implikatur diklasifikasikan
atas dasar jenis implikatur. Jenis-jenis implikatur tersebut dirunut dari Grice (1975)
yang menyatakan terdapat dua jenis implikatur, yakni implikatur konvensional dan
implikatur percakapan. Berikut ini akan diuraikan wujud implikatur yang berdasarkan
atas temuan di lapangan.
4.2.1.1 Wujud Implikatur Konvensional
Pada bagian analisis wujud implikatur konvensional, peneliti menemukan dua
wujud, sehingga akan diklasifikasikan atas dua wujud tersebut. Wujud-wujud
implikatur konvensional tersebut berupa wujud tuturan deklaratif dan wujud tuturan
imperatif yang akan disajikan sebagai berikut.
1. Wujud Tuturan Deklaratif
Wujud tuturan deklaratif akan dilihat dari segi gramatikal serta pengucapan
yang dilakukan oleh penutur. Kalimat deklaratif dalam bahasa Indonesia
mengandung maksud memberitakan sesuatu kepada si mitra tutur (Rahardi,
2005:74). Pada tuturan deklaratif akan terdapat beberapa tuturan yang memiliki
maksud selain apa yang tampak dengan tuturan langsung. Berikut ini adalah analisis
perihal wujud tuturan deklaratif dalam implikatur konvensional.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Tuturan (1)
Guru: “Bapak-bapak iki arisan ae.” (3/7/SMA)
(bapak-bapak ini arisan terus)
Konteks: Situasi terasa tegang karena guru perempuan sedang menjelaskan materi,
namun berubah ketika mengomentari aktivitas empat murid laki-laki yang sedang
ribut sendiri. Maksud dari pertuturan tersebut adalah untuk meminta para murid yang
ribut untuk lebih kondusif. Bentuk tuturan tersebut adalah kalimat perintah yang
bersifat mengomentari aktivitas sekelompok murid, bukan menyuruh untuk diam.
Tetapi melalui sindiran aktivitas yang dianalogikan sebagai aktivitas arisan layaknya
ibu-ibu yang ramai saling berbicara.
Tuturan (2)
Guru: “Utari, vokal dasarnya lembut, tapi kalau bercanda treble semua ya.”
(28/6/SMK)
Konteks: Situasi dari tuturan tersebut tampak santai. Pelaku adalah guru dan salah
satu siswi. Maksud dari tuturan tersebut menyuruh siswi tersebut membaca berita
dengan volume lebih keras. Bentuk tuturan menggunakan tuturan lisan dan bernada
tinggi. Penggunaan kata treble sebagai kata sindiran untuk siswi tersebut adalah
kesehariannya yang selalu bicara keras ketika kondisi kelas ramai.
Tuturan (3)
Guru : “KD selanjutnya adalah wawancara.” (10/2/SMA)
Murid : “Waduh”
Konteks: Situasi pertuturan tersebu tampak santai, maksud dari tuturan tersebut
adalah memperingatkan perihal aspek-aspek yang akan dilakukan pada KD
wawancara. Nada yang terdengar cenderung tinggi dan jelas.
Implikatur konvensional sejatinya adalah implikatur yang memiliki maksud
secara gramatikal diketahui oleh masyarakat umum. Mulyana (2001) mengungkapkan
implikatur konvensional merupakan implikasi atau pengertian yang bersifat umum.
Hal tersebut tampak pada data tuturan 1, ditemukan kata “arisan”. Kata tersebut
memiliki makna yang telah diketahui banyak orang. Kata “arisan” memiliki arti
kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang
kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya,
undian dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
memperolehnya (KBBI). Secara gramatikal, kata “arisan” telah dijelaskan
sebelumnya, namun penggunaan kata “arisan” dalam tuturan tersebut dilihat dari
keadaan saat proses arisan dan pengetahuan bersama oleh masyarakat mengenai hal
itu. Pengetahuan tersebut merujuk pada keadaan anggota arisan erat kaitannya dengan
berisik, gaduh, dan ramai oleh percakapan-percakapan apapun di dalamnya. Maka
dari itu, banyak masyarakat umum yang mengetahui arisan adalah kondisi berisik
atau gaduh antarsesamanya. Jadi, guru menganalogikan keadaan tersebut dengan kata
“arisan” dan menuturkan tuturan dengan wujud deklaratif atau pernyataan yang
terkesan menyindir.
Penggunaan istilah asing juga digunakan dalam tuturan data (2), yang mana
merupakan tuturan yang diawali dengan memuji dan diakhiri dengan sindiran. Hal ini
juga sering disebut dengan majas ironi. Penggunaan kata “treble” pada seseorang
sebenarnya berlebihan, mengingat “treble” merupakan bagian dari pengaturan suatu
audio elektronik. “Treble” sendiri merupakan bagian audio yang mengatur nada
tinggi pada suara. Maka dari itu, penempatan kata “treble” pada tuturan tersebut
menempatkan siswi sebagai pemilik suara yang tinggi dan nyaring. Akan tetapi, pada
saat peristiwa tersebut, siswi hanya berbicara pelan dan bukan seperti biasanya,
sehingga guru menggunakan istilah “treble” bagi siswi tersebut. Dari segi wujud
keseluruhan tuturan tersebut merupakan sebuah wujud deklaratif yang terkesan
menyindir mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Chaer (2011:349) menyatakan bahwa kalimat berita adalah kalimat yang
isinya menyatakan berita atau pernyataan untuk diketahui oleh orang lain (pendengar
atau pembaca). Data tuturan (3) adalah tuturan berwujud pernyataan atau berita yang
hendak menginformasikan bahwa KD selanjutnya adalah KD wawancara. Hal ini
merujuk pada pesan yang hendak disampaikan oleh sang guru kepada para muridnya
perihal aspek-aspek yang akan dilakukan oleh para murid ketika melakukan aktivitas
wawancara. Maka dari itu, maksud tuturan “KD selanjutnya adalah wawancara.”
Merupakan makna suatu imbauan guru kepada para murid yang berjenis tuturan
nonimperatif yang berwujud kalimat berita atau kalimat deklaratif atau pernyataan
yang terkesan memperingatkan.
2. Wujud Tuturan Imperatif
Wujud tuturan imperatif ditunjukkan dengan bentuk kalimat imperatif.
Rahardi (2005: 79) menyatakan bahwa kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia
dapat berkisar antara suruhan yang sangat keras atau kasar sampai dengan
permohonan yang sangat halus atau santun. Berikut ini adalah tuturan yang
merupakan wujud tuturan imperatif.
Tuturan (4)
Guru : “Kalau mau olah mulut, iya silahkan di luar tidak apa-apa!” (7/3/SMA)
Konteks: Situasi dari tuturan tersebut tampak marah, sedangkan mitra tutur tampak
gaduh tak menghiraukan. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh para murid
untuk tenang, kemudian murid nampak mulai tenang sedikit-demi sedikit. Nada
bicara terdengar pasrah dan pelan.
Tuturan (5)
Guru : “Yang tiduran atau yang sakit silahkan ke UKS saja!” (10/9/SMA)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Konteks: Situasi terasa santai dan terjadi di lapangan indoor. Maksud dari tuturan
tersebut adalah menyuruh murid yang tidak memperhatikan tuturan guru dan tiduran
untuk memperhatikan guru. Nada tuturan tersebut bernada rendah dan santai.
Penggunaan “UKS” menjadi pengetahuan perihal murid yang sakit akan ditempatkan
di UKS.
Tuturan (6)
Guru: Hayo! Yang maju bapak-bapak ini!
Konteks: Situasi terasa kecewa atau kesal yang ditunjukkan oleh sang guru.
Peristiwa tutur terjadi di kelas. Peristiwa tutur terjadi antara guru dengan beberapa
murid laki-laki. Keadaan di situ adalah beberapa murid laki-laki yang ramai dan tidak
memperhatikan soal yang diberikan guru di papan tulis. Beberapa kali guru
menawarkan kepada murid-murid untuk maju mengerjakan soal tersebut, tetapi tidak
ada yang beranjak untuk mengerjakan. Apalagi ada beberapa murid laki-laki yang
ramai sendiri, sehingga sang guru menuturkan tuturan tersebut.
Selanjutnya, data tuturan (4) menggunakan frasa penanda “olah mulut” untuk
tuturannya kepada murid. Frasa tersebut hampir sama dengan frasa “olahraga” yakni
mengolah raga untuk semakin kuat. Akan tetapi, wujud implikatur dalam tuturan (4)
berwujud kalimat deklaratif. Secara gramatikal, frasa tersebut merupakan jenis frasa
kerja berkontruksi D-M. Dirunut dari Chaer (2011:320) bahwa frase kerja
berkontruksi D-M yang unsurnya terdiri dari kata kerja dan kata benda hanya ada
(atau ada dalam bahasa Indonesia) dalam makna idiomatikal. Dilihat dari wujudnya,
tuturan tersebut berwujud kalimat imperatif ngelulu. Rahardi (2005: 116)
mengungkapkan bahwa kata “ngelulu” berasal dari bahasa Jawa, yang bermakna
seperti menyuruh mitra tutur melakukan sesuatu namun sebenarnya yang dimaksud
adalah melarang melakukan sesuatu. Guru menggunakan frasa ”olah mulut” bukan
berarti untuk menguatkan mulut. Guru dapat menggunakan pilihan kata atau frasa
seperti “ramai”, “berisik”, atau ”bicara terus” yang menunjukkan maksud yang sama
dengan “olah mulut”. Pada kalimat yang dituturkan oleh guru, frasa”olah mulut”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
diikuti oleh “Di luar saja, tidak apa-apa” menunjukkan bahwa satu tuturan tersebut
guru menggunakan implikatur yang sebenarnya melarang murid untuk ramai dan
tidak memperhatikan oleh sang guru. Maka dari itu, wujud yang tampak dari tuturan
tersebut adalah berwujud imperative atau perintah yang terkesan untuk mengimbau.
Selain frasa seperti tuturan (4), terdapat juga bentuk tuturan dalam tuturan (5)
menggunakan singkatan “UKS” yakni Unit Kesehatan Sekolah dalam kalimat yang
digunakan guru. Pengetahuan umum yang dipahami masyarakat mengenai UKS
adalah salah satu tempat di sekolah guna menampung, tempat, atau mengatasi murid
yang sakit ringan saat di sekolah. Dirunut dari makna kalimatnya, bahwa kalimat
tersebut merupakan jenis kalimat sintetis. Kalimat sintetis adalah kalimat yang
kebenarannya bergantung pada fakta-fakta luar bahasa (Wijana, 1996:42). Hal ini
tentu dilihat dari uraian kalimat yang dituturkan oleh penutur yang berunsur untuk
menghimbau bagi yang tiduran dan sakit untuk ke UKS. Hal tersebut merujuk pada
wujud implikatur yang berupa perintah dengan unsur himbauan.
Data tuturan (6) menggunakan penanda kata “bapak-bapak” sebagai acuan
untuk diklasifikasikan dalam implikatur konvensional. Hal ini diproyeksikan bahwa
kata tersebut diketahui oleh khalayak menganai spesifikasinya. Kata “bapak” sendiri
memiliki pengertian seorang pria dewasa yang telah memiliki istri, serta anak.
Kemudian penyebutan dari kata “bapak” dituturkan berulang, sehingga menjadi
“bapak-bapak” yang berarti banyak bapak. Dari konteks yang terdapat dalam
peristiwa tutur tersebut, guru menganalogikan beberapa murid laki-laki ke dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
sebutan “bapak-bapak”. Oleh karena itu, orang di luar lingkungan kelas itu pun
mengetahui makna kata tersebut. Selanjutnya, makna tuturan (6) dianalisis melalui
penggunaan kata dan konteksnya memiliki makna menyindir dan memerintah
beberapa murid laki-laki yang tidak kondusif. Sindiran tersebut muncul melalui efek
penggunaan kata “bapak-bapak”, padahal sejatinya murid-murid tersebut belum
memiliki istri dan anak. Dengan demikian, disimpulkan bahwa tuturan tersebut
memiliki wujud imperatif yang menggunakan piranti kata konvensional yang
terkesan menyindir mitra tutur.
Pada analisis wujud imperatif implikatur konvensional ditemukan bahwa
penggunaan kata dan frasa dalam sebuah tuturan dapat menentukan makna yang ingin
disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur. Hal ini sesuai dengan sifat implikatur
konvensional yang menggunakan makna arti kata atau frasa. Selain itu, ditemukan
pula bahwa pengucapan atau penuturan dirasakan lebih meningkat volumenya. Hal
ini menjadi salah satu indikator tuturan tersebut merupakan bentuk perintah, sehingga
transkripsi tuturan menggunakan tanda seru yang merupakan salah satu sifat kalimat
perintah. Dengan demikian, pemahaman maksud suatu tuturan dalam wujud imperatif
implikatur konvensional melalui kata dan frasa yang digunakan disertai kecepatan
dan volume tuturan.
Dengan demikian, dari hasil analisis wujud implikatur konvensional yang
terdapat pada tuturan percakapan guru dan murid terdiri atas dua wujud. Pertama
adalah implikatur yang memiliki wujud pernyataan atau deklaratif. Dari wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
tersebut dikhususkan kembali bahwa terdapat kesan yang dirasakan dari makna literal
atau makna yang tampak dari tuturan tersebut, yakni kesan menyindir dan
mengimbau. Oleh karena itu, dari wujud deklaratif atau pernyataan dalam implikatur
konvensional mengandung kesan menyindir dan mengimbau. Kedua, implikatur yang
memiliki wujud imperatif atau perintah dalam tuturan guru dan murid. Hal ini sama
dengan wujud deklaratif yang memiliki kesan, kesan dari tuturan yang berwujud
imperative tersebut adalah menyindir dan mengimbau.
4.2.1.2 Wujud Implikatur Percakapan
Yule (2014) mengungkapkan bahwa dalam implikatur percakapan terdiri atas
tiga jenis, yakni implikatur percakapan umum, implikatur percakapan khusus, dan
implikatur percakapan berskala. Berikut ini adalah wujud implikatur percakapan yang
didapatkan di lapangan dan penguraiannya.
1. Wujud Implikatur Percakapan Umum
Pada bagian analisis wujud implikatur percakapan umum. Peneliti
menemukan tiga, sehingga akan diklasifikasikan atas tiga wujud tersebut. Berikut ini
adalah penguraian mengenai wujud-wujud implikatur percakapan umum yang akan
disajikan sebagai berikut.
1) Wujud Tuturan Deklaratif
Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa secara fungsi komunikatif wujud
deklaratif memiliki tujuan untuk menyampaikan informasi bagi mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Berikut ini adalah beberapa data tuturan yang memiliki wujud deklaratif atau wujud
pernyataan yang terdapat dalam jenis implikatur percakapan umum.
Tuturan (7)
Guru : “Gene bagus bajune dilebokke, opo maneh nganggo tali rafia.” (1/1/SMA)
(ternyata bagus bajunya dimasukkan, apalagi memakai tali rafia)
Konteks: situasi menyenangkan atau tidak tegang pasca diberikan tugas. Guru
mengingatkan murid tersebut untuk lebih rapi lagi dan tidak nanggung dalam hal
merapikan pakaian yang digunakan. Karena murid tersebut memasukkan pakaian,
tetapi menggunakan sabuk tali plastik (rafia). Tuturan dinyatakan dengan cara yang
santai. Penutur dan mitra tutur berasal dari daerah jawa, sehingga menggunakan
tuturan bahasa Jawa.
Tuturan (8)
Guru : “Yang menyembunyikan tas dan jaket, tahun depan ngulang.” (3/12/SMA)
Konteks: Situasi yang terjadi pada pertuturan tersebut tampak santai dan menjurus
pada ramai. Maksud dari tuturan tersebut adalah memerintah bagi yang
menyembunyikan tas dan jaket untuk segera mengembalikan. Bentuk tuturan berupa
kalimat perintah. Penutur adalah guru sejarah, yang ditujukan kepada seluruh murid
kelas VIII IPS 1.
Tuturan (9)
Guru : “Kamu ndak ada catatan kan pasti? Ga papa, sampai ulangan sajakan enak
malahan.” (29/10/SMK)
Konteks : Situasi tuturan tersebut terasa jengkel. Maksud dari tuturan tersebut adalah
menunjukkan bahwa sang guru telah pasrah terhadap sikap murid. Nada suara guru
terdengar tinggi.
Pada data tuturan (7), wujud tuturan berupa bahasa jawa, karena penutur dan
mitra tutur memiliki latar belakang budaya jawa. Bentuk tuturan berupa kalimat
pernyataan. Tuturan tersebut mengandung pujian, komentar, dan melarang bagi
muridnya. Tuturan (7) merupakan wujud dari imperatif “ngelulu”, yakni mengandung
maksud melarang, namun berbentuk imperatif biasa yang lebih kepada
mengomentari. Rahardi (2005: 117) mengungkapkan bahwa imperatif yang bermakna
“ngelulu” di dalam bahasa Indonesia lazimnya tidak diungkapkan dengan penanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
kesantunan itu, melainkan berbentuk tuturan imperatif biasa. Selain itu, tuturan (7)
secara gramatikal atau penyusunan kalimat merupakan jenis kalimat majemuk setara.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut memiliki wujud perintah
atau imperatif dengan kesan menyarankan.
Pada tuturan (8) merupakan jenis implikatur percakapan umum yang
berwujud kalimat pernyataan. Tuturan di atas ditujukan kepada pelaku atau subjek,
yakni “yang menyembunyikan tas dan jaket”. Ditilik dari wujud tuturan adalah
pernyataan. Akan tetapi, dari segi fungsi kalimat adalah suatu perintah atau imperatif.
Sejalan dengan Rahardi (2005: 94) bahwa Imperatif yang demikian (wujud
nonimperatif) dapat disebut dengan imperatif tidak langsung yang hanya dapat
diketahui makna pragmatiknya melalui konteks situasi tutur yang mewadahinya. Hal
tersebut tentunya dapat dilihat dalam tuturan (8) yang mengandung maksud imperatif,
namun berwujud pernyataan atau bukan imperatif. Dilihat dari kesan wujud tuturan
tersebut dapat diperoleh kesan memperingatkan.
Data tuturan (9) dan data tuturan (7) memiliki kesamaan wujud, yakni wujud
imperatif ngelulu. Akan tetapi dalam tuturan data (9) terdiri dua bentuk kalimat,
yakni kalimat tanya dan kalimat pernyataan. Kalimat tanya dalam tuturan tersebut
mengandung makna klasrifikasi serta menyindir murid. Hal itu juga menguatkan
tuturan selanjutnya atau yang mengikutinya, yakni pernyataan yang dikenal sebagai
imperatif ngelulu. Yakni guru memerintah murid melakukan sesuatu, namun maksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
yang sebenarnya adalah melarang murid tersebut melakukan tindakan tersebut. Dari
segi kesan yang didapatkan dari wujud tuturan tersebut adalah terkesan menyarankan.
Pada analisis di atas ditemukan bahwa penggunaan wujud kalimat pernyataan
dalam suatu tuturan menimbulkan berbagai macam maksud tuturan. Melalui wujud
deklaratif, tuturan terasa lebih diterima oleh mitra tutur. Hal ini tampak pada reaksi
atas tuturan deklaratif yang memiliki maksud lainnya. Oleh karena itu, dalam suatu
tuturan deklaratif, tidak hanya menunjukkan makna memberi suatu informasi,
melainkan juga terdapat kesan, yakni menyarankan dan memperingatkan.
2) Wujud Tuturan Interogatif
Wujud tuturan interogatif merupakan bentuk kalimat yang mengandung
pertanyaan atau interogatif. Hal ini ditilik dari nada suara dan dari sisi gramatikal
penggunaan kalimat dalam tuturannya. Berikut ini adalah wujud tuturan interoatif
atau pertanyaan yang ditemukan.
Tuturan (10)
Guru : “Ini ada yang piket enggak ya?”
Murid : “Ada kok bu, ada” (11/2/SMA)
Konteks : Situasi pada tuturan tersebut terasa tegang. Penutur adalah guru dan mitra
tutur adalah para murid. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh murid untuk
menghapus tulisan-tulisan di papan tulis. Tuturan bersifat tuturan lisan dua arah dan
bernada tinggi.
Tuturan (11)
Guru : “Mas, apa kamu enggak nulis?”
Murid : “Bu, saya minta soft file.” (11/6/SMA)
Konteks : Situasi dalam pertuturan tersebut terasa lebih santai. Maksud dari tuturan
tersebut adalah menunjukkan bahwa para murid malas untuk menulis catatan yang
berasal dari slide PPT sang guru. Tuturan bersifat lisan dan bernada santai cenderung
merajuk.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Tuturan (12)
Guru : “Gandhang udah selesai?” (5/2/SMK)
Konteks : Situasi terasa kesal. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh murid
untuk tenang dan fokus mengerjakan tugas. Nada suara tuturan terdengar tinggi.
Selanjutnya, selain berbentuk pernyataan untuk fungsi memerintah. Ternyata
pada data tuturan (10) dalam fungsi suruhan menggunakan wujud tuturan pertanyaan
atau interogatif. Wujud interogatif tersebut adalah “ini ada yang piket enggak ya?”
yang mana merupakan jenis implikatur percakapan umum. Tuturan tersebut merujuk
pada sistem yang telah disepakati bersama dalam kelas tersebut yakni kata “piket”.
Piket sendiri merupakan sistem yang disetujui oleh setiap murid dalam kelas untuk
jadwal kebersihan. Landasan ini merujuk dari Rahardi (2005: 96) bahwa makna
imperatif suruhan dapat diungkapkan dengan bentuk tuturan deklaratif dan tuturan
interogatif. Dengan demikian, dalam data tuturan (10) merupakan data implikatur
percakapan yang memiliki wujud kalimat interogatif dengan kesan yang literal yakni
bertanya.
Penggunaan wujud tuturan interogatif tidak hanya digunakan pada data
tuturan (10), melainkan juga pada data tuturan (11) yang mana maksud memerintah
dituturkan dengan wujud pertanyaan atau interogatif. Hal ini dilihat dari struktur
kalimat atau secara literal menunjukkan keinginan untuk sekadar klarifikasi dengan
bentuk tuturan “Mas, apa kamu enggak nulis?”. Secara literal, dapat saja dijawab oleh
murid “tidak” atau “iya”. Akan tetapi, selain dari penggunaan wujud interogatif
dalam tuturan tersebut, terjadi pelanggaran maksim. Yakni, murid tidak menjawab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
apa yang diinginkan oleh penutur. Akan tetapi, melalui pertanyaan yang diajukan
oleh guru tersebut memiliki kesan untuk mengklarifikasi.
Data tuturan (12) dan data tuturan (10) memiliki kesamaan dalam wujud
tuturan, yakni berwujud pertanyaan atau interogatif. Data tuturan (12) merupakan
jenis implikatur percakapan umum, yang mana memiliki maksud untuk memerintah.
Hal ini merujuk Rahardi (2005: 96) bahwa makna imperatif suruhan dapat
diungkapkan dengan bentuk tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Maka dari itu,
pertuturan berupa tuturan interogatif atau pertanyaan dapat dijadikan sebagai tuturan
yang bermaksud untuk memerintah. Pada data tuturan (12) efek yang terjadi dari
wujud pertanyaan tersebut adalah tenang dan melanjutkan mengerjakan soal. Dari
wujud pertanyaan tersebut terkesan penutur ingin mengklarifikasi mitra tutur.
Pada analisis wujud interogatif dalam implikatur percakapan umum
didapatkan bahwa bentuk tuturan berupa kalimat pertanyaan yang secara makna
membutuhkan jawaban dari mitra tutur. Dengan demikian, wujud interogatif yang
guru sampaikan telah dipahami oleh murid. Beberapa kesan yang terdapat dari wujud
interogatif implikatur percakapan umum adalah menanyakan dan mengklarifikasi.
2. Wujud Implikatur Percakapan Berskala
Pada tuturan yang berindikasikan implikatur percakapan berskala ditunjukkan
dengan adanya unsur-unsur skala. Skala suatu nilai dilihat dari unsur perbandingan
atas batasan tertinggi atau terendah. Menurut Yule (2014) bahwa ciri-ciri implikatur
berskala adalah nilai tertinggi ke nilai terendah, seperti skala semua, sebagian besar,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
banyak, beberapa, sedikit, dan skala selalu, dan skala “keharusan” antara lain sering,
kadang-kadang. Akan tetapi, peneliti juga menggunakan penanda angka sebagai
acuan suatu skala selain penanda skala dari Yule. Hal ini berdasar pada maksud yang
ada pada tuturan, yakni angka yang bermakna demi kelancaran pemahaman terhadap
maksud dalam komunikasi. Dalam analisis data implikatur percakapan berskala
terdapat tiga macam wujud, yakni data tuturan wujud deklaratif, imperatif, dan
interogatif. Berikut ini adalah penguraian mengenai wujud implikatur percakapan
berskala yang akan disajikan sebagai berikut.
1) Wujud Tuturan Deklaratif
Pada analisis implikatur percakapan berskala terdapat wujud tuturan
deklaratif. Wujud dengan fungsi komunikatif untuk menyampaikan sebuah informasi
tersebut juga memiliki dua sifat, yakni sifat langsung dan sifat tak langsung untuk
menyampaikan sebuah informasi. Berikut ini data tuturan yang telah didapat dan
merupakan wujud sebuah tuturan deklaratif atau pernyataan.
Tuturan (13)
Guru: “Satu jam pelajaran selesai ya?”
Murid: “satu setengah ya bu”
Guru: “Baik, tapi satu tulisan jadi semua ya.” (4/3/SMK)
Konteks: Situasi terasa menyenangkan. Penutur awal adalah guru, sedangkan mitra
tutur adalah para murid di kelas. Maksud dari tuturan tersebut memerintah para murid
untuk segera menyelesaikan dan menggunakan waktu dengan seefektif mungkin
dalam menulis artikel.
Tuturan (14)
Guru : “Wah kamu 12 pertanyaan ya.”
Murid : “Haha endak pak, belum selesai”
Konteks: Situasi dalam tuturan terasa menyenangkan dan ceria. Penutur adalah guru
dan mitra tutur adalah satu murid perempuan. Guru memberikan tugas kepada murid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
untuk menuliskan pertanyaan-pertanyaan mengenai wawancara yang nantinya
diajukan kepada teman sebangku. Beberapa murid ada yang kesulitan menyusun
pertanyaan, sehingga dalam waktu yang lama belum menghasilkan pertanyaan yang
banyak. Maksud yang terdapat dalam tuturan tersebut adalah menyindir dan
memerintahkan untuk lebih cepat menyusun pertanyaan.
Pada data tuturan (13) terdapat kata yang menjadi acuan dari implikatur
percakapan berskala menurut Yule, yakni kata “semua”. Data tuturan (13) terjadi kala
guru baru memberikan tugas untuk menulis sebuah artikel berita dalam pelajaran
broadcasting. Sebelum terjadi tuturan yang menunjukkan sebuah acuan dari
implikatur percakapan berskala menurut Yule, yakni “semua”. Terdapat proses tawar
menawar yang terjadi antara murid dan guru dalam menentukan waktu untuk
penyelsaian sebuah tugas menulis artikel. Pada tuturan “baik, tapi satu tulisan jadi
semua ya” memiliki makna literal atau yang tampak adalah guru setuju dengan
permohonan para murid, namun guru menambahkan kata “semua” yang memiliki arti
skala tidak beberapa maupun sebagian, sehingga maksud yang terdapat dalam tuturan
tersebut adalah guru memerintah para murid untuk efektif menggunakan kesempatan
yang diberikan oleh guru. Hal ini dilatarbelakangi oleh murid yang sering
menggunakan waktu yang lama dalam menyelesaikan tugas untuk gaduh atau ramai.
Dengan demikian, wujud yang terdapat dalam data tuturan (13) adalah berwujud
pernyataan atau deklaratif yang memiliki kesan literal menghimbau.
Pada tuturan (14) terdapat penanda yang menyebabkan tuturan tersebut
merupakan implikatur percakapan berskala. Yakni pada penyebutan angka “12”,
sehingga penanda sebuah skala atau suatu pengukuran berpatok pada angka “12”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Wujud dari tuturan tersebut merupakan sebuah pernyataan yang ditujukan kepada
salah satu murid. Dilihat dari konteks tuturannya, diketahui bahwa pemberian waktu
yang lama oleh sang guru tidak dimanfaatkan oleh murid untuk segera menyelesaikan
tugas. Maka dari itu, tuturan (14) memiliki sifat kebalikan dari kenyataan. Kenyataan
yang ada adalah soal-soal yang dibuat oleh murid tidak banyak dan tidak mencapai
12. Oleh karena itu, wujud pernyataan dari tuturan (14) merupakan sebuah bentuk
sindiran halus yang ditujukan kepada muridnya. Argumen yang menguatkan bahwa
tuturan (14) adalah sebuah sindiran terdapat pada tuturan balasan dari murid, yakni
“Haha, endak pak, belum selesai.” Maka dari itu, pernyataan dari guru yang tidak
sesuai dengan kenyataan merupakan sebuah tindakan menyindir.
Dari kedua analisis data (13) dan (14) di atas didapatkan bahwa implikatur
percakapan berskala yang berwujud deklaratif atau pernyataan dapat memperhalus
tuturan. Selain itu juga dapat mengakomodasi beberapa maksud tersembunyi di luar
tuturan yang tampak. Secara khusus, wujud dari tuturan implikatur berskala dilihat
dari penggunaan kata dan frasa nominal angka secara langsung. Hal ini merupakan
bagian pengembangan teori dari Yule (2014) bahwa ciri-ciri implikatur berskala
adalah nilai tertinggi ke nilai terendah, seperti skala semua, sebagian besar, banyak,
beberapa, sedikit, dan skala selalu, dan skala “keharusan” antara lain sering, kadang-
kadang. Oleh karena itu, pengukuran sebuah skala menggunakan angka atau nominal
bilangan secara langsung terdapat dalam wujud tuturan. Kesan secara literal yang dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
wujud tuturan deklaratif implikatur percakapan berskala adalah menghimbau dan
menyindir.
2) Wujud Tuturan Imperatif
Pada analisis implikatur percakapan berskala terdapat wujud tuturan
imperatif. Berikut ini data tuturan yang telah didapat dan merupakan wujud sebuah
tuturan imperatif atau perintah.
Tuturan (15)
Murid : “Ijin ke belakang bu.”
Guru : “Sak menit!” (satu menit) (3/8/SMA)
Konteks: situasi saat pertuturan itu agak santai dan tidak tegang. Maksud tuturan
tersebut menunjukkan bahwa guru adalah orang yang disiplin dan ingin murid
tersebut cepat kembali ke kelas. Bentuk tuturan berupa kalimat perintah yang tidak
menjawab secara tersurat tuturan murid. Nada bicara tegas dan cepat.
Pada data tuturan (15) guru menuturkan tuturan yang diindikasikan
mengandung implikatur percakapan berskala dengan patokan angka atau bilangan
yang terbilang. Angka yang terbilang tersebut adalah “sak menit” (satu menit).
Tuturan tersebut merupakan implikatur percakapan berskala dengan piranti batas
skala satu menit. Hal ini tentu sejalan dengan Yule (2014) bahwa implikatur
percakapan berskala memerikan skala tertinggi ke skala terendah. Pada data (15)
penutur menggunakan patokan skala tertinggi yakni satu menit. Secara literal tuturan
tersebut dipahami atau memiliki makna terlihat untuk memerintahkan murid yang
izin ke belakang selama satu menit. Akan tetapi maksud yang tak tampak adalah
memerintah murid untuk ke belakang dan segera kembali ke kelas untuk mengikuti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
pelajaran. Dengan demikian, didapatkan bahwa data tuturan (15) memiliki wujud
tuturan imperatif secara literal memiliki kesan menginformasikan.
3) Wujud Tuturan Interogatif
Pada analisis implikatur percakapan berskala terdapat wujud tuturan interogatif.
Berikut ini data tuturan yang telah didapat dan merupakan wujud sebuah tuturan
interogatif atau pertanyaan.
Tuturan (16)
Guru : “Sudah lebih 10 menit ya?” (3/1/SMA)
Konteks: Situasi dari tuturan tampak kesal. Guru menuturkan pertanyaan yang
bermaksud untuk menyindir para murid yang tidak disiplin untuk masuk kelas setelah
istirahat pertama, sehingga terlambat menjadi 10 menit. Guru berharap agar kejadian
tersebut tidak terulang kembali.
Tuturan (17)
Guru : “Kira-kira berapa lama untuk baca artikel?”
Murid : “Satu jam bu”
Guru : “Wah 15 menit cukup ya?” (29/2/SMK)
Konteks: Situasi dalam tuturan tersebut terasa santai. Maksud dari tuturan tersebut
adalah negosiasi waktu yang menandakan bahwa guru ingin murid membaca artikel
dengan cepat dan fokus, karena hanya artikel singkat.
Data tuturan (16) merupakan tuturan yang berjenis implikatur percakapan
berskala. Hal ini didukung atas penanda yang tampak pada tuturan tersebut. Penanda
tersebut adalah frasa “lebih 10”. Penanda tersebut memiliki makna bahwa ketentuan
secara makna adalah patokan aktivitas 10 menit. Apabila dikombinasikan dengan
pengertian secara luas terhadap implikatur percakapan berskala menurut Yule, tuturan
tersebut dapat diasumsikan sebagai batas maksimal suatu nilai. Ditilik dari wujud
yang digunakan oleh penutur, yakni berwujud kalimat interogatif dengan tuturan
“Sudah lebih 10 menit ya?”. Wujud interogatif dalam tuturan tersebut terjadi kala
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
para murid terlalu lama dalam mengerjakan soal yang diberikan oleh sang guru,
sehingga makna yang terdapat dalam tuturan tersebut adalah komentar atau bentuk
permohonan klarifikasi dari para murid. Akan tetapi dari segi maksud guru
mengutarakan tuturan tersebut adalah memerintah para murid untuk segera
menyelesaikan soal yang diberikan oleh sang guru. Dengan demikian, didapatkan
wujud dari data tuturan (16) adalah berwujud tuturan interogatif yang memiliki kesan
secara literal mengklarifikasi.
Pada data tuturan (17), terjadi dua kali tuturan implikatur percakapan berskala
dalam satu kali momen. Momen atau peristiwa tersebut dimunculkan oleh guru dan
murid menggunakan piranti angka bermakna dalam bertutur. Murid menuturkan “satu
jam bu.” Yang mana, murid menuturkan suatu pernyataan perihal waktu yang
diinginkan untuk membaca artikel singkat dari sang guru. Piranti skala yang
digunakan oleh para murid apabila dirunut dari teori Yule perihal implikatur berskala
merujuk pada skala tertinggi dengan menyatakan satu jam sebagai acuan waktu
aktivitas. Hal ini dimaknai murid ingin memiliki waktu yang banyak untuk membaca
artikel yang singkat tersebut selama satu jam. Hal ini dibalas dengan tuturan
implikatur percakapan berskala dari sang guru dengan menuturkan “15 menit cukup
ya?” tuturan dari guru tersebut memiliki wujud yang berbeda dengan tuturan dari
murid yang berwujud pernyataan, sedangkan tuturan dari guru berwujud interogatif
atau pertanyaan. Secara literal, makna yang terdapat dalam tuturan tersebut adalah
para murid menyelesaikan pembacaan artikel yang singkat dalam periode waktu batas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
maksimal selama 15 menit. Akan tetapi, maksud yang sebenarnya adalah guru
memerintahkan murid untuk membaca artikel dengan efektif dan penuh fokus tidak
bertele-tele dengan segala aktivitas gaduh di dalam kelas. Dengan demikian, pada
data tuturan (17) terdapat dua wujud tuturan dalam penerapan implikatur percakapan
berskala, yakni berwujud pernyataan dan berwujud interogatif yang memiliki kesan
literal menawar.
Dengan demikian pada implikatur percakapan berskala memiliki wujud
pertanyaan atau interogatif dari tuturan (16) dan (17). Secara khusus ternyata
ditemukan dua wujud, yakni deklaratif dan interogatif. Kemudian dilihat dari kesan
literal yang diperoleh dari wujud interogatif adalah mengklarifikasi dan menawar.
3. Wujud Implikatur Percakapan Khusus
Dalam analisis data implikatur percakapan khusus terdapat tiga macam wujud,
yakni data tuturan wujud imperatif, deklaratif, dan interogatif. Berikut ini adalah
penguraian mengenai wujud implikatur percakapan khusus yang akan disajikan
sebagai berikut.
1) Wujud Tuturan Imperatif
Pada analisis implikatur percakapan khsusus terdapat wujud tuturan imperatif.
Berikut ini data tuturan yang telah didapat dan merupakan wujud sebuah tuturan
imperatif atau perintah.
Tuturan (18)
Guru : “Ojo ngono, gon kene lho!” (7/2/SMA)
(Jangan kayak gitu, seperti gini lho!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Konteks : Situasi dari pertuturan tersebut tampak menyenangkan. Maksud dari
tuturan tersebut adalah menyindir gaya rambut Qoza yang terlihat unik, kemudian
guru mengomentari gaya rambut tersebut dengan menambahkan gaya rambut yang
lebih parah. Hal ini merujuk pada aturan sekolah Pangudi Luhur yang menerapkan
kerapian dalam berpenampilan serta bergaya rambut.
Pada data tuturan (18) terdapat dua makna yang tampak dalam satu tuturan,
yakni perintah negatif dan perintah positif. Tampak pada tuturan “ Ojo ngono” yang
berarti jangan begitu, lalu dilanjutkan dengan “ngene lho” yang berarti “begini lho”.
Apabila dirunut dari wujud imperatifnya, tuturan tersebut merupakan bentuk
imperatif aktif transitif. Ketentuan dalam imperatif aktif transitif terdapat dalam
Rahardi (2005:90) bahwa imperatif aktif transitif untuk membentuk imperatif aktif
transitif, verbanya harus dibuat tanpa berawalan me-N. Hal ini menjadi dasar kuat,
karena pada data tuturan (18) mengandung makna perintah atau imperatif dari sang
guru terhadap muridnya untuk merapikan rambutnya sesuai dengan aturan di sekolah
tersebut.
2) Wujud Tuturan Deklaratif
Pada analisis implikatur percakapan khsusus terdapat wujud tuturan deklaratif
Berikut ini data tuturan yang telah didapat dan merupakan wujud sebuah tuturan
deklaratif atau pernyataan.
Tuturan (19)
Guru : “Kalau mejanya bersih kan enak dipandang”
Murid : “Kejauhan bu tasnya.” (28/10/SMK)
Konteks: Situasi dalam pertuturan tersebut terasa santai. Situasi tersebut daat jam
mata pelajaran sejarah. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh murid untuk
tidak menaruh tas mereka di atas meja, karena sering digunakan untuk
menyembunyikan aktivitas bermain HP dan alas kepala untuk tidur di SMK Putra
Tama khsuusnya kelas XI Otomotif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Tuturan (20)
Guru : “Alhamdulillah, Pilipus tumben masuk ya.”
Konteks : Situasi dalam pertuturan tersebut adalah santai. Maksud dari tuturan
tersebut adalah menyindir murid yang sangat jarang masuk, walaupun dibubuhkan
“Alhamdulillah” sebagi wujud syukur dan diikuti “tumben”.
Tuturan (21)
Guru : “Mending balik ke Jakarta kan enak, daripada di sini malah kamu buang
waktu.” (29/9/SMK)
konteks: Situasi tuturan tersebut terasa tegang dan marah. Maksud dari tuturan
tersebut adalah menandakan sang guru sudah tidak menaruh perhatian terhadap murid
tersebut kala mengikuti pelajarannya. Sang murid tampak tidak menghiraukan
perkataan sang guru.
Tuturan (22)
Guru: “Tenang saja Putra Tama itu baik hati, nanti bisa nyicil hape dan macam-
macam.” (5/4/SMK)
Konteks: Situasi dalam tuturan tersebut terasa santai. Tuturan diutarakan oleh guru
perempuan dari Jawa kepada murid-muridnya yang mayoritas dari wilayah timur
Indonesia.. Maksud dari tuturan tersebut adalah SMK Putra Tama Bantul dapat
memberikan beasiswa kepada para murid. Nada suara terdengar tinggi, tetapi bukan
marah, melainkan terkesan menyindir.
Data tuturan (19) menunjukkan bahwa suatu komunikasi untuk pelarangan
dapat berupa tuturan yang berwujud deklaratif. Kebiasaan dari para murid di kelas XI
Otomotif adalah tidur dan memainkan telepon genggam dibalik tas, sehingga guru
menuturkan tuturan yang berwujud deklaratif yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pelarangan untuk tidur dan penggunaan telepon genggam. Hal
ini sejalan dengan Rahardi (2005: 142) yang menyatakan bahwa dengan
digunakannya tuturan yang demikian, ciri ketidaklangsungan imperatif larangan itu
akan menjadi sangat kentara. Berkaitan dengan wujud implikatur yang berwujud
deklaratif yang bermaksud untuk melarang tersebut, hampir memiliki kesamaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
dengan wujud ngelulu. Akan tetapi, dalam wujud ngelulu terdapat tuturan suruhan
atau imperatif di dalamnya.
Grice (dalam Putrayasa, 2014) menyatakan bahwa implikatur sebagai
informasi implisit yang terdapat dalam tuturan. Oleh karena itu, suatu komunikasi
antara penutur dan mitra tutur akan ditemukan wujud tuturan yang berbeda dengan
apa yang dimaksudkan oleh penutur. Wujud pada data tuturan (20) berupa pernyataan
atau deklaratif yang menyatakan suatu komentar bagi salah satu murid yang sangat
jarang masuk kelas. Tuturan dibubuhi kata “Alhamdulillah” yang merupakan wujud
syukur kepada Allah. Dilanjutkan pada tuturan yang menyampaikan komentar
mengenai hadirnya murid tersebut dalam pembelajaran. Tuturan tersebut terasa
sedikit menyindir, karena diucapkannya kata “tumben” yang merupakan kata yang
menunjukkan keterkejutan yang tidak biasa atas perilaku muridnya.
Data tuturan (21) merupakan jenis implikatur percakapan khusus. Hal ini
disebabkan oleh pengetahuan bersama terhadap penutur, mitra tutur, dan pendengar
dari tuturan tersebut yang berada di dalam kelas. Tuturan tersebut melibatkan seorang
murid yang berasal dari Jakarta untuk dititipkan kepada SMK Putra Tama oleh panti
asuhan. Maka dari itu, guru memberikan tuturan berkaitan dengan latar belakang dari
murid tersebut. Tuturan tersebut secara gramatikal tampak halus dan secara lisan juga
sopan. Hal tersebut dipengaruhi oleh guru yang menuturkan dengan nada yang
lembut atau pelan. Guru menggunakan kalimat yang sopan dengan memberikan
alasan dan bujukan kepada murid untuk memilih pilihan yang nyaman dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
hidupnya, yakni kembali ke Jakarta. Hal itu ditunjukkan dengan tuturan “Mending
balik ke Jakarta kan enak” kemudian diberikan pembanding atau argumen yang
berupa tuturan “daripada di sini malah kamu buang waktu.” Dari tuturan tersbut
tampak bahwa guru menggunakan kalimat deklaratif untuk memberikan maksud
imbauan, sehingga jenis tuturan tersebut adalah implikatur percakapan khusus
imperatif yang diwujudkan dengan pernyataan atau deklaratif.
Tuturan yang bersifat menyindir juga tampak pada data tuturan (22). Hal ini
tampak pada tuturan “Tenang saja Putra Tama itu baik hati, nanti bisa nyicil hape dan
macam- macam.” Dari tuturan tersebut memiliki indikasi bahwa guru memberikan
deskripsi perihal sistem SMK Putra Tama dalam masalah keuangan yang
memberikan beasiswa kepada para murid, sehingga para murid dapat bersekolah
gratis di SMK Putra Tama Bantul. Secara gramatikal, tuturan tersebut berwujud
pernyataan atau deklaratif. Selain itu, penggunaan gaya bahasa dalam tuturan (22)
turut digunakan yakni gaya bahasa personifikasi, yakni memberikan analogi SMK
Putra Tama memiliki sikap baik hati selayaknya salah satu sifat seorang manusia.
Tuturan tersebut yakni “Tenang saja Putra Tama itu baik hati”.
3) Wujud Tuturan Interogatif
Pada analisis implikatur percakapan khsusus terdapat wujud tuturan interogatif.
Berikut ini data tuturan yang telah didapat dan merupakan wujud sebuah tuturan
interogatif atau pertanyaan.
Tuturan (23)
Guru : “Memet lagi sakit ya? Kok pakai jaket?” (11/5/SMA)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Konteks : Situasi dalam pertuturan tersebut terasa santai. Dituturkan oleh guru kepada
murid yang bernama Memet. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh Memet
untuk melepaskan jaket yang digunakan sesuai dengan aturan sekolah. Tuturan
bersifat lisan satu arah dan bernada tinggi.
Tuturan (24)
Guru : “Pintar ya, apa karena enggak masuk ya?” (29/5/SMK)
Konteks : Situasi dalam tuturan tersebut terasa menyenangkan. Maksud dari tuturan
tersebut adalah pujian terhadap murid yang jarang sekali masuk, namun dapat
menjawab pertanyaan.
Tuturan (25)
Guru : “Arga, ning kono iso ndelok ora kok?”(8/1/SMA)
(Arga, di situ bisa lihat apa tidak?)
Konteks: Situasi yang terasa dari tuturan tersebut adalah nampak tegang. Maksud
dari tuturan tersebut adalah menyuruh Arga yang menggunakan kaca mata dan
terlihat kesusahan melihat tulisan di papan tulis. Bentuk tuturan berupa kalimat tanya.
Tuturan (26)
Guru : “Gimana sudah terjawab?” (11/3/SMA)
Murid : “(terdiam)”
Guru : “Ini kembali ke kelas X ya ini?”
Konteks: Situasi pertuturan tersebut terasa tegang. Maksud dari tuturan tersebut
adalah memerintah agar para murid mengingat kembali materi kelas X. Tuturan
bersifat lisan dan dua arah dengan nada suara yang tinggi.
Pada data tuturan (23) berwujud interogatif atau pertanyaan yang terdiri atas
dua pertanyaan dalam satu tuturan. Ujaran awal berupa pertanyaan yang menanyakan
perihal keadaan Memet, apakah sakit atau tidak. Selanjutnya diikuti oleh pertanyaan
“kok pakai jaket?” yang mana tuturan tersebut dilakukan sebelum Memet menjawab
pertanyaan yang pertama. Hal ini dilihat dari Memet yang tampak sehat dan tidak
menunjukkan keadaan sedang sakit, sehingga guru mengutarakan dua pertanyaan
sekaligus yang bermaksud untuk memerintah Memet melepas jaket yang sedang
digunakan, berkaitan dengan aturan di sekolah yang melarang pemakaian jaket saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
kegiatan belajar mengajar kecuali sedang sakit. Maka dari itu, tuturan tersebut
berwujud interogatif atau berupa pertanyaan, bahkan dua sekaligus dalam satu tuturan
yang mengandung satu maksud.
Meningkatkan motivasi juga merupakan salah satu bagian dari suatu tuturan
implikatur. Hal ini tampak pada data tuturan (24) yang mencoba memotivasi murid
dengan komentar dan pujian bagi si murid. Pada data tuturan (24) terdapat dua unsur
yang saling kontradiktif. Unsur pertama dengan tuturan “pinter ya?” karena murid
berhasil mengerjakan soal yang ada di papan tulis. Kemudian unsur kedua guru
memahami bahwa si murid adalah murid yang jarang hadir dalam pembelajaran di
sekolah, sehingga guru bertutur “apa jarang masuk ya?”. Secara kesatuan tuturan, dua
tuturan tersebut saling terhubung dengan kesantunan memuji dan menyindir murid
untuk lebih rajin masuk sekolah agar lebih pintar. Dirunut dari Rahardi (2005) bahwa
Imperatif dapat diwujudkan dengan tuturan nonimperatif. Dari data tuturan (24)
diwujudkan sebagai makna imperatif untuk masuk kelas lebih rajin dengan wujud
pertanyaan. Maka dari itu, suatu makna imperatif dapat diwujudkan dengan
pertanyaan atau interogatif.
Suatu tuturan yang dituturkan kepada mitra tutur akan lebih baik bila antara
penutur dan mitra tutur memiliki pengetahuan yang sama perihal konteks yang
melingkupi suatu tuturan. Hal ini merujuk pada bentuk kalimat yang terdapat dalam
data tuturan (25) bahwa Arga adalah murid penderita rabun jauh, sehingga tidak akan
bisa melihat tulisan pada jarak yang jauh. Hal ini diketahui oleh sang guru perihal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
kondisi Arga, sehingga Arga diberikan pertanyaan yang berindikasi klarifikasi dan
tersembunyi maksud memerintah. Hal ini didasari dari Wijana ( 1996: 42) bahwa
kalimat sintetis adalah kalimat yang kebenarannya bergantung pada fakta-fakta luar
bahasa. Hal ini ditilik dari kondisi Arga yang memiliki kekurangan kemampuan
penglihatan, namun duduk di kursi bagian belakang. Maka dari itu, sang Guru
menyadari keadaan tersebut yang dilanjutkan dengan menuturkan berwujud
interogatif atau pertanyaan “Arga, ning kono iso delok ora kok?” yang berarti “Arga,
di situ bisa melihat atau tidak?”dari maksud yang terdapat dalam tuturan tersebut
adalah salah satu jenis imperatif yang berwujud interogatif. Maka dari itu, suatu
tuturan imperatif tidak selalu berupa bentuk imperatif, melainkan juga dapat
berwujud pertanyaan atau interogatif.
Suatu tuturan dapat mengandung suatu efek atau tindak lanjut sesuai dengan
apa yang telah dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur. Baik secara gramatikal
maupun secara makna yang tak terlihat. Hal ini merujuk pada Wijana (1996: 24) yang
menyatakan bahwa tuturan yang digunakan untuk mengatakan sesuatu disebut
dengan tuturan konstatif. Tuturan konstatif berbeda dengan tuturan performatif yang
memberikan efek penutur terhadap apa yang akan dilakukan setelah tuturan tersebut
terjadi. Hal ini menjadi landasan dari data tuturan (26) untuk dianalisis wujudnya.
Data tuturan (26) memiliki wujud tuturan interogatif atau pertanyaan pada saat para
murid tidak dapat menjawab soal yang telah dipelajari di tingkat bawah. Guru tidak
mungkin melakukan tindakan frontal untuk mengirimkan para murid untuk kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
ke kelas bawah. Akan tetapi, guru menggunakan tuturan tersebut untu memerintah
para murid lebih teliti dan tidak melupakan materi kelas di bawahnya. Maka dari itu,
data tuturan (26) merupakan suatu bentuk makna imperatif yang berwujud
nonimperatif. Sesuai dengan Rahardi (2005:142) menyatakan bahwa digunakannya
tuturan interogatif untuk menyatakan makna pragmatik imperatif itu, dapat
mengandung makna ketidaklangsungan yang cukup besar. Hal ini menunjukkan
bahwa suatu tuturan imperatif dapat diwujudkan berupa tuturan interogatif atau
pertanyaan.
4.2.2 Implikatur dalam Pembelajaran
Implikatur adalah suatu hal yang mengandung maksud atau makna
tersembunyi dalam tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur. Melalui
tuturan tersebut, penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur secara
tersembunyi atau tidak tampak dalam tuturan. Hal ini merujuk Grice (1975) dalam
artikelnya yang berjudul “Logic and Conversation” bahwa sebuah tuturan dapat
mengimplikasikan proposisi yang bukan bagian dari suatu tuturan. Hal ini
menunjukkan bahwa suatu tuturan dapat mengimplikasikan suatu maksud yang lain.
Hal tersebut akan dianalisis berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut,
sehingga dapat diketahui maksud-maksud yang terdapat dalam tuturan berindikasi
mengandung implikatur dalam pembelajaran di SMK Putra Tama, Bantul dan SMA
Pangudi Luhur, Yogyakarta. Berikut ini akan disajikan perihal maksud implikatur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
yang didasarkan pada wujud implikatur yang telah diuraikan pada sub bab
sebelumnya.
4.2.2.1 Implikatur Konvensional
Berikut ini adalah penguraian mengenai maksud implikatur konvensional yang
didapatkan dari wujud-wujud implikatur konvensional yang telah diuraikan
sebelumnya. Dari hasil pengamatan, diperoleh 3 maksud yang terdapat di dalam
ranah implikatur konvensional, yakni maksud memerintah, mengimbau, dan ngelulu.
Hal tersebut akan disajikan sebagai berikut.
1) Maksud Memerintah
Berikut adalah tuturan yang mengandung maksud tersembunyi untuk memerintah.
Tuturan (5)
Guru : “Yang tiduran atau yang sakit silahkan ke UKS saja!” (10/9/SMA)
Konteks: Situasi terasa santai dan terjadi di lapangan indoor. Maksud dari tuturan
tersebut adalah menyuruh murid yang tidak memperhatikan tuturan guru dan tiduran
untuk memperhatikan guru. Nada tuturan tersebut bernada rendah dan santai.
Penggunaan “UKS” menjadi pengetahuan perihal murid yang sakit akan ditempatkan
di UKS.
Tuturan (6)
Guru: Hayo! Yang maju bapak-bapak ini.
Konteks: Situasi terasa kecewa atau kesal yang ditunjukkan oleh sang guru.
Peristiwa tutur terjadi di kelas. Peristiwa tutur terjadi antara guru dengan beberapa
murid laki-laki. Keadaan di situ adalah beberapa murid laki-laki yang ramai dan tidak
memperhatikan soal yang diberikan guru di papan tulis. Beberapa kali guru
menawarkan kepada murid-murid untuk maju mengerjakan soal tersebut, tetapi tidak
ada yang beranjak untuk mengerjakan. Apalagi ada beberapa murid laki-laki yang
ramai sendiri, sehingga sang guru menuturkan tuturan tersebut.
Penggunaan piranti tuturan kata yang umum dipahami oleh banyak orang
menjadi salah satu aspek dari implikatur percakapan konvensional. Pada data (5)
berupa tuturan perintah yang lumrah dikatakan untuk situasi yang pas apabila
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
memang ada yang sakit untuk menuju UKS. Akan tetapi, guru menuturkan tuturan
tersebut bermaksud untuk memerintah siswa yang tiduran dan sehat untuk duduk
memperhatikan penjelasan guru olahraga. Tuturan (5) berbunyi “Yang tiduran atau
yang sakit silahkan ke UKS saja!”. Singkatan “UKS” menjadi salah satu bagian dari
kalimat yang disebut dengan kalimat sintetis. Dari tuturan tersebut secara literal
berdasar dari Wijana (1996: 42) bahwa kalimat sintetis adalah kalimat yang
kebenarannya bergantung pada fakta-fakta luar bahasa. Secara literal, UKS
merupakan tempat yang dipahami oleh banyak orang sebagai ruang yang menampung
siswa atau perangkat sekolah yang sakit untuk diobati. Akan tetapi, guru
menggunakan awalan kalimat “yang tiduran atau yang sakit” padahal tampak semua
murid tidak sakit, melainkan hanya tiduran dan tidak memperhatikan guru. Kemudian
guru menyuruh murid yang tiduran untuk ke UKS. Dari hal ini, dapat ditemukan
maksud implikatur, yakni maksud yang tak tampak dalam tuturan. Maksud tersebut
adalah memerintah siswa yang tiduran untuk tidak tiduran dan memperhatikan
penjelasan guru, sehingga beberapa murid langsung duduk dan memperhatikan guru.
2) Maksud Mengimbau
Tuturan (3)
Guru : “KD selanjutnya adalah wawancara.” (10/2/SMA)
Murid : “Waduh”
Konteks Situasi pertuturan tersebu tampak santai, maksud dari tuturan tersebut adalah
memperingatkan perihal aspek-aspek yang akan dilakukan pada KD wawancara.
Nada yang terdengar cenderung tinggi dan jelas.
Tuturan data (3) memiliki wujud kalimat pernyataan atau deklaratif. Melalui
wujud deklaratif tersebut, tuturan tersebut memiliki maksud yang tidak sekadar hanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
informasi semata, melainkan memerintahkan para siswa untuk bersiap menghadapi
aktivitas-aktivitas dari KD wawancara. Sesuai dengan bentuk tuturannya, yakni “KD
selanjutnya adalah wawancara.” Maksud yang ada dalam tuturan tersebut dirunut dari
konteks yang melingkupinya. Hal ini berkaitan dengan lingkungan dari SMA Pangudi
Luhur yang dekat dengan kraton, malioboro, dan alun-alun. Tempat-tempat tersebut
akan menjadi lapangan berpraktik dalam wawancara, sehingga guru memiliki maksud
untuk mengimbau para siswa untuk bersiap-siap melakukan segala aktivitas yang ada
dalam KD wawancara.
3) Ngelulu
Tuturan (4)
Guru : “Kalau mau olah mulut, iya silahkan di luar tidak apa-apa!” (7/3/SMA)
Konteks: Situasi dari tuturan tersebut tampak marah, sedangkan mitra tutur tampak
gaduh tak menghiraukan. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh para murid
untuk tenang, kemudian murid nampak mulai tenang sedikit-demi sedikit. Nada
bicara terdengar pasrah dan pelan.
Pada data (4) ditemukan wujud implikatur percakapan konvensional berupa
kalimat deklaratif “ngelulu”. Hal ini tentu dirunut dari penggunaan frasa oleh
penutur. Frasa “olah mulut” memiliki arti secara gramatikal adalah cerewet atau
banyak berbicara. Tuturan implikatur dalam data (4) dapat dilihat dari dua aspek,
yakni dari konteks yang melingkupi pertuturan dan kalimat lanjutan dari frasa “olah
mulut”. Dari konteks yang menjadi dasar adalah situasi tuturan tampak kecewa oleh
guru. Sejalan dengan Kartika, dkk (2014) mengatakan bahwa implikatur percakapan
adalah sesuatu yang disembunyikan dalam sebuah percakapan, yakni sesuatu secara
implisit dinyatakan dalam bahasa secara aktual. Waktu tuturan tersebut terjadi pasca
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
para murid menyelesaikan jam pelajaran olahraga. Selain itu, guru juga nampak kesal
karena para murid tidak segera mengganti baju olahraga dengan seragam sekolah.
Akan tetapi, nada yang dituturkan oleh guru tidak meninggi, melainkan datar. Dari
konteks tersebut, dapat disimpulkan bahwa data (4) memiliki maksud untuk
memerintah para murid yang ramai untuk tenang dan memperhatikan penjelasan dari
guru.
4) Maksud Menyindir
Tuturan (1)
Guru: “Bapak-bapak iki arisan ae.” (3/7/SMA)
(bapak-bapak ini arisan terus)
Konteks: Situasi terasa tegang karena guru sedang menjelaskan materi, namun
berubah ketika mengomentari aktivitas empat murid yang sedang ribut sendiri.
Maksud dari pertuturan tersebut adalah untuk meminta para murid yang ribut untuk
lebih kondusif. Bentuk tuturan tersebut adalah kalimat perintah yang bersifat
mengomentari aktivitas sekelompok murid, bukan menyuruh untuk diam. Tetapi
melalui sindiran aktivitas yang dianalogikan sebagai aktivitas arisan layaknya ibu-ibu
yang ramai saling berbicara.
Tuturan (2)
Guru:“Utari, vokal dasarnya lembut, tapi kalau bercanda treble semua ya.”
(28/6/SMK)
Konteks: Situasi dari tuturan tersebut tampak santai. Pelaku adalah guru dan salah
satu siswi. Maksud dari tuturan tersebut menyuruh siswi tersebut membaca berita
dengan volume lebih keras. Bentuk tuturan menggunakan tuturan lisan dan bernada
tinggi. Penggunaan kata treble sebagai kata sindiran untuk siswi tersebut adalah
kesehariannya yang selalu bicara keras ketika kondisi kelas ramai.
Pada data (1) dari segi wujudnya memiliki wujud pernyataan. Hal ini
berdasarkan pada bentuk atau dari segi gramatikal tuturan tersebut. Konstruksi yang
berwujud pernyataan tersebut dilihat secara langsung sebagai suatu pernyataan biasa
terhadap muridnya. Akan tetapi, konstruktsi tuturan tersebut apabila dilihat dari
konteks yang melingkupinya memiliki maksud yang tersembunyi. Maksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
tersembunyi tersebut dilihat dari keadaan saat tuturan itu diujarkan, yakni kondisi
kelas yang harusnya tenang berubah menjadi gaduh oleh empat murid lelaki yang
asyik berbicara tanpa menghiraukan penjelasan sang guru terhadap materi ajarnya.
Apabila dirunut dari Pranowo (2015) yang menjelaskan perihal konteks dalam
pragmatik, yakni konteks dalam implikatur selalu berada di luar teks. Penjelasan
mengenai konteks di sini adalah memberikan pemahaman perihal kata-kata yang
digunakan dalam ujaran sang guru. Ditilik dari kata “bapak-bapak” dan “arisan”
memiliki makna yang literal, artinya memiliki kesinambungan. “bapak-bapak”
mengarah pada empat murid yang gaduh, sedangkan kata “arisan” mengasosiasikan
kegiatan gaduh layaknya aktivitas sekelompok orang melakukan arisan. Dilihat juga
dari nada bicara sang guru yang seakan menyindir empat murid laki-laki tersebut,
guru tidak mengeluarkan gaya yang marah atau memerintah, namun terdengar
sekadar memberi komentar. Akan tetapi, reaksi yang muncul dari keempat murid
laki-laki yang gaduh itu langsung merespon untuk tenang kembali dan
memperhatikan guru. Dengan demikian, dapat ditemukan maksud dari tuturan guru
adalah menyindir empat murid tersebut untuk kembali kondusif dan memperhatikan
guru. Hal ini juga memberikan gambaran bahwa tanpa guru harus membentak-bentak
murid untuk tenang, melalui sindiran sederhana.
Suatu komunikasi akan berjalan lancar apabila penutur dan mitra tutur saling
memahami maksud yang hendak disampaikan. Melalui konteks, penutur akan
bersinergi agar maksud yang disampaikan dapat dipahami oleh mitra tutur. Hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
terjadi pada kasus data (2), yakni penggunaan istilah “trebel” dalam kalimat “Utari,
vokal dasarnya lembut, tapi kalau bercanda treble semua ya.” Tuturan tersebut
diucapkan oleh guru wanita terhadap salah satu murid wanita yang telah membacakan
berita di depan kelas. Akan tetapi, volume suara dan kejelasan suara sangat kurang,
sehingga guru menuturkan data (2). Penggunaan istilah “trebel” sangat relevan
dengan istilah yang sering digunakan para siswa jurusan komunikasi. Namun, istilah
tersebut juga dipahami banyak orang sebagai sebutan sifat suara yang tinggi. Pada
data (2) peran konteks sangat relevan dengan pengetahuan mitra tutur. Hal ini sejalan
dengan artikel dari Rohmadi pada tahun 2014 yang berjudul Kajian Pragmatik
Percakapan Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia bahwa bahasa
sebagai alat komunikasi dalam berbagai konteks kehidupan untuk menyampaikan
amanat dan pesan kepada pembaca. Hal tersebut tentunya diimplementasikan kepada
konteks penggunaan kata “trebel”, selain dari identitas penutur dan mitra tutur,
keadaan saat tuturan terjadi, nada suara, dan juga setting-nya. Maka dari itu
didapatkan maksud dari tuturan (2) adalah menyindir.
Tuturan data (3) memiliki wujud kalimat pernyataan atau deklaratif. Melalui
wujud deklaratif tersebut, tuturan tersebut memiliki maksud yang tidak sekadar hanya
informasi semata, melainkan memerintahkan para siswa untuk bersiap menghadapi
aktivitas-aktivitas dari KD wawancara. Sesuai dengan bentuk tuturannya, yakni “KD
selanjutnya adalah wawancara.” Maksud yang ada dalam tuturan tersebut dirunut dari
konteks yang melingkupinya. Hal ini berkaitan dengan lingkungan dari SMA Pangudi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Luhur yang dekat dengan kraton, malioboro, dan alun-alun. Tempat-tempat tersebut
akan menjadi lapangan berpraktik dalam wawancara, sehingga guru memiliki maksud
untuk mengimbau para siswa untuk bersiap-siap melakukan segala aktivitas yang ada
dalam KD wawancara.
4.2.2.2 Implikatur Percakapan
Yule (2014) mengungkapkan bahwa dalam implikatur percakapan terdiri atas
tiga jenis, yakni implikatur percakapan umum, implikatur percakapan khusus, dan
implikatur percakapan berskala. Berikut ini adalah maksud implikatur percakapan
yang didapatkan di lapangan dan penguraiannya.
1. Implikatur Percakapan Umum
Pada data tuturan implikatur percakapan umum, peneliti menemukan dua maksud
yang terkandung, yakni maksud menyindir dan maksud memerintah. Berikut analisis
perihal maksud implikatur percakapan umum.
1) Maksud Menyindir
Tuturan (7) Guru : “Gene bagus bajune dilebokke, opo maneh nganggo tali rafia.” (ternyata
bagus bajunya dimasukkan, apalagi memakai tali rafia) (1/1/SMA)
Konteks: situasi menyenangkan atau tidak tegang pasca diberikan tugas. Guru
mengingatkan murid tersebut untuk lebih rapi lagi dan tidak nanggung dalam hal
merapikan pakaian yang digunakan. Karena murid tersebut memasukkan pakaian,
tetapi menggunakan sabuk tali plastik (rafia). Tuturan dinyatakan dengan cara yang
santai. Penutur dan mitra tutur berasal dari daerah jawa, sehingga menggunakan
tuturan bahasa Jawa.
Berdasar pada analisis wujud implikatur percakapan pada sub bab
sebelumnya, data tuturan (7) merupakan tuturan implikatur imperatif ngelulu. Hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
dilihat dari makna tuturan yang diucapkan guru yakni “Gene bagus bajune dilebokke,
opo maneh nganggo tali rafia.” Pada situasi yang santai saat proses pembelajaran
guru mengomentari gaya berpakaian murid laki-lakinya yang saat itu terlihat berbeda
dari biasanya. Perbedaan tersebut dari seragam atas yang dimasukkan ke dalam
celana atau terlihat rapi. Akan tetapi, murid tersebut tidak menggunakan sabuk celana
semestinya, melainkan menggunakan tali plastik/ tali rafia. Komentar sang guru
ditanggapi malu dan menutupi sabuk plastik tersebut. Dari kasus tuturan tersebut sang
guru memiliki maksud untuk memerintah murid untuk mengganti sabuk dari plastik
dengan sabuk yang semestinya diperuntukkan untuk celana seragam sekolah. Gaya
tuturan yang berupa pujian-pujian dan membuat murid tidak tersinggung, bahkan
mengerti maksud sang guru yang menyindirnya. Oleh karena itu, Tuturan tersebut
memiliki dua alur maksud, yakni menyindir dan memerintah.
2) Maksud Memerintah
Tuturan (8)
Guru : “Yang menyembunyikan tas dan jaket, tahun depan ngulang.” (3/12/SMA)
Konteks: Situasi yang terjadi pada pertuturan tersebut tampak santai dan menjurus
pada ramai. Maksud dari tuturan tersebut adalah memerintah bagi yang
menyembunyikan tas dan jaket untuk segera mengembalikan. Bentuk tuturan berupa
kalimat perintah. Penutur adalah guru sejarah, yang ditujukan kepada seluruh murid
kelas XI IPS 1.
Tuturan (9)
Guru : “Kamu ndak ada catatan kan pasti? Ga papa, sampai ulangan sajakan enak
malahan.” (29/10/SMK)
Konteks : Situasi tuturan tersebut terasa jengkel. Maksud dari tuturan tersebut adalah
menunjukkan bahwa sang guru telah pasrah terhadap sikap murid. Nada suara guru
terdengar tinggi. Guru wanita menuturkan kepada murid yang tidak dapat
menyampaikan catatannya. Murid tampak tidak focus terhadap pelajaran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Tuturan (10)
Guru : “Ini ada yang piket enggak ya?”
Murid : “Ada kok bu, ada” (11/2/SMA)
Konteks : Situasi pada tuturan tersebut terasa tegang. Maksud dari tuturan tersebut
adalah menyuruh murid untuk menghapus tulisan-tulisan di papan tulis. Tuturan
bersifat tuturan lisan dua arah dan bernada tinggi.
Tuturan (11)
Guru : “Mas, apa kamu enggak nulis?”
Murid : “Bu, saya minta soft file.” (11/6/SMA)
Konteks : Situasi dalam pertuturan tersebut terasa lebih santai. Maksud dari tuturan
tersebut adalah menunjukkan bahwa para murid malas untuk menulis catatan yang
berasal dari slide PPT sang guru. Tuturan bersifat lisan dan bernada santai cenderung
merajuk.
Tuturan (12)
Guru : “Gandhang udah selesai?” (5/2/SMK)
Konteks : Situasi terasa kesal. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh murid
untuk tenang dan fokus mengerjakan tugas. Nada suara tuturan terdengar tinggi.
Tuturan (8) memiliki wujud pernyataan yang bermaksud memerintah. Data
tuturan 2 dituturkan dengan nada meninggi kepada seluruh murid di dalam kelas.
Tuturan tersebut terjadi kala ada salah satu tas murid yang disembunyikan oleh
beberapa temannya. Akan tetapi tidak ada yang mengakuinya. Melihat hal tersebut
guru merasa akan mengganggu proses pembelajarannya yang harusnya segera
berjalan. Kemudian guru wanita tersebut menuturkan data tuturan (8) yakni “Yang
menyembunyikan tas dan jaket, tahun depan ngulang.”. Tuturan tersebut bukanlah
sebuah kalimat perintah, melainkan berupa kalimat pernyataan yang mengandung
maksud memerintah. Lebih dalam, kalimat tersebut tidak secara langsung
memerintah untuk mengembalikan tas yang disembunyikan. Kalimat tersebut secara
gramatikal memang terlihat mengancam atau sebuah gertak “sambal” oleh sang guru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
kepada para murid. Terbukti, setelah guru menuturkan tersebut salah satu murid
mengeluarkan tas yang ia sembunyikan bersama teman-temannya, sehingga proses
pembelajaran kembali berjalan. Maka dari itu, dapat ditentukan bahwa maksud yang
terdapat dalam tuturan tersebut adalah memerintah.
Data tuturan (9) merupakan sebuah tuturan implikatur percakapan umum yang
berwujud imperatif ngelulu. Hal ini diidentifikasi dari wujud yang tampak dari
tuturan tersebut, yakni “Kamu ndak ada catatan kan pasti? Ga papa, sampai ulangan
sajakan enak malahan.” Dari tuturan tersebut, konteks yang melingkupinya berupa
tuturan yang bernada tinggi. Tuturan tersebut juga dituturkan oleh guru wanita
pengampu mata pelajaran akutansi. Tuturan itu ditujukan oleh salah satu siswa yang
tampak tidak fokus dan terlihat tidak memperhatikan arahan sang guru. Oleh karena
itu, dapat diinterpretasi perihal maksud yang ada pada data tuturan (9) adalah
memerintah untuk aktif mengikuti pelajaran. Secara spesifik, tuturan tersebut terdapat
dua kalimat, yakni kalimat tanya dan kalimat pernyataan. Pada tuturan pertanyaan,
guru mencoba mengomentari dan menanyakan hal yang sudah diketahui oleh sang
guru, perihal kebiasaan murid tersebut yang jarang mencatat. Kemudian, guru
menanggapi seolah membolehkan tindakan tersebut, namun maksud guru adalah
menyuruh untuk rajin mencatat agar tidak kesulitan nantinya. Pernyataan bersifat
kebalikan dari sifat sesungguhnya yang merupakan maksud yang hendak
disampaikan kepada murid. Maka dari itu, dapat ditemukan bahwa maksud dari
tuturan tersebut adalah memerintah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Berbeda dengan dua data sebelumnya, pada data tuturan (10) ini berwujud
pertanyaan yang mengandung maksud untuk memerintah. Tuturan tersebut terjadi
saat guru akan memulai pelajaran. Akan tetapi papan tulis yang hendak dipakai untuk
menuliskan materi masih terdapat tulisan-tulisan untuk mata pelajaran sebelumnya,
sehingga guru menuturkan data tuturan (10) yakni “Ini ada yang piket enggak ya?”.
Tuturan tersebut ternyata mendapat dua respon dari para murid, yaitu menjawab
dengan lisan dan petugas piket segera membersihkan papan tulis. Maka dari itu, unsur
interogatif dari wujud tuturan dapat mengandung maksud untuk memerintah.
Sama dengan data tuturan (10), pada data tuturan (11) wujud dari tuturan
berupa kalimat pertanyaan atau interogatif. Hal ini diidentifikasi dari sisi gramatikal
atau bentuk tuturan yakni “Mas, apa kamu enggak nulis?”. Apabila dari segi maksud
tuturan tersebut adalah memerintah muridnya untuk menulis materi yang diberikan
oleh guru. Tuturan tersebut terjadi karena murid tidak mencatat materi yang guru
berikan di tampilan slide power point. Hal ini sejalan dengan pengertian dari
implikatur menurut Horn (2004: 3) bahwa Implicature is a component of speaker
meaning that constitutes an aspects of what is meant in a speaker's utterance without
being part of what is said. Oleh karena itu implikatur merupakan komponen makna
pembicara yang merupakan aspek dari apa yang dimaksud dalam ucapan pembicara
tanpa menjadi bagian dari apa yang dikatakan. Maka dari itu, ditemukan bahwa pada
data tuturan (11) memiliki maksud untuk memerintah salah satu muridnya untuk
mencatat materi dengan wujud tuturan berupa kalimat pertanyaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Brown & Yule (1996) menjelaskan bahwa implikatur digunkaan untuk
menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan berbeda
dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur. Hal ini sejalan dengan data
tuturan (12) yang berwujud sebuah tuturan interogatif. Secara literal wujud tuturan
tersebut memiliki maksud untuk menanyakan si murid perihal selesai atau belum
penulisan materi dari guru. Akan tetapi, dari sisi implikatur, tuturan tersebut memiliki
maksud yang lain. Hal ini berdasarkan pada konteks yang melingkupi tuturan
tersebut. Tuturan tersebut dituturkan oleh guru kepada salah satu murid laki-laki.
Keadaan murid saat itu tampak ribut dengan murid yang lainnya dan tidak menulis
catatan yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu, guru menuturkan “Gandhang udah
selesai?” kepada murid tersebut yang bernama Gandang. Pertanyaan tersebut
mengindikasikan sebuah perintah untuk Gandhang untuk segera menyelesaikan
proses mencatatnya. Jadi, dapat disimpulkan pada data tuturan (12) ini sebuah wujud
pertanyaan memiliki maksud untuk memerintah.
2. Implikatur Percakapan Berskala
Proses analsis maksud implikatur percakapan berskala berdasar pada analisis
wujud pada subbab sebelumnya. Berikut ini adalah paparan analisis data perihal
maksud percakapan implikatur percakapan berskala. Pada tuturan dalam implikatur
percakapan berskala ini, penutur menemukan dua maksud yang tersembunyi di balik
peristiwa tutur, yakni maksud menyindir dan memerintah. Berikut adalah analisis
maksud tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
1) Maksud Menyindir
Tuturan (14)
Guru : “Wah kamu 12 pertanyaan ya.”
Murid : “Haha endak pak, belum selesai”
Konteks: Situasi dalam tuturan terasa menyenangkan dan ceria. Penutur adalah guru
dan mitra tutur adalah satu murid perempuan. Guru memberikan tugas kepada murid
untuk menuliskan pertanyaan-pertanyaan mengenai wawancara yang nantinya
diajukan kepada teman sebangku. Beberapa murid ada yang kesulitan menyusun
pertanyaan, sehingga dalam waktu yang lama belum menghasilkan pertanyaan yang
banyak. Maksud yang terdapat dalam tuturan tersebut adalah menyindir.
2) Maksud Memerintah
Tuturan (13)
Guru : “Satu jam pelajaran selesai ya?”
Murid: “satu setengah ya bu”
Guru: “Baik, tapi satu tulisan jadi semua ya.” (4/3/SMK)
Konteks: Situasi terasa menyenangkan. Maksud dari tuturan tersebut memerintah
para murid untuk segera menyelesaikan dan menggunakan waktu dengan seefektif
mungkin dalam menulis artikel.
Tuturan (15)
Murid : “Izin ke belakang bu.”
Guru : “Sak menit!” (satu menit) (3/8/SMA)
Konteks: situasi saat pertuturan itu agak santai dan tidak tegang. Maksud tuturan
tersebut menunjukkan bahwa guru adalah orang yang disiplin dan ingin murid
tersebut cepat kembali ke kelas. Bentuk tuturan berupa kalimat perintah yang tidak
menjawab secara tersurat tuturan murid. Nada bicara tegas dan cepat.
Tuturan (16)
Guru : “Sudah lebih 10 menit ya?” (3/1/SMA)
Konteks: Situasi dari tuturan tampak kesal. Guru menuturkan pertanyaan yang
bermaksud untuk menyindir para murid yang tidak disiplin untuk masuk kelas setelah
istirahat pertama, sehingga terlambat menjadi 10 menit. Guru berharap agar kejadian
tersebut tidak terulang kembali.
Tuturan (17)
Guru : “Kira-kira berapa lama untuk baca artikel?”
Murid : “Satu jam bu”
Guru : “Wah 15 menit cukup ya?” (29/2/SMK)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Konteks: Situasi dalam tuturan tersebut terasa santai. Maksud dari tuturan tersebut
adalah negosiasi waktu yang menandakan bahwa guru ingin murid membaca artikel
dengan cepat dan fokus, karena hanya artikel singkat.
Pada data (13) merupakan bagian dalam proses munculnya tuturan implikatur
percakapan berskala. Yakni, antara guru dan murid terjadi proses negosiasi dalam
melakukan proses kegiatan pembelajaran. Akan tetapi, guru menuturkan tuturan apda
data (13) berwujud tuturan pernyataan. Tuturan (13) memiliki konteks bahwa situasi
yang terasa adalah menyenangkan, sehingga guru menuturkan dengan nada rendah
tanpa nada tinggi. Selain itu, kondisi para murid yang mudah terpecah fokusnya
terhadap suatu tugas membuat guru memberikan tuturan tersebut. maka dari itu,
didapatkan bahwa data tuturan (13) memiliki maksud untuk memerintah para murid.
Dengan demikian, data ini memperkuat perihal suatu maksud memerintah dapat
diwujudkan selain dengan wujud perintah, yakni dengan tuturan secara tidak
langsung.
Pada data tuturan (15) penutur memiliki wujud pernyataan dalam menuturkan
tuturan yang diindikasikan mengandung implikatur percakapan berskala. Indikator
dari perumusan data tuturan (15) sebagai suatu implikatur percakapan berskala adalah
penggunaan partikel angka bermakna sebagai suatu fungsi. Secara makna sangat
jelas, bahwa guru memberikan waktu pada murid untuk ke belakang hanya satu
menit. Akan tetapi, ditilik lebih jauh dari maksud tuturan tersebut adalah memerintah
murid untuk cepat kembali setelah selesai dari belakang. Hal ini merujuk pada
konteks yang melingkupi tuturan tersebut. yakni, dikhawatirkan murid akan mampir
ke kantin atau keluar entah kemana setelah dari belakang (kamar mandi), sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
guru menggunakan frasa “sak menit” untuk memerintah murid lekas kembali ke kelas
untuk mengikuti pelajaran. Dengan demikian, ditemukan maksud dari suatu tuturan
yakni memerintah walau berwujud pernyataan.
Pada tuturan yang terdapat pada data tuturan (16) telah dianalisis perihal
wujudnya, yakni memiliki wujud pertanyaan atau interogatif. Selain itu juga
didapatkan makna yang tampak pada tuturan tersebut adalah mencari sebuah
klarifikasi waktu yang telah dihabiskan oleh para murid dalam mengerjakan satu soal.
Data tuturan (16) merupakan suatu implikatur percakapan berskala merujuk pada
penggunaan frasa “lebih 10 menit” yang mengindikasikan angka bermakna dalam
fungsinya sebagai skala tinggi atau dengan kata lain menjadi suatu patokan fungsi
untuk mengantarkan maksud tuturan agar dipahami oleh para murid. Sebelum
merujuk pada penjelasan maksud yang terdapat dalam tuturan tersebut, peneliti akan
menjabarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut, sehingga akan ditemukan
benang merah dalam menuju maksud yang tersembunyi dari tuturan data (16).
Tuturan tersebut dituturkan oleh guru kepada para murid yang mengerjakan satu soal
dengan sangat lama, kondisi yang terlihat dari kelas tersebut adalah gaduh dan hanya
beberapa saja yang mengerjakan soal tersebut. Maka dari itu, guru menuturkan data
sebelas dengan wujud tuturan interogatif agar jawaban yang diharapkan dapat
memberikan dampak para murid memahami maksud tersembunyi, yakni memerintah
agar para murid segera menyelesaikan soal tersebut tanpa ramai atau gaduh. Dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
demikian, didapatkan secara rinci bahwa maksud suatu tuturan yang berupa perintah
atau memerintah dapat muncul dari wujud interogatif atau pertanyaan.
Pada data (17) merupakan bagian dari implikatur percakapan berskala yang
memiliki wujud sebuah pertanyaan atau interogatif. Tuturan tersebut menggunakan
unsur berskala yakni kata cukup dan kombinasi angka bermakna, sehingga menjadi
kesatuan yang memiliki fungsi tuturan terhadap maksud yang diinginkan oleh
penutur, yakni guru. Konteks yang melingkupi tuturan tersebut adalah keadaan
dirasakan santai kemudian aktivitas yang sedang terjadi adalah pelajaran membaca
sebuah artikel singkat. Proses pra-pembacaan adalah negosiasi alokasi waktud dalam
proses pembacaan, sehingga antara guru dan murid saling mengajukan waktu. Akan
tetapi, guru menuturkan jauh dari harapan murid yang ingin selama 1 jam, tetapi guru
menuturkan “15 menit cukup ya?”. Nada suara yang guru tuturkan terdengar rendah
dan membujuk. Maka dari itu, tuturan yang berwujud pertanyaan atau interogatif
tersebut memiliki maksud untuk memerintah para murid untuk segera membaca
artikel dengan cepat dan efektif tanpa melakukan aktivitas yang mengganggu lainnya.
Dengan demikian, wujud suatu tuturan implikatur percakapan berskala dapat berupa
interogatif, namun memiliki maksud memerintah.
3. Implikatur Percakapan Khusus
Dalam analisis data implikatur percakapan khusus berdasarkan dengan
analisis subbab sebelumnya, sehingga akan diklasifikasikan menjadi tiga macam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
wujud, yakni data tuturan wujud imperatif, deklaratif, dan interogatif. Pada analysis
maksud ini, peneliti menemukan beberapa maksud yang tersembunyi di balik wujud
tuturannya. Maksud-maksud tersebut yakni ngelulu, melarang, menyindir,
mengimbau, menasihati, dan memerintah. Berikut ini adalah penguraian mengenai
maksud implikatur khusus yang akan disajikan sebagai berikut.
1) Maksud Ngelulu
Tuturan (18)
Guru : “Ojo ngono, gon kene lho!” (7/2/SMA)
(Jangan kayak gitu, seperti gini lho!)
Konteks : Situasi dari pertuturan tersebut tampak menyenangkan. Maksud dari
tuturan tersebut adalah menyindir gaya rambut Qoza yang terlihat unik, kemudian
guru mengomentari gaya rambut tersebut dengan menambahkan gaya rambut yang
lebih parah. Hal ini merujuk pada aturan sekolah Pangudi Luhur yang menerapkan
kerapian dalam berpenampilan serta bergaya rambut.
Sesuai dengan hasil identifikasi pada sub wujud implikatur percakapan data
tuturan (18) yang menyatakan bahwa tuturan “Ojo ngono, gon kene lho.”berwujud
imperatif aktif tidak transitif yang dibentuk atas wujud tuturan deklaratif. Maka dari
itu, data tersebut memiliki wujud deklaratif. Secara lebih mendalam, tuturan data
(18) memiliki maksud tidak hanya sebuah komentar basa-basi, melainkan memiliki
maksud untuk memerintah atau menyuruh. Hal ini dapat dirunut dari prinsip
implikatur menurut Brown & Yule (1996) bahwa implikatur digunakan untuk
memperhitungkan apa yang dimaksudkan oleh penutur, sebagai hal yang berbeda
dari apa yang dinyatakan secara harafiah. Selain itu, maksud dari tuturan tersebut
juga didukung oleh konteks yang mendampinginya, yakni tuturan diutarakan dengan
nada yang santai dan terasa gojekan. Selain itu, berdasarkan aturan di sekolah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
tersebut yang tidak memperbolehkan gaya rambut yang tidak rapi. Kemudian,
tuturan tersebut juga dilakukan saat jam pelajaran berlangsung yang mana murid
tersebut adalah murid yang dikenal kurang terbiasa tenang, sehingga guru
mengutarakan tidak secara langsung dalam menyuruh murid tersebut untuk
merapikan rambutnya. Maka dari itu, dilihat dari segi maksud tuturan tersebut adalah
ngelulu.
2) Maksud Melarang
Tuturan (19)
Guru : “Kalau mejanya bersih kan enak dipandang”
Murid : “Kejauhan bu tasnya.” (28/10/SMK)
Konteks: Situasi dalam pertuturan tersebut terasa santai. Situasi tersebut daat jam
mata pelajaran sejarah. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh murid untuk
tidak menaruh tas mereka di atas meja, karena sering digunakan untuk
menyembunyikan aktivitas bermain HP dan alas kepala untuk tidur di SMK Putra
Tama khsuusnya kelas XI Otomotif.
Tuturan (24)
Guru : “Memet lagi sakit ya? Kok pakai jaket?” (11/5/SMA)
Konteks : Situasi dalam pertuturan tersebut terasa santai. Dituturkan oleh guru kepada
murid yang bernama Memet. Maksud dari tuturan tersebut adalah menyuruh Memet
untuk melepaskan jaket yang digunakan sesuai dengan aturan sekolah. Tuturan
bersifat lisan satu arah dan bernada tinggi.
Pada data tuturan (19) dari segi wujudnya merupakan tuturan deklaratif yang
bermakna larangan terhadap para siswa laki-laki di kelas Otomotif. Tuturan diujarkan
oleh guru wanita yang mengampu pelajaran sejarah berupa “Kalau mejanya bersih
kan enak dipandang”. Tuturan tersebut tampak hanya sebagai komentar biasa apabila
dilihat dari sisi harafiah. Akan tetapi, tuturan tersebut memiliki konteks yang cukup
luas terhadap perilaku para siswa di kelas XI Otomotif tersebut. Keadaan yang terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
apabila tas dibiarkan di atas meja adalah untuk diganakan para siswa untuk tidur dan
bermain telepon selulernya, sehingga akan mengganggu jalannya pelajaran. Maka
dari itu, guru memberikan ujaran deklaratif yang memiliki kesan hanya berkomentar,
padahal guru memberikan sebuah larangan bagi para siswa untuk tidak meletakkan
tas di atas meja. Pranowo (1999) menyatakan bahwa implikatur diartikan sebagai
maksud yang tersembunyi di balik tuturan. Jadi, didapatkan sebuah kesimpulan pada
data tuturan (19) bahwa implikatur yang memiliki maksud untuk melarang dapat
berwujud tuturan deklaratif.
Pada data tuturan (24), tuturan memiliki wujud interogatif. Hal ini dilihat dari
bentuk tuturan yang diujarkan oleh guru wanita kepada salah satu murid laki-laki di
dalam kelas. Keunikan dari data tuturan (24) adalah terdapat dua jenis pertanyaan
dalam satu kali pertuturan tanpa jeda. Pengidentifikasian wujud serta jenis implikatur
tersebut berawal dari konteks yang menyelimuti tuturannya. Dirunut dari wujudnya,
guru memiliki maksud untuk mengetahui keadaan kesehatan dari murid tersebut,
selanjutnya guru bermaksud untuk mengetahui alasan murid tersebut menggunakan
jaket. Hal ini diperdalam maksudnya dari konteks tuturannya, yakni murid tersebut
terkenal sering tidur di kelas saat mata pelajaran berlangsung. Murid tersebut juga
sering menggunakan jaket ketika kegiatan belajar berlangsung. Guru mengutarakan
sebuah tuturan yang terdengar atau terasa menaruh kepedulian terhadap kondisi dari
si murid. Akan tetapi, guru menyadari bahwa murid tidaklah sedang sakit, karena
secara fisik sehat. Maka guru menguatkan maksud yang utama dengan tuturan “kok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
pakai jaket?” bahwa maksud tersembunyinya adalah sebuah larangan untuk
mengenakan jaket yang dipakainya. Hal ini juga berdasar pada konteks aturan
sekolah tersebut, yakni larangan murid yang tidak sakit untuk menggunakan jaket
saat pelajaran berlangsung. Maka dari itu tuturan yang digunakan mampu
menegaskan maksud yang tersembunyi dari sebuah tuturan secara harafiah. Hal ini
sejalan dengan Levinson (1983:97) yang menjelaskan bahwa implikatur mampu
memberikan penjelasan mengenai apa yang “dikatakan” secara harafiah, tetapi
memberikan maksud yang berbeda, misalnya tuturan dengan bentuk pertanyaan
tetapi bermakna memerintah. Jadi, dapat diberikan kesimpulan pada data ini, sebuah
tuturan yang secara fisik sebuah pertanyaan, memiliki maksud yang tak tampak
untuk menyindir dan larangan, selain itu juga penguatan maksud dapat diberikan dua
tuturan berturut-turut dengan wujud yang sama.
3) Maksud Menyindir
Tuturan (20)
Guru : “Alhamdulillah, Pilipus tumben masuk ya.”
Konteks : Situasi dalam pertuturan tersebut adalah santai. Maksud dari tuturan
tersebut adalah menyindir murid yang sangat jarang masuk, walaupun dibubuhkan
“Alhamdulillah” sebagi wujud syukur dan diikuti “tumben”.
Tuturan (22)
Guru: “Tenang saja Putra Tama itu baik hati, nanti bisa nyicil hape dan macam-
macam.” (5/4/SMK)
Konteks: Situasi dalam tuturan tersebut terasa santai. Maksud dari tuturan tersebut
adalah SMK Putra Tama Bantul dapat memberikan beamurid kepada para murid.
Bentuk tuturan berupa kalimat deklaratif yang hiperbola.
Tuturan (25)
Guru : “Pintar ya, apa karena enggak masuk ya?” (29/5/SMK)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Konteks : Situasi dalam tuturan tersebut terasa menyenangkan. Maksud dari tuturan
tersebut adalah pujian terhadap murid yang jarang sekali masuk, namun dapat
menjawab pertanyaan.
Nugraheni (2010) implikatur merupakan sesuatu yang terimplikasi di dalam
penggunaan bahasa secara aktual. Hal ini tampak dalam data (20) yang
mengimplikasikan maksud lain dari sebuah tuturan biasa. Tuturan tersebut memiliki
wujud pernyataan atau deklaratif yang mengimplikasikan maksud lain. Implikasi dari
tuturan tersebut adalah menunjukkan kebiasaan dari salah satu murid laki-laki yang
bernama Philipus. Dari tuturan tersebut, Philipus diketahui adalah murid yang sering
membolos. Kemudian selain mengimplikasikan hal itu, tuturan tersebut juga
mengandung sindiran serta nasihat bagi siswa tersebut untuk lebih rajin mengikuti
pelajaran di sekolah.
Pada data tuturan (22) juga terdapat makna sindiran yang tidak tampak pada
tuturan. Data tuturan (22) termasuk dalam implikatur percakapan khusus yang
memiliki wujud pernyataan atau deklaratif. Data tuturan (22) yakni “Tenang saja
Putra Tama itu baik hati, nanti bisa nyicil hape dan macam- macam.” Tuturan
tersebut juga memunculkan sebuah majas, yakni majas personifikasi pada bagian
“Tenang saja Putra Tama itu baik hati”. Maksud dari tuturan ini adalah suatu sindiran
yang ditujukan kepada para siswa Putra Tama. Akan tetapi, tuturan tersebut
berkonteks pada para siswa kelas XI Akutansi A. Hal ini dilatarbelakangi oleh sistem
sekolah yang memberikan bantuan pendidikan gratis pada para siswa, namun siswa
dapat menggunakan uang tersebut untuk membeli peralatan elektronik seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
handphone. Hal ini sejalan dengan Leech (1983) yang menyatakan bahwa implikatur
merupakan bagian dari interpretasi suatu tuturan yang sebenarnya sebagai usaha
untuk menduga maksud yang disampaikan. Dugaan tersebut terdeteksi pada bagian
“nanti bisa nyicil hape dan macam-macam” yang mana dugaan guru terhadap
perilaku para siswanya dalam menggunakan bantuan dari yayasannya.
Pada data tuturan (25) guru mencoba untuk memberikan motivasi kepada
salah satu muridnya yang berhasil menjawab soal dari sang guru. Tuturan yang
terdapat pada data tuturan (25) memiliki maksud yang ganda, yakni memuji murid
dan memotivasi muridnya. Hal ini jugalah yang melatarbelakangi data tuturan (25)
merupakan implikatur percakapan khusus. Wujud tuturan data tuturan (25) adalah
pertanyaan atau interogatif. Tuturan memuji berupa kalimat “pintar ya?” dengan
maksud menyuruh untuk lebih giat belajar lagi dan memaksimalkan potensi kognitif
dari murid tersebut. Kemudian guru melontarkan kalimat interogatif selanjutnya yang
ditangkap sebagai sebuah sindiran yang memotivasi bagi siswa tersebut dengan
wujud kalimat “apa jarang masuk ya?”. Hal tersebut karena murid laki-laki tersebut
jarang sekali masuk sekolah, sehingga melalui tuturan interogatif tersebut guru
mencoba memerikan motivasi untuk rajin masuk sekolah. Maka dari itu, implikatur
dalam data tersebut sejalan dengan Yule (2014) yang menyatakan bahwa implikatur
percakapan khsususmengenai konteks khsuus dalam memahami maksud.
4) Maksud Mengimbau
Tuturan (21)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Guru : “Mending balik ke Jakarta kan enak, daripada di sini malah kamu buang
waktu.” (29/9/SMK)
konteks: Situasi tuturan tersebut terasa tegang dan marah. Maksud dari tuturan
tersebut adalah menandakan sang guru sudah tidak menaruh perhatian terhadap
murid tersebut kala mengikuti pelajarannya. Sang murid tampak tidak menghiraukan
perkataan sang guru.
Tuturan yang berwujud deklaratif atau pernyataan yang memiliki maksud
untuk memerintah atau menyuruh terdapat pada data tuturan (21). Data tersebut
menjadi bagian dari implikatur percakapan khusus. Hal ini seiring kesepahaman
konteks yang berlaku dalam suatu kelompok tertentu terhadap seorang siswa. Data
tuturan (21) memiliki tuturan sebagai berikut “Mending balik ke Jakarta kan enak,
daripada di sini malah kamu buang waktu.” Konteks yang melingkupi tuturan
tersebut adalah seorang guru wanita yang memiliki latar budaya jawa menuturkan
kepada siswa laki-laki yang berasal dari panti asuhan di Jakarta. Siswa laki-laki
tersebut dikenal jarang masuk sekolah dan kurang aktif dalam pelajaran, serta tidak
pernah mengerjakan tugas-tugas dari guru. Tuturan tersebut muncul karena siswa
tersebut tidak mencatat materi yang telah diberikan kepada para siswa, sehingga
guru melontarkan tuturan deklaratif yakni data tuturan (21). Maksud dari dari tuturan
tersebut adalah guru mencoba memberikan penyadaran terhadap siswa tersebut akan
tujuan dikirim sekolah di Bantul. Guru menggunakan tuturan kebalikan dengan
maksud sebenarnya, yakni guru mengimbau siswa tersebut untuk pulang ke Jakarta
daripada membuang waktu, padahal guru ingin murid tersebut sadar akan tujuan
utamanya, yakni belajar dengan rajin, serta memanfaatkan kesempatan yang telah
diberikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
5) Maksud Menasihati
Tuturan (23)
Guru : “Marlin ini tadi membaca informasi yang menantang.” (28/7/SMK)
Konteks: Situasi dalam tuturan tersebut santai dengan pelaku tutur adalah guru dan
mitra tutur salah satu siswi yang membacakan naskah berita. Maksud dari tuturan
tersebut adalah memerintah sisiwi tersebut untuk fokus pada cara membaca berita,
bukan dicampur dengan membacakan narasi. Bentuk tuturan bersifat langsung
dengan nada yang tinggi menghibur.
Implikatur menjadi salah satu opsi bagi penutur untuk memberikan kesan
lembut terhadap mitra tutur, sehingga mitra tutur tidak akan tersinggung apabila
diberikan nasihat. Hal ini juga tampak pada tuturan data (23) bahwa sang guru
menggunakan pemilihan kata yang membuat nasihatnya terasa lembut bahkan
memotivasi muridnya. Hal ini sejalan dengan Gazdar (1979: 38) bahwa implikatur
adalah proposisi yang tersirat oleh ucapan kalimat dalam konteks meskipun itu
proposisi bukan merupakan bagian dari atau sebuah entailment dari apa yang benar-
benar berkata. Perihal guru menggunakan kata “menantang” dalam tuturannya yang
berbunyi “Marlin ini tadi membaca informasi yang menantang” bukan berarti
menantang guru atau pendengar yang lainnya, melainkan motivasi yang diberikan
oleh guru terhadap Marlin yang berani berinovasi atau menjadi pembeda dengan
teman-temannya yang lain, walaupun belum benar. Maka dari itu, tuturan ini
termasuk dalam tuturan yang berbeda dengan makna tampaknya, karena memiliki
maksud yang lain.
6) Maksud Memerintah
Tuturan (26)
Guru : “Arga, ning kono iso ndelok ora kok?”(8/1/SMA)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
(Arga, di situ bisa lihat apa tidak?)
Konteks: Situasi yang terasa dari tuturan tersebut adalah nampak tegang. Maksud
dari tuturan tersebut adalah menyuruh Arga yang menggunakan kaca mata dan
terlihat kesusahan melihat tulisan di papan tulis. Bentuk tuturan berupa kalimat tanya.
Tuturan (27)
Guru : “Gimana sudah terjawab?” (11/3/SMA)
Murid : “(terdiam)”
Guru : “Ini kembali ke kelas X ya ini?”
Konteks: Situasi pertuturan tersebut terasa tegang. Maksud dari tuturan tersebut
adalah memerintah agar para murid mengingat kembali materi kelas X. Tuturan
bersifat lisan dan dua arah dengan nada suara yang tinggi.
Seperti pada ulasan sub bab sebelumnya perihal wujud implikatur. Pada data
tuturan (26) menunjukkan bahwa suatu implikatur dapat diwujudkan dengan sebuah
pertanyaan atau interogatif yang memiliki maksud untuk memerintah. Hal ini tentu
saja bukan tanpa alasan atau landasan. Dirunut dari unsur penting dalam implikatur
yakni melalui konteks yang melingkupi tuturan tersebut untuk mengetahui maksud
sebenarnya atau maksud yang tersembunyi dari sebuah tuturan. Data tuturan (26)
berupa tuturan “Arga, ning kono iso delok ora kok?” yang dituturkan oleh guru laki-
laki kepada murid laki-lakinya yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan dengan
jarak pandang jauh atau rabun jauh. Maka dari itu, guru memberikan pertanyaan yang
sebenarnya mengandung maksud untuk menyuruh Arga duduk di bagian depan kelas
agar dapat melihat materi di papan tulis dengan jelas.
Pada data tuturan (27) tuturan berwujud interogatif dengan maksud untuk
memerintah. Hal ini terjadi atas dasar konteks yang melingkupi tuturan tersebut.
tuturan tersebut terjadi karena para murid tidak ingat akan materi yang telah dipelajari
saat kelas X. Secara literal, para murid kelas XI IPA 1 diperintahkan untuk kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
ke kelas X. Akan tetapi, maksud guru adalah memerintahkan ingatan para murid
untuk mengingat kembali materi kelas X dalam mata pelajaran kimia. Secara
lengkap, tuturan satu dan dua dari guru menunjukkan keterhubungan dalam
membangun konteks yang melingkupi tuturan ini. Yakni pada tuturan pertama, guru
menanyakan perihal soal yang sedang dikerjakan oleh para murid, “Gimana sudah
terjawab?”. Melalui pertanyaan tersebut, jelas bahwa guru menanyakan perihal soal
yang diberikan kepada para siswa, apakah sudah terjawab atau belum. Akan tetapi
para murid ternyata terdiam, menandakan bahwa belum ada yang bisa menjawab,
sehingga guru memberikan tuturan pertanyaan yang maksudnya adalah
memerintahkan para murid untuk mengingat kembali materi kelas XI.
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian
4.3.1 Wujud Implikatur Tuturan Guru di dalam Pembelajaran
Berdasarkan hasil analisis data, peneliti menemukan beberapa wujud
implikatur yang terdeteksi dalam bentuk kata, frasa, klausa, dan kalimat. Bentuk-
bentuk tersebut didasarkan pada fungsi komunikatif dari tuturan yang dituturkan oleh
guru kepada para muridnya. Hal ini juga memberikan pandangan tentang fungsi
gramatikal yang ada pada tuturan guna memberikan makna dan maksud yang tidak
tampak dalam tuturan. Hal tersebut peneliti lakukan dengan dasar analisis yang
bersifat co-teks, selain tentunya menggunakan konteks sebagai alat untuk mengetahui
maksud yang tidak tampak dalam sebuah tuturan berindikasi implikatur tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Tata cara peneliti menganalisis wujud implikatur percakapan adalah
melakukan klasifikasi berdasarkan pada jenis implikatur. Jenis implikatur terdiri atas
dua jenis, yakni implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Secara khsusus,
implikatur percakapan memiliki tiga jenis implikatur percakapan, yakni implikatur
percakapan umum, implikatur percakapan berskala, dan implikatur percakapan
khusus. Penjelasan tersebut didasari menurut pendapat dari Yule (2014) bahwa
terdapat dua jenis implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur
percakapan. Setelah itu, dibagi lagi atas 3 jenis implikatur percakapan, yakni
implikatur percakapan umum, implikatur percakapan berskala, dan implikatur
percakapan khusus.
4.3.1.1 Implikatur Konvensional
Pada analisis wujud implikatur konvensional secara garis besar dan utama
berdasarkan pada penggunaan fungsi gramatikal dalam tuturan. Hal ini merujuk pada
Yule (2006: 78) bahwa implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan
dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasinya. Maka dari itu,
suatu maksud akan dapat dipahami berdasarkan pada penggunaan kata, frasa, klausa,
atau kalimat yang digunakan oleh penutur. Hal tersebut mengarah pada lingkup
semantik dalam memahami maksud yang terdapat dalam suatu tuturan. Hal ini
merujuk pada penggunaan idiom atau ungkapan-ungkapan yang memiliki arti
semantik. Artinya, pemahaman suatu maksud dari tuturan implikatur dapat dilihat
dari kata, frasa, klausa, maupun kalimatnya. Hal itu tentu akan mempengaruhi wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
yang digunakan oleh penutur untuk menuturkan tuturan yang hendak disampaikan
kepada mitra tutur.
Mustafa (2010) dalam jurnal yang berjudul The Interpretation of Implicature:
A Comparative Study between Implicature in Linguistics and Journalism
mengungkapkan bahwa implikatur konvensional muncul dari makna kata-kata
konvensional dan wacana yang terjadi. Hal ini tentu semakin menegaskan bahwa
dalam memaknai suatu tuturan dapat melalui makna kata atau frase yang digunakan
oleh penutur. Hal ini tentu menjadi pembeda dengan apa yang dikatakan oleh Yule
(2006), bahwa implikatur konvensional tidak membutuhkan konteks untuk
mengetahui maksud dari suatu tuturan. Konteks dalam tuturan implikatur
konvensional secara tidak mutlak nyatanya masih berfungsi dalam memahami
maksud suatu tuturan. Hal ini terbukti pada data penelitian yang peneliti temukan.
Bahwa dalam memahami maksud suatu tuturan selain dari kata atau frase, peneliti
juga menggunakan konteks yang berlaku saat peristiwa tutur tersebut terjadi. Dengan
demikian, implikatur konvensional tetap menggunakan konteks dalam memahami
maksud tuturan selain dari penggunaan makna gramatikalnya.
Dari hasil analisis data yang peneliti temukan, terdapat dua wujud tuturan
dalam implikatur konvensional, yakni wujud implikatur deklaratif dan wujud
implikatur imperatif. Secara fungsi komunikatif, wujud implikatur deklaratif adalah
suatu bentuk gramatikal yang memiliki maksud untuk memberikan informasi atau
maksud tertentu kepada mitra tutur. Rahardi (2008: 76) mengungkapkan sekalipun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
wujud deklaratif itu bermacam-macam apabila dilihat dari nilai komunikatifnya
semua tuturan itu, pada dasarnya memiliki maksud yang sama, yakni sama-sama
mengandung makna menyatakan atau memberitahukan sesuatu. Hal ini tampak pada
bentuk pernyataan yang digunakan oleh penutur. Secara normatif dan fungsinya,
wujud deklaratif atau pernyataan mengandung maksud untuk memberikan informasi
tanpa mengandung maksud yang lain. Akan tetapi, wujud deklaratif dalam implikatur
konvensional ini mengandung maksud yang lain, yakni maksud memerintah.
Levinson (1983) mengungkapkan implikatur dapat menyederhanakan substansial
baik dalam struktur maupun deskripsi semantik. Jadi, pada konsep yang terdapat
dalam wujud implikatur deklaratif, memiliki maksud memerintah. Selain itu juga
terdapat wujud imperatif yang sejalan yakni memerintah, namun menggunakan
ungkapan atau idiom yang menjadi ciri implikatur konvensional.
4.3.1.2 Implikatur Percakapan Umum
Implikatur percakapan umum merupakan implikatur yang tidak
mempersyaratkan pengetahuan khusus untuk memahami maksud dibalik tuturan yang
diutarakan oleh penutur. Hal ini sejalan dengan Yule (2006:70) yang mengungkapkan
jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna
tambahan yang disampaikan dalam tuturan, maka disebut dengan implikatur
percakapan umum. Pemahaman terhadap maksud yang tidak tampak juga dimengerti
oleh orang ketiga atau partisipan diluar penutur dan mitra tutur. Seperti cuplikan
tuturan “Ini ada yang piket enggak ya?” Hal ini merujuk pada penjelasan awal, bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
dalam memahami maksud yang tidak tampak pada suatu tuturan tidak membutuhkan
pengetahuan khusus bagi mitra tutur. Hal ini lah yang menjadi awal penemuan
tuturan tersebut merupakan implikatur percakapan umum. Dilihat dari wujud
komunikatif yang digunakan dalam tuturan tersebut, berwujud interogatif atau
pertanyaan yang ditujukan kepada para murid dalam kelas. Wujud interogatif tersebut
juga berupa sindiran, karena kondisi papan tulis yang masih kotor, tetapi belum
dibersihkan oleh petugas piket. Maka dari itu, beberapa murid yang sadar akan
tuturan tersebut segera bereaksi dengan membersikhkan papan tulis. Kontruksi
kalimat yang digunakan dalam tuturan juga lengkap untuk menjadi sebuah kalimat
pertanyaan.
Perwujudan dari tuturan yang diindikasi mengandung implikatur percakapan
umum tentu telah sesuai dengan kriteria prinsip implikatur. Bahwa apa yang
diutarakan berbeda dengan maksud yang sebenarnya. Nugraheni (2010) dalam
artikelnya yang berjudul Analisis Implikatur Pada Naskah Film Harry Potter And
The Goblet of Fire mengungkapkan bahwa implikatur berasal dari sebuah fenomena
dalam pertuturan, maka penutur dan mitra tutur disarankan untuk mematuhi kaidah-
kaidah percakapan, namun demikian peserta pertuturan baik sengaja atau tidak,
mungkin melanggar prinsip percakapan tersebut. Dari penjelasan tersebut, peneliti
mencoba merekonstruksi perihal implikatur percakapan. Implikatur percakapan
umum lahir dari peristiwa tutur yang telah terjadi pelanggaran prinsip kerja sama.
Wujud dari tuturan yang telah dianalisis ternyata kembali ditegaskan berupa wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
interogatif dan deklaratif. Astami (2014) dalam artikelnya yang berjudul Implikatur
Percakapan Dalam Film Nihonjin No Shiranai Nihongo menghasilkan beberapa
wujud yang diambil dari tindak tuturnya, yakni direktif, ekspresif, deklaratif, dan
asertif. Dari penemuan tersebut, ternyata pada proses pembelajaran juga berlaku
wujud deklaratif. Walaupun dalam penelitian tidak menemukan wujud interogatif,
peneliti sendiri meyakini bahwa pada peristiwa tutur yang terjadi dalam proses
pembelajaran selalu ditemukan wujud deklaratif dan interogatif.
Dirunut kembali perihal implikatur percakapan, bahwa sesuatu yang diartikan,
disiratkan, atau dimaksudkan berbeda dengan apa yang dituturkan. Hal ini berlaku
pada implikatur percakapan umum juga. Kompetensi berbahasa seharusnya tidak
melulu mempelajari struktur yang tampak saja, melainkan juga memahami aspek-
aspek di luar struktur bahasa, sehingga komunikasi akan berjalan dengan baik. Jaelani
(2016) dalam artikelnya yang berjudul Implementasi Pendekatan Pragmatik dalam
Pembelajaran Keterampilan Berbicara Di Sekolah menyatakan bahwa dalam
pembelajaran bahasa khususnya pada aspek pembelajaran berbicara, ketercapaian suatu
kompetensi berbahasa yang tepat tidaklah hanya dengan mempelajari bahasa secara
struktural, tetapi juga harus didukung oleh suatu pembelajaran tentang aspek-aspek yang
ada di luar bahasa yang seringkali berpengaruh dalam proses komunikasi. Bahwa
sebuah tuturan yang memiliki wujud tuturan interogatif atau pertanyaan memiliki
pesan secara implisit untuk memerintah. Hal tersebut semakin menguatkan
pemahaman bahwa tuturan yang secara wujud berupa pertanyaan yang membutuhkan
sebuah jawaban dapat menghasilkan maksud dan efek memerintah kepada mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
tutur. Maka dari itu, wujud implikatur percakapan umum yang ditemukan adalah
wujud interogatif dan wujud deklaratif yang memiliki maksud untuk memerintah.
4.3.1.3 Implikatur Percakapan Berskala
Pada penelitian ini, peneliti juga menemukan data implikatur percakapan
berskala. Akan tetapi, peneliti tidak menemukan banyak penanda yang diutarakan
oleh Yule (2014) yang menggunakan istilah-istilah dalam mengungkapkan kuantitas,
seperti yang ditunjukkan pada daftar skala nilai tertinggi ke nilai terendah. Seperti
“semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit, selalu, sering, kadang-kadang”.
Oleh karena itu peneliti menggunakan penanda yang memiliki sifat sama pada
penjelasan menurut Yule (2014) yakni menggunakan “bilangan bermakna”. Hal ini
peneliti terapkan dalam analisis implikatur percakapan berskala, karena penanda
ungkapan kuantitas sebagai skala tertinggi ke nilai terendah menggunakan patokan
bilangan atau angka. Peneliti kutipkan tuturan “Sudah lebih 10 menit ya. Secara
khusus pada data tuturan tersebut, guru menggunakan frasa “lebih 10 menit” sebagai
penanda suatu skala tertinggi untuk memberikan estimasi keterlambatan murid yang
terlambat masuk ke kelas. Apabila ditilik dari segi wujud, tuturan data dia atas
memiliki wujud komunikatif berupa kalimat interogatif atau pertanyaan. Peneliti
menempatkan tuturan tersebut sebagai sebuah wujud kalimat pertanyaan karena
memiliki nada suara yang sama dengan orang lain ketika menuturkan sebuah
pertanyaan. Hal ini tentu sepadan dengan tuturan data di atas, bahwa makna dari
tuturan tersebut adalah menginginkan jawaban klarifikasi dari beberapa murid yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
terlambat masuk ke kelas. Akan tetapi, tuturan tersebut sejatinya adalah bermaksud
untuk memerintah para murid untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut di lain
waktu.
Pada penelitian ini, peneliti menemukan wujud kalimat deklaratif dan wujud
kalimat imperatif yang terdapat dalam tuturan implikatur percakapan berskala.
Dengan demikian, data implikatur percakapan berskala yang terdapat dalam
penelitian ini berjumlah tiga wujud sesuai dengan fungsi komunikatif. Tiga wujud
fungsi komunikatif tersebut adalah wujud deklaratif, imperatif, dan interogatif. Ketiga
wujud tersebut memiliki maksud yang sama, yakni memerintah. Dengan demikian,
kolaborasi antara fungsi komunikatif dan penggunaan kata / nominal bilangan dalam
kalimat beriringan dengan konteks, sehingga diketahui maksud yang terdapat dalam
suatu tuturan.
4.3.1.4 Implikatur Percakapan Khusus
Dirunut dari pengertian implikatur percakapan khusus bahwa dalam
implikatur ini mengakomodasi pengetahuan atau pemahaman unsur-unsur lokal antara
penutur dan mitra tutur. Oleh karena itu, antara penutur dan mitra tutur membutuhkan
pemahaman yang sama dalam lingkup lokal atau khusus. Hal ini didasari dari Yule
(2006: 74) bahwa implikatur percakapan khusus sangat khusus di mana kita
mengasumsikan informasi kita ketahui secara lokal. Hal tersebut tentunya memiliki
sifat pemahaman yang lebih kecil, karena hanya komunitas atau instansi tertentu yang
mengetahui.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Bahasan ini muncul atas hasil analisis data yang telah dilakukan terhadap
wujud-wujud tuturan yang terindikasi mengandung implikatur. Dari hasil analisis
data penelitian, ditemukan beberapa wujud sesuai dengan fungsi komunikatif tuturan
tersebut yakni imperatif (perintah), deklaratif (pernyataan), dan interogatif
(pertanyaan). Ketiga wujud tuturan tersebut ditemukan sebagai wujud yang sering
digunakan oleh guru dalam menuturkan pembicaraan kepada mitra tuturnya yakni
murid. Sebelum lebih jauh pada maksud tuturan, secara garis besar maksud yang
terdapat dalam tuturan tersebut mengandung perintah maupun larangan. Purwa
(2015) dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Implikatur dan Retorika Pemakaian
Bahasa pada Papan Iklan mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk tuturan suatu
bahasa iklan yang mengandung implikatur terdiri atas lima fungsi kaidah retorik,
yakni (a) iklan yang menggunakan kaidah pernyataan (pernyataan netral dan
pernyataan yang disertai penilaian), (b) iklan yang menggunakan kaidah perkaitan
konsep, (c) iklan yang menggunakan kaidah larangan, dan iklan yang menggunakan
kaidah suruhan. Dari lima poin tersebut menunjukkan bahwa suatu wujud yang pada
dasarnya berwujud suruhan juga mengandung suatu implikatur yang bermaksud
menyuruh. Hal itu juga berlaku pada wujud imperatif yang juga memiliki maksud
memerintah, melainkan pada maksud perintah terhadap hal lain. Hal tersebut
mengacu pada prinsip implikatur, yakni apa yang dituturkan berbeda dengan apa
yang dimaksudkan. Maka dari itu, dalam implikatur percakapan khusus ini,
perwujudan tuturan terdapat tiga, yakni imperatif, pernyataan, dan interogatif yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
kesemuanya memiliki maksud yang berbeda dengan apa yang diutarakan secara
tersurat.
4.3.2 Implikatur Tuturan Guru di dalam Pembelajaran
Maksud-maksud yang terdapat dalam data tuturan implikatur didapatkan atas
hasil analisis dari analisis wujud-wujud implikatur sebelumnya. Selain hal tersebut,
peneliti juga mengombinasikan wujud-wujud tuturan tersebut dengan konteks yang
berlaku di lingkungan penutur dan mitra tutur. Hal ini berdasar pada teori dari Gazdar
(1979:38) bahwa implikatur adalah proposisi yang tersirat oleh ucapan kalimat dalam
konteks meskipun itu proposisi bukan merupakan bagian dari atau sebuah entailment
dari apa yang benar-benar berkata. Maka dari itu, sebuah implikatur memiliki
kekhasan dalam menilik maksud yang terdapat dalam tuturan yakni melalui konteks
yang berlaku dalam lingkup tuturan tersebut. Landasan ini diperkuat oleh Nababan
(1987) bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi
di dalam proses komunikasi. Oleh karena itu, pemahaman terhadap suatu tuturan
dipahami maksudnya melalui konteks yang telah dimengerti antara penutur dan mitra
tutur, mungkin juga oleh partisipan pasif dalam peristiwa tutur tersebut.
Pengungkapan atau penyampaian suatu maksud oleh penutur kepada mitra
tutur kadangkala mengandung lebih dari satu informasi. Baik informasi yang tampak
dan informasi yang tak tampak. Hal ini didasari atas ihwal fungsi dari implikatur oleh
Yule (2014) bahwa implikatur adalah upaya untuk menyampaikan informasi. Maka
dari itu melalui implikatur, penutur dapat menyampaikan informasi kepada mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
tutur secara lancar. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks yang berlaku
dalam lingkup tuturan tersebut. Dengan demikian, suatu tuturan dapat mengandung
lebih dari satu maksud yang ingin ditujukan kepada mitra tutur atas dasar konteks
yang berlaku. Pembahasan perihal maksud implikatur akan tetap berdasar pada Yule
(2014) bahwa terdapat dua jenis implikatur, yaitu implikatur konvensional dan
implikatur percakapan. Setelah itu, dibagi lagi atas 3 jenis implikatur percakapan,
yakni implikatur percakapan umum, implikatur percakapan berskala, dan implikatur
percakapan khusus.
4.3.2.1 Implikatur Konvensional
Yule (2006:78) menyatakan bahwa implikatur konvensional tidak harus
terjadi dalam percakapan dan tidak bergantung pada konteks khsuus untuk
menginterpretasikannya. Maka dari itu, dalam memahami maksud yang diinginkan
oleh penutur kepada mitra tutur, peneliti melihat penanda tuturan yang digunakan.
Hal ini menyangkut pada maksud penutur kepada mitra tutur yang menggunakan
kata, frasa, klausa, atau kalimat. Wujud tersebut menjadi piranti yang dijadikan
peneliti dalam memahami maksud yang diinginkan penutur kepada mitra tutur. Akan
tetapi, peneliti juga menggunakan konteks yang berlaku dalam tuturan tersebut guna
mendapatkan maksud utuh yang terdapat dalam tuturan.. Wijana (1996:42)
mengungkapkan bahwa kalimat sintetis adalah kalimat yang kebenarannya
bergantung pada fakta-fakta luar bahasa. Maka dari itu, proses penentuan dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
maksud tuturan menggunakan fakta-fakta luar bahasa yang digunakan sebagai
struktur gramatikal penutur.
Dengan demikian, dari hasil analisis wujud dan maksud implikatur
konvensional yang diintegrasikan dengan konteks yang berlaku dalam pertuturan.
Peneliti menemukan tiga maksud yang terjadi dalam peristiwa tutur dalam
pembelajaran, yakni (1) memerintah,(2) mengimbau, (3) ngelulu, dan (4) menyindir.
Pertama, maksud “memerintah” dalam peristiwa tutur tersebut memiliki wujud-
wujud tuturan yang berbeda, yakni berwujud “memerintah” dan “deklaratif”. Pada
wujud memerintah, perbedaan terletak pada penggunaan kata atau frasa yang
dituturkan, sehingga apa yang dituturkan berbeda dengan yang dimaksudkan. Kedua,
maksud “mengimbau” terdapat dalam satu wujud tuturan, yakni “deklaratif” atau
pernyataan. Ketiga, maksud ngelulu terkandung dalam satu wujud tuturan yakni
berwujud “memerintah”. Penuturan yang dituturkan secara halus dan menggunakan
kata “silahkan” membuat tuturan menjadi halus dan terkesan bagus, padahal
terkandung maksud yang kurang bagus. Keempat,maksud “menyindir” terdapat
dalam wujud tuturan “deklaratif” atau pernyataan. Tuturan yang digunakan terdengar
halus oleh mitra tutur dan peneliti, akan tetapi berubah mengandung sebuah sindiran,
karena melihat konteks yang melingkupi tuturan tersebut.
4.3.2.2 Implikatur Percakapan Umum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Nadar (2009) menyatakan bahwa jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan
untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan. Maka dari itu
didapatkan pemahaman bahwa dalam implikatur percakapan umum, tidak
memerlukan suatu pengetahuan khusus untuk memahami maksud yang tidak tampak
dalam tuturan. Akan tetapi tetap menggunakan konteks yang berlaku dalam tuturan
tersebut, sehingga dipahami maksud yang sebenarnya.
Dengan demikian, Pada jenis implikatur percakapan umum, peneliti
menemukan dua maksud dengan yang dituturkan, yakni maksud “menyindir” dan
“memerintah”. Pertama, maksud “menyindir” terdapat dalam satu wujud tuturan
yakni berwujud “deklaratif” atau pernyataan. Pada pernyataan tersebut dilihat dalam
data (1/1/SMA) menggunakan bahasa jawa. Hal ini terbantu dengan adanya konteks,
sehingga dapat diketahui bahwa latar belakang dari penutur dan mitra tutur dan
sebagian besar murid berasal dari Jawa. Maka tuturan tersebut tidak membuat mitra
tutur merasa tersinggung dan marah, melainkan tersenyum dan malu karena tuturan
dari guru tersebut. Kedua, maksud memerintah terdapat dalam dua wujud tuturan,
yakni berwujud “deklaratif” dan “interogatif”. Hal ini tentu menjadi sebuah temuan
yang unik, karena maksud dari sebuah tuturan adalah “imperatif”, tetapi memiliki
wujud tuturan deklaratif dan interogatif. Maka dari itu, temuan ini sejalan dengan apa
yang dituturkan oleh Brown & Yule (1996), yakni implikatur digunakan untuk
menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan berbeda
dengan apa yang dikatakan oleh penutur. Horn (2004: 3) mengungkapkan Implicature
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
is a component of speaker meaning that constitutes an aspects of what is meant in a
speaker's utterance without being part of what is said. Oleh karena itu implikatur
merupakan komponen makna pembicara yang merupakan aspek dari apa yang
dimaksud dalam ucapan pembicara tanpa menjadi bagian dari apa yang dikatakan.
4.3.3.3 Implikatur Percakapan Berskala
Yule (2006:71) menyatakan bahwa implikatur percakapan berskala adalah
suatu cara informasi tertentu yang disampaikan dengan memilih sebuah kata yang
menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Maka dari itu, penanda-penanda suatu
kata penunjuk suatu nilai peneliti kembangkan dengan penanda suatu penanda
petunjuk bilangan bermakna. Hal ini peneliti lakukan karena tuturan yang
disampaikan oleh guru atau penutur banyak menyebutkan angka-angka atau bilangan
dalam menuturkan suatu perintah atau tuturan yang mengandung fungsi komunikatif.
Dengan demikian, peneliti menemukan dua maksud yang terkandung dalam
wujud tuturan, yakni maksud “menyindir” dan “memerintah”. Pertama, maksud
menyindir terdapat dalam wujud tuturan “deklaratif” atau pernyataan. Pada tuturan
tersebut, landasan yang menjadi acuan peneliti adalah situasi peristiwa tutur yang
berbeda dengan apa yang dituturkan oleh penutur. Hal ini terdapat dalam tuturan
dengan kode 10/3/SMA, menunjukkan bahwa apa yang dituturkan berbeda dengan
apa yang dimaksudkan. Kedua, maksud “memerintah” terdapat dalam dua wujud
tuturan komunikatif, yakni wujud “deklaratif” dan “interogatif”. Dari penjelasan awal
pembahasan implikatur percakapan berskala, beberapa tuturan menggunakan nominal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
atau angka dalam tuturan. Peneliti menggunakan cara tersebut untuk mengakomodir
skala nilai dari tuturan. Yule (2006:71) mengungkapkan bahwa suatu cara informasi
tertentu yang disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai
dari suatu skala nilai. Selain itu, pemahaman suatu maksud tuturan dilihat dari
konteks yang berlaku saat peristiwa tutur terjadi.
Secara khusus, penutur menggunakan sebuah tuturan menyindir pada mitra
tutur yang memiliki latar belakang budaya Jawa. Hal ini lumrah dilakukan oleh
masyarakat jawa yang terbiasa akan basa-basi yang berupa sindiran. Dengan
demikian, maksud yang terdapat dalam implkatur percakapan berskala juga
ditemukan maksud “menyindir” sebagai sebuah alur menuju maksud utama yakni
“memerintah”.
4.3.3.4 Implikatur Percakapan Khusus
Yule (2006: 74) mengungkapkan implikatur percakapan khusus sangat khusus
di mana kita mengasumsikan informasi kita ketahui secara lokal. Hal ini menjadi
dasar peneliti dalam menganalisis serta membahas data implikatur yang peneliti
kategorikan sebagai tuturan implikatur percakapan khusus. Oleh karena itu, suatu
maksud tuturan dapat dipahami melalui pemahaman konteks yang berlaku dalam
lingkup lokal saja.
Dengan demikian, peneliti berhasil menemukan beberapa maksud yang
terdapat dalam implikatur percakapan khusus. Pertama, maksud ngelulu terdapat
dalam wujud tuturan “imperatif”. Wujud tuturan tersebut secara komunikatif memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
makna untuk memerintah, tetapi ditilik dari konteks yang terdapat dalam lingkup
peristiwa tutur, makna tersebut bertentangan dengan tata tertib yang berlaku di
sekolah tersebut, sehingga muncullah maksud tuturan yakni ngelulu.
Kedua, maksud “melarang” yang terdapat dalam dua wujud tuturan, yakni
“deklaratif” dan “interogatif”. Pada tuturan tersebut, penutur yakni sang guru memiliki
maksud tersembunyi dari tuturan yang nampak, yakni maksud untuk “melarang”.
Grice (1975) dalam artikel yang berjudul Logic and Conversation bahwa maksud
tidak tampak dalam tuturan yang dilisankan atau dituliskan oleh penutur. Pemahaman
mengenai maksud yang terdapat dalam tuturan dapat ditemukan melalui konteks yang
berlaku dalam tuturan tersebut.
Ketiga, maksud “menyindir” yang terdapat dalam dua jenis wujud tuturan,
yakni “deklaratif” dan “interogatif”. Penggunaan maksud menyindir dalam tuturan-
tuturan tersebut tidak lain agar tidak menyakiti perasaan dari mitra tutur. Hal ini
tampak dari apa efek yang timbul dari peristiwa tutur tersebut. Dirunut dari kamus
Merriam-Webster Dictionary (2015) bahwa sindiran „tease‟ atau „allusion‟ dan
menyindir „to tease‟ yaitu menertawakan atau mengkritik seseorang baik secara
bersahabat atau bercanda maupun secara kasar. Hal ini dipertegas dalam KBBI, bahwa
sindiran adalah perkataan atau gambar yang dimaksudkan untuk menyindir sesorang
atau ejekan atau celaan yang tidak langsung. Secara garis besar, peneliti menemukan
unsur-unsur menyindir dalam implikatur. Maka dari itu, penggunaan sindiran dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
sebuah tuturan yang ditemukan membuat tuturan menjadi lebih cair dan diterima oleh
mitra tutur.
Keempat, maksud “mengimbau” dalam salah satu wujud tuturan deklaratif.
Imbauan biasanya terletak dalam wujud imperatif, namun dalam tuturan 29/9/SMK ini
terdeapat dalam wujud deklaratif. Hal ini tentu sudah memenuhi persepsi dalam
implikatur percakapan. Imbauan tersebut sebenarnya merupakan bentuk dari
kekesalan dari guru atas sikap salah satu murid yang tidak menghormati sang guru.
Nugroho (2008) dalam artikelnya yang berjudul Analisis Implikatur Percakapan Dalam
Tindak Komunikasi Di Kelompok Teater Peron Fkip UNS, bahwa suatu proses implikasi
pertuturan, yang dalam hal ini pihak penutur yang sebenarnya bermaksud menyuruh
lawan tutur untuk melakukan sesuatu tetapi tidak dengan melakukan suatu tindak tutur
yang secara langsung menyuruh, tetapi diimplikasikan dibalik tuturan yang bersifat
informatif tersebut. Maka dari itu, sebuah tuturan akan memiliki maksud berbeda
dengan apa yang dituturkan mengimplikasikan situasi yang sebenarnya terjadi.
Kelima, maksud “menasihati” yang terdapat dalam wujud tuturan deklaratif.
Secara umum, nasihat biasanya dituturkan dengan wujud tuturan imperatif. Akan
tetapi pada tuturan 28/7/SMK tersebut menunjukkan perpaduan dua unsur yang
berbeda dengan maksud, yakni penggunaan kata “menantang” sebagai salah satu kata
yang digunakan oleh guru untuk menganalogikan aktivitas salah satu muridnya.
Sesuai konteks yang terjadi, murid tersebut melakukan aktivitas yang kurang tepat,
akan tetapi sang guru menggunakan wujud deklaratif dengan makna pujian. Akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
tetapi memiliki maksud untuk “menasihati” murid agar lebih baik lagi dalam
membacakan berita.
Keenam¸ maksud “memerintah” yang terdapat dalam wujud tuturan
“interogatif”. Seperti pada bahasan sebelumnya, bahwa dalam implikatur yang
terdapat dalam tuturan tersebut secara makna terlihat untuk bertanya. Namun dilihat
melalui konteks memiliki maksud tersembunyi yakni memerintah. Hal ini tentu juga
meningkatkan kadar kesantunan dari penutur. Efek yang ditimbulkan terlihat lebih cair
dan tidak tegang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
BAB V
PENUTUP
Bab kelima terdiri atas dua subbab, yaitu simpulan dan saran. Simpulan berisi
perihal hasil temuan yang berdasar pada rumusan masalah penelitian secara garis
besar. Saran penelitian berisi saran-saran dari peneliti terhadap penggunaan
implikatur dalam proses pembelajaran. Peneliti akan memaparkan masing-masing
subbab sebagai berikut.
5.1 Simpulan
Berdasar atas analisis data penelitian terhadap wujud implikatur pada
percakapan guru dan siswa dalam pembelajaran di SMK Putra Tama Bantul dan
SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, peneliti dapat mengambil kesimpulan. Dari segi
wujud tuturan, peneliti mendapatkan wujud tuturan berdasar pada fungsi komunikatif,
kata, frasa, dan klausanya. Peneliti menemukan wujud implikatur konvensional terdiri
atas tuturan deklaratif dan imperatif. Wujud tuturan deklaratif sejatinya bertujuan
untuk memberikan suatu pernyataan atau informasi kepada mitra tutur. Wujud tuturan
imperatif sendiri sejatinya memberikan suatu perintah atau persilaan hingga imbauan
kepada mitra tutur. Maka dari itu, dari analisis data penelitian dalam implikatur
konvensional ditemukan dua wujud, yakni wujud deklaratif dan wujud imperatif.
Selain implikatur konvensional, peneliti juga menemukan wujud tuturan
implikatur percakapan. Sesuai dengan Yule, implikatur percakapan dibagi atas tiga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
jenis, yakni implikatur percakapan umum, implikatur percakapan berskala, dan
implikatur percakapan khusus. Pada implikatur percakapan umum yang teridri dari
enam tuturan, kemudian peneliti menemukan dua wujud tuturan, yakni (1) deklaratif
yang ditandai dengan bentuk tuturan dan konteks yang terdapat dalam cakupan
tuturan tersebut. Pada wujud deklaratif tersebut memliki kesan literal dari tuturan
tersebut, yakni menyarankan dan mengingatkan. (2) Interogatif yang sejatinya
memiliki makna menanyakan sesuatu pada mitra tutur. Selanjutnya adalah implikatur
percakapan berskala, peneliti menemukan tiga wujud tuturan implikatur, yakni (1)
tuturan berwujud deklaratif yang terdapat beberapa kesan secara literal yakni
menghimbau dan menyindir. Lalu (2) tuturan berwujud imperatif yang memiliki
kesan literal memberi informasi. Kemudian (3) tuturan berwujud interogatif yang
memiliki kesan literal mengklarifikasi dan menawar.Selanjutnya adalah implikatur
percakapan khusus yang memilki tiga wujud implikatur, yakni (1) tuturan berwujud
deklaratif, (2) tuturan berwujud imperatif, dan (3) tuturan implikatur berwujud
interogatif.
Hasil penelitian yang kedua adalah perihal maksud implikatur yang terdapat
pada percakapan guru dan murid dalam pembelajaran. Penafsiran maksud tersebut
berdasar pada wujud tuturan implikatur dan dipadukan dengan konteks situasi yang
melingkupi tuturan. Berikut adalah beberapa maksud tuturan implikatur
konvensional, yakni memerintah dan menasihati. Selanjutnya dalam implikatur
percakapan telah ditemukan maksud-maksud, yakni adalah (1) memerinngelutah, (2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
melarang, (3) menasihati, (4) menyindir, (5) memotivasi, dan (6) ngelulu.Selain
maksud-maksud tersebut, peneliti juga menemukan perpaduan, dengan kata lain
setiap tuturan dapat mengandung dua maksud yang tersembunyi.
Dengan demikian, wujud tuturan dan konteks dapat membantu dalam
menafsirkan maksud yang tersembunyi dalam percakapan guru dan siswa. Hal ini
tentu akan membantu guru dalam mengirimkan pesan-pesan kepada muridnya. Oleh
karena itu ranah kesantunan, kelembutan, etika, dan privasi mitra tutur akan terus
dipelihara dengan baik. Hal itulah yang menjadi bagian penting mengenai manfaat
penggunaan implikatur di dalam percakapan khususnya di dalam pembelajaran antara
guru dan murid.
5.2 Saran
Implikatur dalam percakapan guru dan murid pada pembelajaran di kelas
kadangkala bagus untuk digunakan. Dengan berbagai manfaat tersebut, patutnya
perlu menjadi perhatian yang cukup guna kelancaran dalam berkomunikasi saat
proses pembelajaran, sehingga peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut.
1) Peneliti menyarankan kepada para guru untuk berusaha menggunakan tuturan-
tuturan yang mudah dipahami oleh muridnya. Hal ini guna menghindari kasus
salah tafsir yang diterima oleh murid. Maka dari itu, guru seharusnya dapat
memilih dan memilah suatu kata atau frasa yang hednak dilontarkan kepada
murid-muridnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pemahaman murd, latar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
belakang budaya, dan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh murid yang
berbeda-beda.
2) Peneliti menyarankan kepada murid-murid untuk selalu menanggapi perintah atau
larangan ataupun tuturan dari guru dengan lebih baik. Hal ini didasarkan pada
sikap feedback dari murid untuk merespon tuturan dari guru yang ditanggapi
dengan baik, sopan, dan saling menghargai.
3) Peneliti menyarankan kepada peneliti lain bahwa penelitian ini dapat digunakan
sebagai salah satu referensi. Kajian perihal implikatur dalam proses pembelajaran
di sekolah masih sedikti, sehingga masih dapat dikaji lebih dalam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Astami, Timur S. 2014. Implikatur Percakapan Dalam Film Nihonjin No Shiranai
Nihongo. Humaniora. Vol. 5 No.2 Oktober 2014.
Bousfield, Derek. 2008. Impoliteness in Interaction. Philadelphia: John Benjamins
Publishing Company
Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaudron, C. 1988. Second Language Classrooms: Research on Teaching and
Learning. Cambridge: Cambridge University Press.
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Crystal, David. 1998. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Oxford: Blackwell
Publisher Ltd.
Deda, Nivis. 2013. The role of Pragmatics in English Language Teaching, Pragmatic
Competence. Roma: MCSER-CEMAS-Sapienza University.
Ellis, Rod. 2012. Language Teaching Research & Language Pedagogy.). New York:
Willey-Blackwell.
Gazdar, Gerald. 1979. Pragmatics. Brighton: Academic Press.
Hadiati, Chusni. 2007. Tindak Tutur dan Implikatur Percakapan Tokoh Wanita
dan Tokoh Laki-laki dalam Film The Sound of Music. Tesis. Program
Pasca Sarjana: Universitas Diponegoro Semarang.
Hamidah, Ida. 2012. Tindak Tutur Guru Bahasa Indonesia dalam Kegiatan
BelajarMengajar Di SMK Negeri Se-Kabupaten Kuningan Tahun Pelajaran
2012/2013 (Studi deskriptif dilihat dari lokusi, ilokusi, dan perlokusi).
Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Horn, Laurence R & Gregory Ward. 2006. The Handbook of Pragmatics.
Oxford:Willey-Blackwell.
Jaelani, Muhammad. 2016. Implementasi Pendekatan Pragmatik dalam
Pembelajaran
Keterampilan Berbicara Di Sekolah. Madiun: Universitas PGRI Madiun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia.
Leech, Geoffref. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI-Press.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Locher, Miriam A and Richard J. Watts. 2008. Relational Work, Politeness, and
Identitiy Construction. New York: Mouton de Gruyter.
Lyons, John. 1977. Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Mahsun.2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers.
Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics: An Introductions. Oxford: Blackwell.
Moleong, lexy J. 2006 (Edisi Revisi). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Dedi. 2001. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mustafa, Mustafa Shazali.2010. The Interpretation of Implicature: A Comparative
Study between Implicature in Linguistics and Journalism. Finlandia:
Academy
Publisher.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta:
Depdikbud.
Nadar. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nugroho, Rudi Adi. (2008). Analisis implikatur percakapan dalam tindak komunikasi
di kelompok teater Peron FKIP UNS. Tugas Makalah Pragmatik. Solo: UNS.
Purwa, Made I. 2015. Implikatur dan Retorika Pemakaian Bahasa Pada Iklan Papan
Nama. Aksara. Vol 27 No 1, Juni 2015.
Putrayasa, Ida. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Pranowo.2009. Kesantunan Berbahasa Tokoh Masyarakat Ditinjau Dari Aspek
Pragmatik. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Pranowo. 2015. Tergantung Pada Konteks. Yogyakarta: PIBSI XXXV
Rahayu, Puji. 2011. Implikatur Percakapan Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.
Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan Dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:
Dioma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
Rahardi, Kunjana.2008. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Rusminto, Nurlaksana Eko. 2009. Analisis Wacana Bahasa Indonesia (Buku Ajar).
Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Song, Lichao. 2010. The Role of Context in Discourse Analysis. China: Academy
Publisher.
Searle, J.R. 1962. Speech Acts. Cambrdige: Cambridge University Press.
Searle, J.R. 1962. Meaning and Speech Acts. Duke University: Duke University Press
Sinclair, J. McH & Brazil, D. 1985. Teacher Talk. London: Oxford University Press.
Sudaryanto. 2015. Metode Dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta:
Sanata Dharma University Press.
Suprobo, Ganggas DW. 2015. Sindiran Dalam Serial TV Kath and Kim. Tesis.
Yogyakarta: Program Pasca Sarjana FIB. UGM. 2015.
Tokuasa, Mursalim. 2015. Implikatur dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
di SMA Labshool UNTAD Palu. Palu: Bahasantodea.
Utami, Krida Amri. 2012. Tindak Tutur dalam Dialog Drama Siswa Kelas XI SMA
Negeri Sukorharjo. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Muhammadyah Surakarta.
Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad.2010. Pragmatik: Kajian Teori dan
Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Xiao-yan, MA. 2006. Teacher Talk and EFL in University
Classrooms.Disertasi.China: Chongqing Normal University & Yangtze
Normal University.
Yanfen, Liu & Zhao Yuqin. 2010. A Study of Teacher Talk in Interaction in
English Classes. Chinese Journal of Applied Linguistics. Vol. 33 No. 7
Tahun 2010. Hal 75-86.
Yule, George.2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumber Laman/website
https://news.okezone.com/read/2017/10/23/340/1800393/astaga-guru-sma-di-kendari-
dihajar-orangtua-siswa-ini-sebabnya diakses pada tanggal 19 November 2017, pukul
07:32 WIB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
http://regional.liputan6.com/read/2575357/5-konflik-pelik-guru-versus-siswa-
berujung-pidana diakses pada tanggal 19 November 2017 (pukul 08:35 WIB)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
BIOGRAFI PENULIS
Eka Tanjung Pripambudi lahir di Batam, Kepulauan
Riau pada tanggal 8 Maret 1993. Pendidikan dasar
ditempuh di SD Negeri Sine 2, Sragen, Jawa
Tengah. Kemudian penulis melanjutkan tingkat
pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 5
Sragen. Setelah itu, penulis melanjutkan jenjang
pendidikan menengah atas di SMA Negeri 3 Sragen.
Pada tahun 2011, penulis melanjutkan studi di Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta. Pada tanggal 5 Februari 2016, penulis dinyatakan lulus dari
Program Strata-1 dengan menyusun skripsi berjudul Strategi Pengembangan Budaya
Baca Melalui Membaca Pemahaman pada Mahasiswa Semester V Angkatan 2013
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta Tahun Ajaran 2015. Setelah itu, penulis melanjutkan studi di Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Program Magister, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penulis dinyatakan lulus setelah
menyusun tesis berjudul Implikatur Tuturan Guru dalam Pembelajaran di SMK
Putra Tama Bantul dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta Tahun Ajaran 2017/2018
pada tanggal 20 Juli 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI